Chapter II

192 36 0
                                    

Tidak ada sehari setelah kejadian tersebut terjadi, berita mengejutkan itu tersebar ke seluruh penjuru negeri. Kasus pembunuhan di keluarga Baskara berada pada headline berita utama dan masuk dalam kolom pencarian paling atas. Nama Baskara juga disebut-sebut bahkan digunjing oleh mereka yang tak tahu secara pasti akan kebenaran dibalik kasus yang ada.

Saat itu pula, air mata Rain tak mau berhenti berlinang bahkan untuk sekedar beristirahat. Ia menunggu kepulangan Baskara bak orang bodoh yang menunggu sang surya di kala akhir dunia telah tiba. Lima hari berlalu sejak Baskara dibawa oleh pihak kepolisian dan selama itu pula Rain masih senantiasa menunggu kepulangannya dengan harap cemas, berharap sang baskara tak melupakan tempat dimana dirinya bisa berlabuh kembali.

Rain habiskan waktunya untuk duduk di dekat jendela kamarnya yang berhadapan langsung dengan teras rumah Baskara, menunggunya dengan sabar walau harus melewatkan jam makan siangnya. Pemuda itu bahkan tak mau berangkat ke sekolah, takut jikalau Baskara pulang ketika dirinya sedang asik menimba ilmu. Rain hanya ingin bertemu Baskara. Hanya ingin melihat sang baskara berlabuh di koordinat yang semestinya.

Apakah permintaannya terlalu sulit untuk dikabulkan oleh Sang Pemilik Semesta?

Rain hampir putus asa. Sudah hampir dua minggu ia lewatkan tanpa mendengar kabar apapun tentang Baskara. Bertanya pada kedua orangtuanya pun percuma karena yang ia dapatkan hanya sebuah gelengan tiap kali rasa penasarannya terlontar.

Nekat, Rain hampir nekat untuk datang ke kantor polisi sendiri jikalau kedua kroniknya tak melihat sebuah sedan mini yang berhenti di depan rumah tetangganya, disusul dengan keluarnya tubuh tegap seorang pemuda yang tengah ia cari keberadaannya.

Baskara pulang.

"Baskara!"

Rain berlari dengan tergopong-gopoh sembari mengusap air matanya yang terus turun akibat rindu yang membendung.

"Kamu kemana aja, sih?! Aku nyariin kamu, tapi kamu gak ada kabar. Aku kangen — "

"Rain."

"Iya?"

"Gue benci hujan."

Sungguh, Rain tidak pernah berharap untuk menjadi sebuah singgasana megah sebagai tempat pelabuhan sang baskara. Rain hanya berharap, setidaknya dan untuk sekali saja, Baskara jadikan ia sebagai tempat ternyaman untuknya pulang. Namun, sepertinya harapan Rain terlalu tinggi hingga semesta muak dan tidak ingin mengabulkan keinginannya.

Sejak saat itu, sejak kali pertama ia saksikan bagaimana binar sang baskara meredup seutuhnya dari sepasang jelaganya, Rain tak pernah lagi mendengar suara Baskara.

Baskara membisu.

Dunia Rain tak lagi sama. Baskara sudah tak ingin lagi berteman dengannya. Sisa waktu di penghujung semester hingga ia dinyatakan lulus dari bangku sekolah menengah pertama ia lewati dalam kesendirian dan tanpa eksistensi Baskara dalam hidupnya.

"Rain, habis ini mau lanjut sekolah dimana?"

"Ikut Baskara."

"Emangnya lo tau dia mau lanjut sekolah dimana?"

Rain menggeleng, tak tahu harus menjawab apa saat pertanyaan itu dilontarkan oleh Nareswara di penghujung sore setelah keduanya pulang dari gladi bersih acara kelulusan yang akan diadakan lusa mendatang.

Nyatanya, bukan hanya sinar sang baskara saja yang meredup, tapi sinar pada durjanya juga turut meredup bagaikan langit mendung tanpa mentari.

Masih segar diingatannya kala dulu Baskara menyetujui keinginan Rain untuk melanjutkan pendidikan di sekolah yang sama. Masih ia ingat pula bagaimana sentuhan halus itu mengusak pucuk kepalanya dibarengi dengan seulas senyum teramat tipis dari sang empu.

Wrong Coordinate | HyuckrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang