Cerpen 2: Bagaimana Aku Mencintai Diriku (Spiritual)

10 0 0
                                    

Karena yang sakit itu harus sembuh lagi.

***

Aku amat mencintai diriku sendiri. Akan tetapi, bagaimana jika aku bertemu dengannya dalam keadaan nampak tak layak dicintai? Akankah aku tetap berusaha mencintai diriku sendiri?

***

"Kamu bisa kerja nggak sih sebenernya?! Kerja kok bikin reject terus!"

Bentakan itu menjadi penutup hariku. Aku berjalan ke belakang, mengambil tas, payung dan juga botol minum. Beberapa menit yang lalu bel sudah berbunyi, pertanda jam lembur sudah usai, pertanda pula jika jam sudah menyentuh pukul delapan malam.

Beruntung aku selalu membawa payung, jadi hujan malam ini tak akan terlalu mengguyur. Namun, nahasnya hujan kali ini disertai angin kencang, membuat percikannya mengenai punggung dan lengan kanan-kiriku, ditambah lagi angin kencang yang kian menusuk hingga ke tulang.

"Ribi!"

Aku mendengar panggilan itu, dan benar saja ... seseorang kini sudah berjalan di sampingku dengan payung hijaunya. "Mau beli makan apa?" tanyanya. Ia adalah Gita, teman sekamarku di kostan.

"Kamu mau apa?" Aku balik bertanya dengan suara yang beradu dengan derasnya hujan.

"Nasi si Babeh aja, yuk? Hujan-hujan gini males kalau mampir-mampir, mending si Babeh yang deket."

Aku mengangguk saja.

Setibanya di kostan dengan masing-masing menenteng satu kantong plastik nasi bungkus, kami bergantian mandi. Setelah selesai mandi, kami menunaikan ibadah shalat isya, kemudian baru makan bersama.

Biasanya selepas makan aku akan langsung tidur, tetapi berbeda dengan kali ini, ada sedikit desakan yang membuatku kembali mengambil wudhu lantas menunaikan shalat sunnah.

Akhir-akhir ini aku merasa begitu jauh dengan Penciptaku. Malah mungkin sudah hampir setahun, tepatnya ketika aku mulai bekerja. Pekerjaan yang jam lemburnya kadang tak tanggung-tanggung itu membuat kuantitas dan kualitas ibadahku menurun drastis. Ditambah lagi, diri ini yang semakin suka mengeluh, mudah tersulut emosi, dan juga berkurangnya empati ... tak ayal akhirnya sadar bahwa itu karena sudah menumpuknya maksiat dan dosa.

Aku mulai menangis ketika berdoa, dan itu tak luput dari pandangan Gita. Namun, gadis itu tak pernah memberikan komentar apa-apa sebab mungkin sudah terbiasa.

Aku mengingat kembali setiap apa yang sudah terjadi di hidupku. Banyak sekali kelalaian yang kuperbuat. Aku meringis, amat takut Tuhanku marah, amat takut Tuhanku enggan memberikan ampunan, amat takut Tuhanku meninggalkanku.

Aku bisa apa jika tanpa-Mu, Ya Allah?

Akan tetapi, aku selalu ingat. Dia Maha Pemaaf, Dia Maha Pemberi Ampunan, Dia Maha Segalanya. Dia tetap membersamaiku dengan segala dosa dan maksiat yang telah kuperbuat, Dia tak pernah meninggalkanku dalam keadaan apa 'pun, Dia tak pernah sekali 'pun membuatku merasa sendirian.

Aku senang bermonolog ketika begini, membayangkan bahwa Tuhanku berada tepat di hadapanku dan menatap sembari tersenyum, siap mendengarkan suaraku.

"Ya Allah, hambamu ini banyak dosa, suka bermaksiat pula. Seharunya dirinya malu menengadahkan tangan begini 'kan? Hambamu ini terus meminta kasih sayang-Mu, tetapi ia kerap dengan lancang melanggar larangan-Mu, juga tak segan meninggalkan perintah-Mu."

"Akan tetapi, Ya Allah, aku sadar betul bahwa diri ini tak akan sanggup jika tanpa-Mu. Entah akan jadi apa diri ini jika tanpa belas kasih-Mu. Ya Allah, aku memohon ... jangan marah padaku, ampuni aku."

"Ya Allah, Engkau begitu baik padaku. Setelah segala dosa yang kuperbuat, aku masih bisa merasakan cinta-Mu. Cara-Mu membuatku kembali ingat akan nikmatnya bersujud di atas sajedah, cara-Mu membuatku kembali mengadu lemah, dan segala cara-Mu membuatku terus berupaya menjadi lebih baik di atas setumpuk dosa."

"Ya Allah, Engkau Yang Maha Memberi Rahmat, dengan segala ridha-Mu ... semoga aku bisa menjadi pribadi yang lebih baik, bermanfaat bagi orang lain, beriman lagi bertakwa pada-Mu. Dan Ya Allah, semoga aku dapat meninggalkan maksiat dan mengurangi dosa, bisa menggapai cita-cita dan impianku, dan bisa membanggakan kedua orang tuaku serta orang-orang yang kucintai dan orang-orang yang mencintaiku."

"Ya Allah, dengan menyebut nama-Mu Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang ... aku bisa menjadi pribadi yang lebih baik mulai dari detik ini. Aku bisa."

***

Hidup adalah pilihan, dan pilihanku adalah menjadi pribadi yang lebih baik, dan menjadi pribadi yang lebih baik dimulai dari detik ini. Aku pasti bisa!

***

- TO BE CONTINUED -

Aku selalu berharap bahwa kelak tulisanku bisa menginspirasi orang lain untuk terus berupaya menjadi pribadi yang lebih baik.

Dengan segala kerendahan hati, aku berterima kasih pada kalian yang sudah membaca cerita pendek ini.

Dari aku,
-St. Solehah
Cirebon, 1 April 2024

Cor(s)etan [CERPEN]Where stories live. Discover now