2. Under the Spell

1.2K 139 37
                                    

***

"Kalo luka bakar ringan begitu doang, kenapa enggak check up ke dr kulit aja? Kenapa malah milih dr bedah plastik?"

***

Tiga hari berlalu sejak tragedi kopi panas tumpah. Luka bakar ringan di bagian atas pergelangan tangan Adhisti sudah mulai mengering. Namun entah dorongan darimana, tiba-tiba ia ingin memeriksakan lukanya itu pada seseorang yang kartu nama nya sedang ia pegang.

dr. Adaline Wiyoko, Sp. BP-RE
Ambrastha Hospital

Nama beserta gelar yang tercetak dalam kartu nama itu, entah mengapa terbaca indah. Adhisti tiba-tiba membayangkan, seberapa pintar wanita disana, bisa lulus dari University of Pennsylvania dengan gelar spesialis bedah plastik rekonstruksi estetika. Reflek, ia jadi mengira-ngira, harus seberapa lama waktu pendidikan yang ditempuh hanya untuk meraih gelar tersebut. Adhisti pun tersenyum tanpa sadar, ia selalu kagum pada orang-orang keren--kebanyakan wanita--yang cerdas, kariernya cemerlang, dengan aura dominansi yang hebat. Oh, jangan lupakan juga tentang keramahan dan senyum manis wanita disana. Adhisti semakin merasa kagum.

"Senyum-senyum mulu, kaya orang lagi kasmaran."

Adhisti sontak mengehentikan senyumnya. Ia berdeham, memperbaiki ekspresi mukanya, reflek memasukkan kartu nama itu ke dalam kantong jeans yang ia pakai, dan melihat siapa yang datang.

"Eh, Edwin, udah selesai?"

Pria yang duduk di seberang Adhisti itu hanya mengangguk, "Barusan ngeliatin apa? Senyum-senyum mulu gue liat."

"Tiba-tiba keinget video lawak yang semalem lewat di timeline. Jadi hampir ketawa deh," ucap Adhisti sembari menggeleng.

Edwin tersenyum tipis, "Kebiasaan. Kalo orang nggatau, disangka lo lagi senewen deh. Asli."

Adhisti hanya membalas dengan senyuman. Lebih baik dianggap begitu, daripada teman di depannya ini menggodanya habis-habisan karena tersenyum sebab menatap seutas kartu nama. Ia belum menyiapkan jawabannya.

"Gue udah selesai ngedata poli apa aja yang disini beserta dokter dan tenaga kesehatan beserta shift kerja mereka. Gue udah ngeliat semua ruangannya juga dari lantai dasar ini sampai lantai teratas, semuanya bersih, steril. Gue juga udah ngecek unit pengolahan dan pembuangan RS ini. Semuanya udah gue masukin ke spreadsheet catatan proyek ini. Bisa dicek, kalo ada yang kurang atau salah, kabarin aja."

Adhisti mengangguk sembari tersenyum, puas dengan hasil kerja Edwin sebagai rekan tim awalnya, "Thanks, Win. Kalo lo yang ngerjain, gue percaya pasti beres sih."

Edwin tersenyum. Ia lantas merapikan semua barang bawaannya dan bersiap berdiri, meninggalkan kantin rumah sakit Ambrastha ini, "Ya udah yuk, udah beres kan observasi kita hari ini. Udah bisa balik, ngga perlu ke kantor lagi kata Ms. Briana."

Adhisti terdiam, tak langsung menyahut ucapan Edwin. Tak juga ikut berdiri untuk merapikan barang bawaan ke tas.

"Lo duluan aja. Gue masih ada urusan disini," ucapnya final.

Edwin tampak menaikkan sebelah alisnya, berhenti sejenak dari backpack coklatnya, lalu memusatkan atensi ke lawan bicara, "Perlu apa? Kerjaan?"

Adhisti terdiam sesaat. Ia sebetulnya tidak tau atas dasar apa ia ingin tetap disini sampai beberapa saat ke depan. Padahal kantin rumah sakit Ambrastha ini cukup membuat dirinya gerah, karena hanya ada beberapa meja dilengkapi 2 kursi, stand penjual makanan, dan kipas angin yang berada di empat sisi ruangan. Memang betul sih, matahari tak memancar langsung kemari, tetapi tetap saja terasa gerah, karena ruangan ini tak ber-AC. Harusnya Adhisti tidak betah kan?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang