Chapter IV

191 34 1
                                    

"Jadi, lo sama dia sekarang udah baikan?"

"Iya."

"Udah deket lagi?"

"Iya."

"Udah ciuman juga?"

"Uhm...iya?"

"Iya?"

"Maksudnya iya, Nareswara. Udah ah jangan nanya yang aneh-aneh lagi!"

Saat Rain menjawab pertanyaan yang terlontar dengan malu-malu, Nareswara hanya memutar kedua maniknya, kentara kalau bocah berumur 17 tahun itu tidak terlalu mengerti dimana letak akal sehat milik sahabat satu-satunya itu berada. Diabaikan bahkan tak dianggap kehadirannya selama bertahun-tahun tak juga membuat Rain sadar bahwa manusia juga butuh yang namanya validasi.

"Pertanyaan terakhir. Lo pacaran sama dia?"

Tentu, Rain hanya menggeleng karena dirinya dan Baskara tidak pernah membahas kelanjutan hubungan mereka sampai sejauh itu. Bahkan, pernah suatu ketika Rain bertanya mengapa Baskara menciumnya tempo hari lalu, pemuda itu hanya mengangkat bahunya lantas berujar 'gak tau. Pengen aja.' Pun walau Rain merasa tak puas dengan jawaban yang diberikan oleh Baskara kepadanya, ia hanya mengangguk, berusaha memahami bahwa begitulah Baskara — seorang pemuda yang sangat irit dalam mengekspresikan perasaannya.

"Baskara gak ngajak lo pacaran bahkan setelah dia nyium lo?"

"Gak ada, Na. Kita gak pernah bahas hal itu."

"Buset. Anjing banget tuh cowok."

Demikian, Rain hanya tersenyum. Ia terlampau paham akan kekhawatiran yang dirasakan oleh sahabat bersurai gulalinya itu. Di sore hari kala itu, Rain hanya bisa menyuguhkan senyum yang menginterpretasikan bahwa dirinya baik-baik saja. Ia tepuk pundak Nareswara lantas memberikan elusan lembut sebelum dirinya kembali berujar, "Gak apa kalau kita berdua gak pacaran. Yang penting Baskara gak jauh lagi dari Rain."

Dan begitulah percakapan di sore hari kala itu berakhir dengan sebuah senyum miris yang dilontarkan oleh Nareswara kepadanya.

Berbicara soal hal yang terkesan miris, bukankah hubungannya dengan Baskara benar-benar bisa dikatakan demikian? Sebelum Baskara mencumbunya, Rain tak pernah berandai juga tak pernah meminta. Satu keinginan yang Rain miliki hanyalah berharap untuk melihat sang baskara terbit di koordinat yang semestinya agar binar dari durjanya tak meredup. Namun, apakah sebuah kesalahan jika Rain berharap lebih? Satu bulan sejak kedekatannya kembali dengan Baskara tentu membuat rasa sukanya semakin kuat. Nareswara benar. Manusia juga butuh validasi, terlebih untuk perasaan yang mereka rasakan.

"Kara!"

Rain berlari, membawa sepasang tungkainya dengan begitu cepat untuk menghampiri tubuh tegap yang sedang berdiri untuk menantinya di persimpangan jalan menuju rumah mereka. Napasnya tersengal, lantas memberi isyarat kepada Baskara untuk tidak memarahinya.

"Kebiasaan."

Rain berbunga setengah mati meski hanya satu kata yang keluar dari belah ranum sang baskara. "Hehe, maaf ya, Kara. Habis aku takut kamu nungguin lama," katanya.

Alih-alih menimpali, Baskara justru membawa daksanya untuk beranjak dari sana, mengisyaratkan Rain untuk mengikuti kemana tungkai itu melangkah.

"Lo tuh harus berani gerak duluan, Rain. Kalau gak gitu ya tuh bocah gak bakal sadar kalau lo mau lebih."

Rain masih ingat petuah hangat yang dikatakan oleh Nareswara tempo hari lalu saat dirinya memberanikan diri untuk mendeklarasikan bahwa ia menginginkan sebuah validasi dari Baskara. Walau sempat ragu, Rain kembali memutuskan untuk tetap teguh kepada pendiriannya. Jika ia ingin sebuah validasi, maka ia harus berusaha untuk membuat Baskara jatuh hati.

Wrong Coordinate | HyuckrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang