"Kita yang berencana, Tuhan yang menentukan"
Angin berhembus dengan sangat pelan mengenai pada tiap daun pepohonan. Bunga-bunga yang berada di taman, bergerak terkena angin layaknya seperti berirama. Tanpa kehadiran sinar mentari, langit pada pagi ini terlihat sedikit gelap dan cuacanya selalu terasa dingin. Aku berjalan lurus mengikuti arus angin sambil menendang kerikil kecil yang berserakan dijalan. Sesekali juga angin bertiup kencang dari belakangku membuat rambut panjangku tergerai bebas. Sampai-sampai aku ikut terbawa euforia merasa bebas. Tapi satu hal yang pasti, nyatanya aku tak sebebas dia sekarang.
Beberapa tahun yang lalu.
Notif handphone-ku terus berbunyi. Pertanda bahwa ada pesan masuk. Aku terbangun dari tidurku setelah mengecek pesan dan terdapat banyak tulisan missed calls dari kekasihku. Aku langsung membalas ala kadarnya dan bergegas untuk pergi kuliah. Rupanya hari ini aku akan sedikit telat. Sering kali aku dibangunkan oleh bunyi notif yang menjengkelkan itu. Tak lupa pesan yang berupa ocehan sangat panjang darinya.
Sekadar informasi kecil, hubungan kami berdua berstatus LDR saat ini. Cukup jauh, aku berada di Hamburg, Jerman sedangkan kekasihku di Jakarta. Alasan aku memilih ke Jerman karena dari dulu aku sudah bertekad ingin meneruskan jenjang pendidikan dan sangat-sangat ingin tinggal disini. Namun kepribadianku masih terbilang cengeng dan kalau boleh jujur sebenarnya aku belum begitu mandiri. Karena sejak kecil aku diurus oleh orang tua dan asisten rumah tangga. Mungkin aku termasuk manja apalagi sebelum tinggal sendiri di Jerman, aku tidak pernah yang namanya menjemur baju.
Awalnya hari-hariku disini cukup menyenangkan. Satu minggu masih happy. Dua minggu tetap happy. Tetapi setelah satu bulan, tidak terlalu demikian. Aku merindukan rumah. Ternyata aku tidak sekuat yang aku bayangkan. Aku berpikir bahwa aku tidak mau tinggal sendirian lagi di Jerman. Ditambah selama satu bulan, Aku masih kaku dalam berbahasa Jerman. Aku selalu merasa orang-orang disekitarku membicarakan diriku sehingga aku merasa seperti tertindas. Akhirnya setiap malam aku selalu video call dengan kekasihku dan menangis. Aku mau pulang. Aku merasa tidak tahan. Tapi dia tetap menguatkan dan meyakinkanku kalau hal itu pasti akan berlalu. Aku harus bisa menghadapinya karena memang ini pilihanku dari awal. Tetap saja, tidak semudah itu.
Kembali lagi ke awal. Aku sudah sampai di universitas Hamburg dengan kondisi jalan setengah berlari. Hingga tiba dikelas, seperti biasa, aku memilih duduk di kursi bagian belakang. Untungnya masih tersisa. Pembelajaran sudah dimulai 5 menit yang lalu. Sudah kuduga aku telat sedikit. Kemudian aku mengatur nafasku sejenak dan mulai mengeluarkan alat tulis yang dibutuhkan seperti laptop, dan binder. Setelahnya aku mulai fokus pada materi pembelajaran.
Perkuliahan hari ini menghabiskan sedikit beberapa jam saja, tiba waktu siang, aku kembali pulang tanpa beraktivitas diluar seperti kebanyakan orang. Kudengar besok ada acara Oktoberfest. Mungkin aku akan coba pergi kesana saja. Dan sekarang aku bisa istirahat atau bersiap-siap untuk besok.
Tibalah acara yang di tunggu-tunggu. Namun aku hanya sedikit menikmatinya. Tanpa disadari aku terkena copet. Untung saja handphone dan beberapa uangku berada di kantong. Sisanya yang ada di dalam tas lenyap. Aku segera pergi ke kantor polisi, bolak-balik membuat pengaduan selama seharian. Aku menangis tidak berhenti. Ini merupakan hal paling menyulitkan yang pernah aku lakukan hingga saat ini.
Aku kembali pulang dengan perasaan yang campur aduk. Marah, kesal, sedih namun tidak bisa apa-apa. Malam ini aku sudah membulatkan tekad, "Aku tidak peduli. Pokoknya aku tidak mau lagi tinggal di sini." Setelahnya aku mengambil handphone dan mencari kontak kekasiku untuk menghubunginya. Aku tak kuat menahan air mata hingga menangis kembali sambil video call dengan kekasihku sampai ketiduran.
Kicauan suara burung terdengar. Artinya sudah tiba waktu pagi. Aku terbangun dengan mata yang bengkak dan tubuh yang masih lemas tapi cukup kuat untuk beraktivitas. Untuk itu aku bersiap mandi dan sarapan. Selesai sarapan, hari ini aku tetap melakukan aktivitas di luar seperti biasa. Pergi ke perpustakaan, minimarket dan beberapa tempat lainnya. Tetapi ada satu hal yang selama ini aku pikirkan. Bagaimana bisa seharian ini kekasihku tidak memberi kabar. Sama sekali tidak memberi kabar. Terlewat pikiran negatif di kepala. Entah masalah apalagi yang akan kuhadapi kali ini. Tanpa berlama-lama lagi aku ingin segera pulang dan merebahkan tubuhku di kasur. Aku sudah mulai merasa pusing. Terlalu banyak yang sudah terjadi.
Ting! Lift apartement berhenti. Sudah sampai tujuanku, aku berjalan keluar dari pintu lift, menelesuri lorong apartement yang sepi sambil memasang wajah lelah. Namun dari kejauhan terlihat siluet seseorang di depan kamarku. Terlewat pikiran negatif di kepala, lagi. Di awal aku memasang wajah lelah kini berubah menjadi was-was. Aku menghentikan langkahku. Aku berdoa kepada tuhan. Untuk keselamatan diriku dan sedikit mengeluh mengapa kian hari terjadi suatu hal yang tidak menyenangkan. Aku memohon kepada tuhan untuk biarkan aku kali ini merasa baik-baik saja. Dan aku berusaha berpikir positif, mungkin saja orang itu salah alamat, sekadar berdiri ataupun lainnya. Tanpa berlama-lama lagi, sedikit demi sedikit aku melanjutkan langkahku dengan perasaan yang luar biasa takut. Tetapi sesampainya disana, aku kehabisan kata-kata. Tercengang melihat atas apa yang ada di depan mata. Betapa kagetnya ternyata seseorang yang kulihat tersebut adalah kekasihku yang berdiri sambil memegang sekotak coklat. Dan terdapat secuil kertas kecil disana yang bertuliskan namaku. My Only Love, Clarissa Claudy.
Dia melihat ke arahku seraya berkata, "Aku udah nunggu 3 jam loh. Udah kebelet pengen pipis tapi takut kamu datang pas aku ke toilet. Nanti jadi gak romantis deh."
Mendengar kata-kata tersebut, Aku langsung menangis sekencang-kencangnya. Bedanya ini adalah tangisan bahagia. Aku menghampirinya dan memeluk dia dengan sangat erat. Tuhan, terima kasih –batinku dalam hati.
Setelahnya, malam itu aku benar-benar tidak membiarkannya pergi dari pelukanku. Sepanjang malam aku bercerita apa saja sambil memeluk dirinya. Aku merasa senang sekali. Ini suatu kebahagiaan yang kembali aku rasakan. Rasa gundah yang beberapa hari ini menetap di hati tiba-tiba hilang sepenuhnya. Aku merasa sangat bahagia sekali bertemu dengannya apalagi dia akan tinggal disini selama seminggu. Hari-hari bersamanya terasa sangat berharga.
Dia selalu memberikan semangat kepadaku, menguatkanku dan mengingatkan apa tujuan awal aku pergi ke Jerman. Aku menjadi sadar kembali akan hal itu. Beribu-ribu ucapan terima kasih yang aku berikan kepada dia. Tak lama, hari terasa cepat hingga tiba waktu hari dimana ia kembali pulang ke Indonesia.
Ketika dia sudah pulang, aku merasa jauh lebih kuat dari sebelumnya. Aku merasa bahwa aku mampu menghadapi semuanya dengan berani mulai sekarang. Kedatangannya sangat memberikan perubahan besar secara cepat kepadaku.
Waktu terus berjalan, hingga akhirnya aku selesai study dan bisa pulang dengan bangga. Namun sayang, kami tidak bisa meneruskan hubungan kami. Meskipun aku sangat-sangat mencintai dirinya, tapi tuhan lebih menyayanginya. Dia meninggal beberapa bulan setelah kepulanganku karena sakit. Sebelumnya kami sedang merencanakan pernikahan waktu itu. Tak jarang aku menemuinya. Menyentuh sebuah nisan yang bertuliskan namanya, Rey Pratama.
Beberapa tahun kemudian
Di depan rumahnya, aku berdiri menatap lamat-lamat ayunan kecil dihalaman--tak jauh dari posisiku saat ini--sembari mengingat kenangan lama yang pernah aku lalui bersamanya. Kini hanya sepi yang mengisi. Tanpa ada tawa lagi. Tanpa ada gaduh lagi. Aku tak ingat sejak kapan aku merelakannya pergi. Pilu hatiku mengingat dia yang sudah lebih dulu meninggalkanku tanpa aba-aba untukku siap menerima semuanya. Sekarang hanya memori yang tersisa. Rencana-rencana yang dulu pernah kami buat, kini hanya sekadar kata-kata tanpa makna.
-Selesai-
KAMU SEDANG MEMBACA
Karya Puisi 1A
RandomAkun resmi Kelas 1A Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Singaperbanga Karawang Dosen Pengampu : Dr. Een Nurhasanah, S.S, M.A, CIRR