NESTAPA
Karya: Fitri Nur Aulia
Satu tahun terakhir akan terasa sangat singkat jika ratusan hari yang bisa habis dibagi bersama, kini dihabiskan dengan kesibukan di antara hiruk-pikuk kota Bandung seorang diri. Semua orang di kota ini selalu ingin menjadi yang terdepan, maka jangan sampai lengah kalau tidak ingin tertinggal.
Orang-orang di seluruh dunia bahkan tak ada bedanya dengan di sini. Mereka merindukan saat di mana sebelum kain-kain menutupi separuh wajah, sekat-sekat membatas jarak, bumi juga telah mengubah fungsinya sebagai taman yang menerima jasad-jasad mati dalam jumlah memprihatinkan setiap saat. Bersin sedikit , batuk sedikit, dan demam sedikit saja sudah dijauhi lantaran mereka takut pada sebuah makhluk mikro bernama Corona Virus yang disebut wabah Covid-19.
Pukul delapan malam. Rumah kos telah menyambut ketika pintu menelan masuk Mira. Dituntut untuk hidup secara mandiri memang bagus, tetapi rasanya akan sia-sia kalau setiap Mira pulang ke rumah tak ada kehangatan yang dapat dia temukan di sana.
Empat tahun cukup untuk Mira mengenal apa saja keelokan di sudut kota besar ini. Lampu-lampu mengeluarkan cahaya kemuning di antara temaram, deret pertokoan memenuhi sisi jalanan, serta gedung-gedung tinggi tampak kontras saat wajahnya timbul dari teras kamar. Namun, gadis itu merasa tak benar-benar mengenali kota Bandung. Alasan keberadaannya di sana adalah pendidikan yang sedang ia perjuangkan meski berjauhan dari kampung halaman harus menjadi risiko amanat sang Bunda.
Tetapi selama Bunda berada di Pati, selama Bunda masih mendekap rindunya dalam hati, Mira percaya bahwa ia tak pernah sendiri sekalipun payoda malam ini seolah menatapnya sendu.
Mira tahu kehidupan Bundanya tidak berbeda dari manusia pada umumnya. Selain bernapas dan terlelap, dia juga bekerja, meluangkan waktu istirahat untuk memandang layar ponsel dengan berharap dapat mengusir jenuh ketika melakukan panggilan video secara daring bersamanya. Dia sadar betapa lelah wajah sang bunda yang masih mengenakan alat pelindung diri lengkap dengan sebuah masker medis. Bundanya telah mengupayakan kesembuhan orang-orang di salah satu rumah sakit umum.
"Gimana skripsimu hari ini, Mir?"
Gaya bicara Bunda tak pernah berubah, logat Jawa-nya kental sekali. Mira mengulum senyum. "Lumayan, Bun. Tapi, aku masih harus revisi sedikit lagi. Rencananya, sih, besok harus sudah kelar. Supaya bisa cepat pulang ke rumah. Lagian.. Mira kangen pisan."
Dari sana, Bunda terperangah. Membuka masker wajahnya. "Wis patang taun ing Bandung, kamu sudah jago ngomong bahasa sunda, toh?"
Si gadis tertawa, ada garis merah muda pada pipinya. "Apa, sih, Bunda."
Alih-alih terfokus pada wajah Mira, Bunda mengerutkan ekspresi. Seolah mengerti apa yang tengah dirasakan anak semata wayangnya tersebut. Saling menatap sepasang netra yang masih diisi gemerlap kehidupan, membaca kerinduan yang bersemayam cukup lama di sana.
Jika bisa, Mira ingin menyentuh langsung wajah Bunda. Hanya mengusap-usap layar ponsel saja dia masih bisa merasakan dengan jelas, betapa wanita itu mengkhawatirkannya. "Bunda jangan capek-capek, istirahat yang cukup. Lihat, tuh, matanya merah begitu."
Bundanya itu seperti tidak lelah tersenyum saat berkata, "Bunda baik-baik aja, kok. Kamu tahu, 'kan? Setelah di-PHK, Ayahmu justru sempat cemas perihal kesehatanmu di sana."
Ayah cemas mengenai itu? Mira tahu, sosok pria yang tidak pernah jemu memikirkannya telah diberhentikan dari perusahaan tempatnya bekerja dua pekan lalu karena alasan tidak sanggup membayar gaji karyawan yang terlalu banyak, terlebih lagi ekonomi sedang sulit. Jika tulang punggung keluarga mereka tak sanggup, maka Bunda berperan sebagai tulang rusuk mereka. Dan Mira bersyukur memiliki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karya Puisi 1A
RandomAkun resmi Kelas 1A Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Singaperbanga Karawang Dosen Pengampu : Dr. Een Nurhasanah, S.S, M.A, CIRR