Cerpen 1: So so (Teenlit)

38 6 1
                                    

Terlepas dari segala pedih yang berhasil ia cipta, aku tetap baik-baik saja.

***

Di sana, tampak seorang gadis termenung. Orang yang berlalu lalang sama sekali tak membuatnya terganggu. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Tak peduli akan seperti apa tatapan orang-orang terhadapnya, ia kerepotan dengan berbagai persoalan yang setiap hari seakan begitu senang menggerogoti pikiran dan hatinya.

"Jangan pulang ke rumah ini lagi!"

"Kamu bisanya hanya membebani kami!"

"Maaf, aku gak bisa bantu kamu untuk kali ini."

"Bodoh sekali sih kamu, Rana!"

"Keluarganya dia berantakan, ya?"

"ARGHH!" Gadis itu, Rana, menjambak rambutnya sendiri secara tidak manusiawi. "Bisa diem gak sih, kalian?!" serunya setengah berteriak, seolah tengah memaki seseorang. Telapak tangannya yang semula asik menjambak, kini turun ke wajah guna mengusap kasar kulit yang sudah cukup kumal itu.

Beberapa orang mulai menatapnya dengan sorot mata waspada, sinis, bahkan takut. Rana yang sadar akan itu hanya bisa terkekeh sumbang. Mungkin mereka mengira Rana adalah pasien Rumah Sakit Jiwa yang berhasil kabur, begitu pikirnya. Dan ya, Rana sama sekali tak mempermasalahkannya. Ia memang gila. Ah, tidak, lebih tepatnya orang-orang itu yang membuatnya serasa hampir gila.

Rana merogoh ponselnya dari dalam tas kecil yang ia bawa tatkala benda pipih itu berdering. Senyum kecil yang sarat akan kemirisan tercetak begitu saja di wajahnya ketika nama seseorang tertera di sana. Setelah menghela napas cukup dalam, ia mengklik ikon hijau.

"Kakakkk! Kak Rana di mana?!"

Spontan Rana menjauhkan ponselnya dari telinga. "Jangan teriak, Dek. Kuping Kakak bisa copot nih denger teriakan kamu," ucapnya menggoda, mencoba menjauh dari alur pembicaraan yang akan diangkat seseorang di seberang sana.

Namun, sial, orang di seberang sana tak menghiraukan perkataannya dan malah keukeuh dengan pertanyaan yang ia lontarkan. "Jawab pertanyaan Shiva dulu, Kak! Kakak di mana?" tanyanya, kentara sekali jika ia amat cemas.

Rana terdiam sejenak, mencari-cari alibi yang bisa ia lontarkan pada sang adik. "Kakak di kosan temen. Mau nginep," jawabnya terpaksa berbohong.

"Beneran? Kakak pasti bohong! Ini udah mau malem, Kak. Cepat pulang!"

"Nan-"

"Shiva gak mau tau! Kakak harus pulang! Di luar sana gak aman, Kak, banyak orang jahat!"

Bibir Rana rasanya kelu. Terlebih lagi saat mendengar adiknya mulai menangis. "Kakak baik-baik aja, Dek. Kakak nggak apa-apa." Di tengah risaunya, ia tetap berusaha menenangkan orang lain.

"Shiva gak mau tau itu, Kak! Shiva maunya Kakak pulang! Shiva khawatir, dan Mam-"

"Mama gak akan khawatir sama Kakak, Dek. Mama cuma bisa khawatir sama kamu. Udah ya, cukup, Kakak gak apa-apa. Kakak tutup teleponnya. Kamu baik-baik di rumah, jangan nakal." Rana memutus sambungan teleponnya. Kemudian, tanpa bisa dicegah, air matanya turun begitu deras, membuatnya terlihat amat menyedihkan dengan kepala yang tertunduk dalam.

Tanpa ia sadari, seseorang terduduk di sampingnya sadari tadi. Memandangi pecahan-pecahan dari dirinya yang tak mungkin bisa direkatkan kembali. Seseorang itu membenarkan letak tongkatnya lantas berkata, "Dunia memang keras, Nak, tapi dirimu cukup kuat untuk menghadapi semuanya."

Rana sontak mengangkat kepalanya, menatap heran seorang pak tua di sampingnya. Sebelum Rana berucap apa-apa, kakek itu sudah lebih dulu kembali bersuara, "Itu bukan perkataanku, tapi perkataan Tuhan."

Rana bungkam.

***

- TO BE CONTINUED -

Semoga suka sama coretanku! Awkwk! 🧸

Cerita ini dibuat untuk memenuhi tugas nulis dari Blackpandora_Club.

-St. Solehah
Cirebon, 31 Desember 2022

Cor(s)etan [CERPEN]Where stories live. Discover now