1-Asmara, Orang Memanggilku

17 4 0
                                    

Aku menggerutu saat tidur siang yang seharusnya berjalan tenang ini terganggu dengan suara sumbang dari guzheng milik Ko Steve, aku tebak, pasti suami pemilik kos yang aku tempati itu sedang asyik berlatih bersama guru musik yang acap kali membuat Cik Erika cemburu buta. Iya sih, seandainya aku berada di posisinya, perasaan ku pasti tak jauh beda. Dengan perawakan tinggi, kulit putih dan halus bak porselen Cina hingga bibir tipis yang merah tanpa polesan gincu, guru les guzheng Ko Steve benar-benar ciptaan Tuhan yang indah.

Beralih dari Ko Steve, guzheng dan guru lesnya, aku lekas memakai sandal jepit sepuluh ribuan untuk menyambung langkah menuju ke toko kelontong Cik Erika. Di hari Minggu seperti ini, aku bisa mendapatkan makanan secara percuma tanpa mengeluarkan biaya.

Ah, dasar mental gratisan. Cibir Cik Erika Minggu kemarin, tapi aku tahu kalau cibiran nya itu hanya gurauan saja. Dulu, saat pertama kali menginjakkan kaki di indekos ini, Cik Erika bahkan menyiapkan makanan selamat datang dengan banyak.

Aku sangat bersyukur saat Ibu merekomendasikan indekos ini di Jakarta, katanya sih bekas indekos tante Kadita semasa mengadu nasib disini. Karena Ko Steve dan Cik Erika benar-benar memperlakukan aku bak keluarganya sendiri.

Tapi hari ini benar-benar chaos ! Darahku seolah berhenti mengalir, vena dan arteri di dalam tubuhku rasanya ngambek, hormon adrenalin ku mendadak terpacu bak melihat sosok Frankenstein dalam wujud yang lebih ramping, tinggi menjulang, pipi tirus dan kuping yang di sumpal earphone, sedang duduk di kursi plastik di depan toko kelontong milik Cik Erika. Mulut tajamnya asyik mengunyah Dimsum dan sesekali tersenyum lebar.

Dia adalah Naratama. Atasan paling menyebalkan sepanjang aku bekerja di sana, bibirnya amat berbisa hingga rasanya racun akan keluar saat dia berbicara. Lihat! Wajahnya yang sok tampan itu bak cerpelai kecebur rawa.

Tak ingin hari Minggu ku rusak, aku segera putar haluan. Tapi, sebelum ambang pintu cokelat berhasil ku tapaki, seruan Cik Erika berhasil menjerat langkahku.

"Asmara! Ada bos mu disini!"

Meski tapakan kakiku berhenti, tulang dan syaraf ku sama sekali tidak bekerjasama untuk memutar tubuh. Aku masih terpaku di depan pintu.

"Asmara, jangan pura-pura nggak dengar ya!" Suara lantang Cik Erika merambat melalui frekuensi udara dan sampai di telingaku. Jadi, tidak ada alasan untuk menghindari Naratama.

Dengan langkah gontai, wajah yang lemas bak kekurangan zinc dan rambut acak-acakan usai berselancar di pulau kapuk, aku menghampiri mereka berdua. Dari radius beberapa meter, hidung sensitif ku langsung mengenali bau parfum mahal milik Naratama.

"Nih, ada Pak Tama datang. Katanya dia penasaran sama masakan Cici gara-gara sering lihat kamu bawa bekal ke kantor."

"Hm." Aku menjawabnya singkat. Tak percaya kalau Naratama diam-diam memperhatikan masakan Cik Erika yang kubawa setiap hari.

"Sayangnya dia terlalu pelit untuk sekedar basa-basi menawarkan makanan kepada atasannya, Cik. Dia melahap makanan lezat itu dengan rakus, seolah-olah yang lain akan menyergapnya."

Cibiran itu terdengar ramah. Sama sekali bukan Naratama yang gemar melemparkan sindiran setajam belati. Oh, iya, rekan-rekan kerjaku di VICE juga menjulukinya si Bipolar. Entah, meski bukti ilmiahnya tidak ada, perubahan sikap Naratama yang terkadang begitu cepat membuat kami menyimpulkan demikian.

"Aduh Asmara, kenapa kamu pelit sekali. Padahal setiap hari, Cici selalu melebihkan bekal makanan mu. Lebih banyak daripada bekal Steve," timpal Cik Erika yang di susul gelegar tawa Naratama.

Oh cukup! Tawa itu bukan ekspresi andalan Naratama dan aku sudah muak melihat kamuflasenya yang sudah menyerupai bunglon saat mimikri. Dia kesini pasti ada alasan dan sangat tidak mungkin dia datang hanya untuk mengunyah dimsum Cik Erika.

"Pak Tama ada perlu apa kemari? Ini hari Minggu dan tidak ada alasan untuk membahas pekerjaan, bukan?"

Tawa di bibir Naratama pudar berganti seringai menyebalkan.

"Kamu terlalu serius sekali, Asmara. Saya kesini bukan untuk membahas pekerjaan apalagi mengganggu hari Minggu mu yang agung ini. Saya kesini karena dimsum Cik Erika, jangan terlalu percaya diri!"

Tak mungkin! Orang sekelas Naratama bisa menemukan dimsum yang paling lezat sekalipun, hanya tinggal tunjuk. Jelas-jelas dia punya maksud lain.

"Apa, Pak? Jangan terlalu berbelit-belit, bukannya Pak Tama orangnya sangat impulsif?"

Cik Erika sudah mengkode dengan matanya, bisa dipastikan usai Naratama pergi, aku akan mendengarkan siraman kalbu darinya perihal etika, adat kesopanan dan manner .

"Wah! Kamu rupanya tidak mudah menyerah. Oke karena kamu memaksa, saya akan mengutarakan apa yang saya inginkan. Beberapa waktu sebelum kamu datang, saya sudah berbincang dengan Cik Erika soal..." Ucapan Naratama menggantung,"yayasan."

Perasaanku mulai tak enak.

Seperti mengetahui apa yang aku rasakan, Cik Erika memegang bahuku. Dia selalu seperti ini saat ingin mengatakan sesuatu yang menurutnya amat penting, seperti berusaha menenangkan ku.

"Pak Tama benar-benar orang yang besar hati, Ra," Cik Erika mengusap sudut air matanya yang berair,"setelah sekian lama, Cici akhirnya menemukan orang lain selain kamu yang begitu perduli dengan yayasan."

Aku semakin tidak mengerti kemana pembicaraan ini akan bermuara. Namun, melihat Cik Erika begitu terharu, aku mulai menebak-nebak kalau Naratama baru saja menyabdakan sesuatu yang amat berarti.

"Mulai sekarang, Pak Tama akan menjadi donatur tetap di yayasan kita."

***

Dagu ku rasanya tak bisa berjauhan dengan meja, baru saja di tegakkan, sudah nemplok lagi di sana.  Pagi ini hawanya lemas sekali. Aku melirik ruangan dengan dinding kaca di atas--ya, betul dinding kaca, karena ruangan Naratama itu transparan. Usai pengangkatan, Naratama sempat berkilah kalau ruangan kaca miliknya sengaja di desain sedemikian rupa agar bisa lebih dekat dengan karyawannya.

Huh, bullshit!

Aku tahu itu cuma akal-akalannya saja. Padahal otak bulusnya itu ingin memantau langsung karyawan yang makan gaji buta, merumpi di jam kerja atau mencuri waktu untuk tidur agar bisa dia mamah biak mentah-mentah.

"SAYA TIDAK MAU TAHU!"

Oh, apa itu? Aku mendongak ke atas begitupun beberapa rekan di bawah. Sedetik kemudian, bisik-bisik terdengar mengular dari satu mulut ke mulut lain. Itu semua karena pemandangan di dalam ruang kaca itu, disana--berdiri Naratama dengan bahu naik turun dan gestur emosi bersama seorang perempuan yang aku kenal.

"Itu Mbak Wulan, Ra. Dia  kan lagi hamil tua, kasihan tahu di semprot sama Naratama." Cici mendekati kubikel ku. Perempuan berambut bob itu sama kesalnya dengan yang lain, termasuk aku sendiri.

"Apa masalah cuti itu belum selesai, Ci?"

Poni milik Cici berkibar saat si empunya mengangguk."Sampai sekarang, si Naratama itu ogah ngasi cuti buat Mbak Wulan. Terus kayaknya hari ini, Mbak Wulan ajuin surat resign tapi ending-nya malah di semprot sama Naratama."

"Kok bisa  Naratama se-toxic itu ya, Ra. Oke, gue tahu Mbak Wulan itu aset di VICE. Inovasi-inovasi nya bikin VICE tambah moncer, tapi kan dia lagi hamil tua, Pak Manajer juga udah ngasih lampu ijo soal cutinya. Cuma si jin ifrid itu yang nggak ngasih Acc!"

Itu yang aku khawatirkan dari yayasan saat Naratama mengaku ingin menjadi donatur, selain otoriter, Naratama tak bisa mentolerir kekeliruan sekecil apapun. Aku takut kalau yayasan dia nahkodai dengan sikap toxic nya itu. Lihat! Beda sekali bukan dengan sesosok pria yang kemarin duduk di toko kelontong beralaskan kursi plastik dan mengunyah dimsum buatan Cik Erika, yang berhasil membuat Cik Erika terenyuh karena kemanusiaannya.

Dengan mata memerah, mulut beracun yang memaki Mbak Wulan dan tangannya yang aktif menggebrak meja, Naratama kembali ke wujud aslinya. Si Bipolar VICE!

***

Hai, aku datangg!!!

H-berapa jam nih menuju tahun baru?

Udah ada resolusi buat tahun depan?

Atau, ada rencana tahun baruan kemana?

Oh ya jangan lupa follow Instagram aku di @deedreamy.id

Jika Nanti Jumpa LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang