Kamu tahu wanita itu mudah cemburu. Lantas, kenapa kamu terus berusaha menyatukan dua wanita berbeda perasaan yang jelas-jelas tidak bisa di samakan.
Sava
*****
Sava termenung. Sepanjang perjalanan menuju rumah, dirinya beberapa kali menoleh ke belakang. Berharap, Asher akan datang dan lebih memilih dirinya yang jelas merupakan pacarnya.
Namun, sepuluh kali pun ia menoleh, Asher sama sekali tidak ada. Harapannya semu ketika menerima pesan berisi Asher tidak bisa mengantarnya pulang karena Adaline yang terlihat pucat.
Langkahnya perlahan terhenti. Dadanya sesak, mendapati bahwa di hati Asher dia bukan satu-satunya. Memang benar, jika di berikan pilihan sahabat atau pacar, Sava akan memilih sahabat. Namun, bukankah seharusnya Asher paham akan tatapan berbeda yang ditujukan untuknya?
"Ini melelahkan. Padahal ini baru beberapa hari." Sava memilih duduk di tanah yang mengering. Matahari yang bersinar terik tak membuatnya merasa kepanasan. Melainkan, merasa keirian yang semakin mendalam.
"Apa aku putuskan saja?" Sava bergumam seraya mengacak rambutnya yang terasa begitu panas. Kepalanya mendongak, menatap langit yang cerah. Namun, baru beberapa menit ia mendongak, ia langsung terjatuh. Tubuhnya sudah tidak kuat untuk terus melanjutkan perjalanan sampai ke rumah.
Asher ✨
P
Sav, Lo baik-baik aja kan?
Udah sampai Rumah belum?
Kalau belum, lu sekarang dimana? Biar gue anterin.
Sav?
Sava?!Sava memandang sebentar pada pesan yang masuk pada handphonenya. Sejujurnya, jika Asher tidak memiliki teman wanita yang juga menyukainya, dan dirinya yang tidak cemburu, mungkin ia akan merasa bahagia akan perhatian pria itu.
Anda
Gue gak apa-apa.
Lebih baik lu antar Adaline aja dulu ke rumah. Lagian gue emangnya siapa?
Persahabatan kalian jelas lebih lama dari hubungan kita. Jadi, gue kayaknya gak punya hak mengatur seolah-olah lu itu cuma punya gue.Setelahnya Sava memilih mematikan data seluler. Membalikkan tubuh hingga kini tubuhnya sedang tengkurap di atas tanah. Mengabaikan pendapat orang yang berpikir bahwa dirinya adalah orang gila.
'Salahkah gue cemburu?'
***
Sava merapikan pakaiannya, sebelum akhirnya membuka pintu dan mempersiapkan senyumannya yang paling manis. Namun, bukannya pemandangan indah yang di dapat. Melainkan pemandangan, Asher yang sedang sibuk merapikan rambut Adaline yang terlihat berantakan, dalam keadaan berhadapan. Dan, temannya Kalvin yang menatap mereka bosan.
"Ayok berangkat. Udah biasa kali mereka kaya begitu. Kaya lu gak biasa aja."
Sava mengangguk, dalam diam berlari dengan cepat menghampiri Kalvin dan langsung mendudukan diri. Namun, pandangannya tak lepas dari Asher dan Adaline yang seolah-olah tidak menyadari keberadaannya.
"Salah kalau gue ngerasa cemburu?"
"Enggak. Tapi dari sekarang lu harus terbiasa. Lu orang baru, dan gak bisa menggantikan kehadiran orang lama, yang jelas lebih paham bagaimana luka orang yang sekarang lu ukir namanya."
Sava tersentak. Kaget akan jawaban yang dengan sangat jelas mendeskripsikan bahwa dirinya hanyalah pendatang yang kapan saja bisa di geser posisinya.
Dari sisi lain, jelas Sava merasa bahagia mendapatkan lelaki seperti Asher, perhatian, friendly dan mau mendengarkan ceritanya tanpa menggunakan emosi yang berlebihan. Namun, di sisi lain, sikap itu membuatnya merasa terancam. Akan banyak wanita di luaran sana yang merasa nyaman jika pria itu terus berlaku demikian.
"Asher!"
Asher tidak menjawab. Pandangannya tertuju pada Adaline yang juga terpaku.
"Asher!" Sekali lagi Sava memanggil, berharap Asher menjawab, namun sayangnya pria itu tetap bungkam.
"Kalvin, tolong jalan. Gue tau lu cuma pengen buat gue sadar, kalau gue cuma hama diantara mereka. Jadi tolong, sekali ini aja pengertiannya."
"Lu hebat bisa paham maksud gue. Lagipula hubungan baru akan kalah oleh hubungan lama yang sudah jelas lebih mengenal masing-masing sikap, sifat, bahkan kebiasaannya."
Sava tersentak. Lagi dan lagi, hari ini dirinya di buat sadar akan ucapan pria di depannya. Hatinya berdenyut, jelas rasanya begitu sakit saat mendapati fakta bahwa dirinya bukan siapa-siapa, melainkan seseorang yang di beri julukan kekasih.
Namun, salahkah dia jika merasa Adaline yang bersalah atas semua yang terjadi padanya?