Pertengkaran Yang Sia-Sia

879 125 6
                                    

Suasana kantin begitu ramai. Hampir seluruh meja penuh oleh siswa/i yang sedang makan.
M/n, yang sudah hampir 15 menit mengantri, menghela napas panjang, jelas-jelas menunjukkan kekesalannya terhadap hari ini. "Seandainya aku tidak kesiangan, pasti aku bawa bekal dan nggak perlu mengantri atau repot cari tempat duduk kosong," batinnya.

Setelah akhirnya mendapatkan makanannya, M/n segera memutar pandangan ke sekeliling kantin. Hampir semua tempat duduk telah terisi, memaksanya harus bergabung dengan siswa/i lain. Dengan sedikit enggan, ia mulai bertanya ke beberapa kelompok yang duduk di meja.

"Maaf, boleh duduk di sini?" M/n bertanya

Salah satu siswa di meja itu menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Maaf, ini ada yang nyusul."

Di meja selanjutnya, seorang siswa berkata, "Aku lagi mau duduk sendirian, maaf."

M/n mendengus kesal.
'Sialan, kalau mau menyendiri ya di bangku taman atau di kelas aja kan bisa! Kenapa mesti di kantin?! Orang yang beneran mau makan jadi susah dapet tempat duduk!' gerutunya dalam hati.

Tapi karena perutnya yang terus berbunyi, M/n tidak punya pilihan selain terus mencari tempat duduk. Setelah beberapa kali bertanya tanpa hasil, ia mulai menyerah. Makanan di tangannya sudah mulai dingin, dan hampir semua meja sudah terisi penuh. Ketika ia berniat untuk kembali ke kelas, tiba-tiba matanya menangkap sosok siswa/i berhoodie hitam duduk sendirian di sudut paling belakang, agak terpisah dari yang lain.

M/n menyipitkan mata, berpikir. "Kenapa cuma di pojokan situ yang kosong? Kok suasananya agak suram?" Meski instingnya berkata untuk menjauh, rasa lapar mengalahkan segalanya. Dengan ragu, ia pun menghampiri siswa/i tersebut.

Sesampainya di belakangnya, M/n terdiam sejenak. Ia ragu apakah harus memanggil siswa/i itu atau tidak. Namun, setelah berdebat dengan dirinya sendiri, ia memutuskan untuk mencoba.

"Permisi..."
Tidak ada reaksi. M/n berpikir, "Apa dia sedang mendengarkan musik?" karena terlihat bahwa siswa/i itu memakai headset.

M/n pun maju sedikit lebih dekat, lalu memanggil lagi dengan suara lebih keras, "Permisi!"

Siswa/i itu akhirnya mengangkat kepalanya, menatap M/n dengan mata malas. M/n tertegun melihat mata ungu seperti permata amethyst serta wajah yang sangat cantik, hingga ia tak bisa menebak apakah ini laki-laki atau perempuan.

"Kau tidak perlu berteriak, aku tidak tuli." Siswa itu mencibir dan kembali menyantap makanannya.

Kesan baik M/n langsung runtuh.
'Wah, hampir saja aku terbawa suasana hanya karena wajah cantiknya... Ternyata dia seorang bajing*n yang menyebalkan,' pikirnya. Ia menggigit bibirnya, mencoba tetap tersenyum sambil memegang erat food tray-nya, menahan diri agar tidak mendorong wajah siswa itu ke dalam makanan.

"Pergilah," kata siswa itu tanpa melihat M/n.

"???" M/n mengerutkan kening.

"Kalau kau cari tempat duduk, carilah yang lain. Kau mengganggu nafsu makan." Siswa itu berhenti makan, meletakkan sendoknya.

"Melihat wajahmu sebentar saja membuatku mual. Apa lagi kalau kita duduk satu meja. Aku bisa muntah."
Ia lalu melanjutkan dengan tatapan dingin, "Wajahmu itu... mirip perempuan. Menjijikkan."

M/n hanya mendengus pelan. Ejekan seperti itu sudah biasa baginya, jadi ia tidak terlalu peduli. Namun, yang membuatnya kesal adalah betapa ironisnya situasi ini. Siswa ini jelas-jelas punya wajah yang jauh lebih feminin darinya. Kulitnya putih pucat, rambut halus, alis dan bulu mata lentik berwarna keperakan, ditambah mata amethyst yang bersinar di bawah cahaya kantin. Wajahnya benar-benar terlihat seperti peri.

my three annoying brother x male readerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang