02

1K 93 8
                                    

Sebelum pertemuan,

"Ta... Serius kamu akan menemui dia?" Darwis mengikuti Pinta, berjalan persis disebelahnya.

Pinta menganggukkan kepala. "Kenapa sih? Tidak boleh aku melihat perempuan kesayanganmu itu, ha?"

"Kamu jelas-jelas mendengar, kan? Aku sudah meminta dia menjaga jarak!"

"Tapi dia tidak mau, kan? Dia malah meminta untuk berbicara denganmu!" Pinta pun teringat sesuatu. "Omong-omong, dia tahu kamu sudah menikah?"

Darwis mengalihkan pandangannya lalu mengangguk.

"Perhatian dan kebersamaan seperti apa sih yang kamu berikan sampai membuat dia segitunya sama kamu?!"

Darwis memegang dua bahu Pinta, menatapnya dengan intens. "Ta... Sudah ya jangan bahas dia terus. Kalau perlu aku resign dari kantor, oke?"

Pinta mengibaskan dua tangan Darwis tersebut hingga lepas, menatap Darwis dengan tajam. "Aku ingin jawabanmu, perhatian dan kebersamaan apa yang telah kalian lakukan?!"

Darwis menyisir rambutnya, tanda ia kalut.

"Atau kamu sudah melakukan lebih dari yang aku kira?" Pinta terus memborbardir Darwis dengan pertanyaan-pertanyaan tajam.

"Aku beberapa kali mengantar dia pulang, makan malam bersama juga tapi lebih seringnya bersama dengan rekan kantor lainnya." Jawab Darwis akhirnya.

Tapi jawaban tersebut sama sekali tidak membuat Pinta puas. "Kalau berciuman? Hubungan badan?"

Darwis menatap Pinta dengan pandangan yang entah Pinta sendiri sulit mengartikannya.

"Ciuman, oke... Aku dua kali pernah berciuman dengannya."

Tangan Pinta terkepal.

"Tidak pernah lebih dari itu, aku hanya terbawa suasana, Ta... Maaf..."

Pinta mengangguk-angguk mengerti, tetap ia jaga raut wajahnya agar tetap datar, ia tahan tangisnya yang mendesak untuk keluar. "Oh... Pantas, pantas saja Mira bisa berfikiran kalian memiliki hubungan spesial. Kamu tidak akan mencium seseorang bahkan sampai beberapa kali kalau tidak ada perasaan, kan? Ah iya benar, kamu juga sudah mengakui kalau kamu tertarik padanya."

"Ta..."

"Aku minta kejelasan dari kamu, kamu mau tetap dalam pernikahan denganku atau bersama dia?"

Darwis sejenak terdiam, Pinta terkekeh miris melihatnya. Amat sulit sepertinya bagi Darwis untuk memilih. Dan Pinta benci memposisikan dirinya menjadi pilihan.

"Ingat... Aku tidak pernah memaksa kamu untuk bertahan, kamu leluasa memilih Mira."

"Aku mau bersama dengan kamu, benar... Seharusnya Mira tidak pernah hadir diantara kita, Ta. Maaf..."

"Yakin kamu memilih aku bukan Mira?" Tanya Pinta dengan nada mengejek.

Darwis menatap Pinta dengan raut wajah serius lalu mengangguk. "Aku mau bersama kamu."

"Oke, aku berikan kamu kesempatan, tapi aku juga tidak akan menghalangi kapanpun kamu mau pergi, silahkan saja."

"Ta..."

"Jaga Katia, aku pergi sebentar."

"Ta, please, tidak usah ya... Serius, aku tidak akan berhubungan dengan Mira lagi."

"Kasihan kan Mira sudah menunggu, lagi pula aku juga harus memastikan. Jangan-jangan dia sedang mengandung anak kamu atau kamu mau sekalian ikut? Siapa tahu melihat wajah cantik Mira akan langsung membuat kamu berubah haluan? Tidak apa-apa, aku kan juga sudah memberikan izin." Pinta tidak akan mempertahankan siapapun itu jika orang tersebut memang tidak ingin dipertahankan.

Darwis menunduk lalu menggelengkan kepala. "Aku di rumah, jaga Katia. Kamu... Hati-hati."

#

Mira tertegun.

"Seharusnya sudah tahu ya, soalnya terakhir kali aku ke kantor, di meja Darwis masih terpajang kokoh foto kami sekeluarga."

Mira masih terdiam.

"Kok kamu diam saja, sih? Ah... Benar... Aku mengerti, pasti bukan kehadiran aku kan yang kamu harapkan? Kamu mengharapkan suamiku yang datang?"

"Maksud Mbak datang menemui aku apa?"

"Akhirnya bicara juga kamu, hampir saja aku kira kamu tiba-tiba stroke saking diamnya." Kekeh Pinta sinis. "Sebelumnya aku minta maaf lho, aku yang muncul bukan Darwis, karena dia tidak mau menemui kamu, jadi aku yang datang."

"Mbak bohong, kan?" Mira jelas-jelas mendengar Darwis yang menyebutkan kafe ini menjadi tempat pertemuan mereka.

"Kalau tidak percaya hubungi saja Darwis." Jawab Pinta seraya menyilangkan kedua tangannya.

Mira tidak melakukannya, ia menatap Pinta.

"Sebagai sesama perempuan, aku ingin bertanya beberapa hal padamu. Mengapa kamu nekat sekali melakukan ini dengan lelaki yang berstatus suami orang? Memangnya tidak ada lelaki single yang mendekati kamu atau bisa kamu dekati sampai suami orang mau kamu rebut, ha?"

Mira tersenyum sinis. "Jangan salahkan aku saja dong, Mbak. Salahkan juga suami Mbak yang tergoda padaku. Atau... Salahkan diri Mbak sendiri yang tidak becus menjaga suami!"

"Oh iya jelas, aku juga akan menyalahkan dia kalau terbukti benar selingkuh dengan kamu, tapi asal kamu tahu saja ya, pembicaraan kamu dengan Darwis tadi aku mendengar semuanya. SE-MU-A-NYA!" Tekan Pinta. "Bagaimana kamu merengek karena merindukan suamiku, juga... Kamu yang tidak rela diminta suamiku untuk menjauh, oh iya... Kamu juga terlalu percaya diri sih menurutku ya karena menyalah artikan perhatian serta kebaikan suamiku pada kamu padahal suamiku itu memang orang yang baik pada semua orang." Pinta tersenyum puas, ia sengaja memancing Mira.

"Aku tidak salah menduga! Mas Darwis memang mencintai aku!" Mira menekan suaranya.

"Masa sih? Ada buktinya tidak?"

Mira terdiam, ia tidak memiliki bukti kuat, riwayat chat mereka pun hanya sebatasnya, tidak spesial, tidak ada juga panggilan sayang.

"Ada bukti yang bisa kamu tunjukkan?"

Mira menatap Pinta tajam.

"Misalnya, misal ya... Kamu yang menjadi istri Darwis, lalu aku menggoda suami kamu. Apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Pinta mengejek.

Mira menatap Pinta semakin tajam, tapi tidak satu kata pun yang keluar dari bibirnya. Tak lama kemudian, Mira bangkit dari tempat duduknya meninggalkan Pinta yang tertawa terpingkal-pingkal.

#

Bersambung

27 Desember 2022-09:53

Salam,

Kalinga :)

Glue StickTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang