04

870 98 6
                                    

"Kalau mau senang-senang dengan aku atau sekedar jadi pelarian saja... Kamu masih bukan orang yang pantas, Ramon." Balas Pinta santai, meski sebenarnya ia amat kesal. Sial, ia dianggap perempuan yang bisa diajak main-main.

Raut wajah Ramon seketika berubah, tapi dengan lihainya Ramon kamuflasekan dengan kekehan. "Oh ya?"

Pinta tersenyum mengejek, lalu meninggalkan Ramon.

____

"Jawab aku, Mira. Apa yang akan kamu lakukan jika kamu berada di posisi yang sama dengan Pinta?"

"Kenapa harus menjawab atau memposisikan diri aku, Mas? Padahal aku sedang tidak berada di posisi itu dan tidak akan pernah ada di posisi itu."

Jawaban Mira amat diuar prediksi Darwis, ia kira Mira akan sadar dan mundur, ternyata malah semakin berani. "Kamu hilang akal sehat, ha?"

"Kamu tahu aku tidak, Mas. Sampai detik ini pun Mbak Pinta tidak pernah tahu kan permasalahan apa yang kamu hadapi? Hanya aku, Mas... Hanya aku yang ada untuk kamu di saat kamu terpuruk."

Darwis melenguh, lama-lama ia jadi kesal. "Tidak perlu bersikeras, apapun yang kamu lakukan tidak akan merubah apapun, sia-sia saja!"

"Kita tidak akan mengetahui jawabannya jika tidak melakukannya, Mas."

"Untuk apa kamu sampai segininya?"

"Cinta Mas, aku cinta kamu."

Darwis menggelengkan kepalanya, alih-alih cinta, ia merasa Mira terobsesi padanya.

#

Meskipun Pinta sibuk dan lelah dengan pekerjaan di kantor, tapi ia tetap melaksanakan beberapa pekerjaan rumah yang bisa ia kerjakan, salah satunya adalah mencuci pakaian.

Apakah Pinta tidak dibantu asisten rumah tangga? Tentu... Pinta tetap meminta bantuan pada asisten rumah tangga yang tidak datang setiap hari, itu pun hanya dari pagi sampai siang hari saja.

Saat memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci, ada sesuatu yang menarik perhatiannya.

Pada kemeja kerja yang dipakai Darwis tadi terdapat noda lipstik yang memang jika tidak diperjelas saat melihatnya tidak akan terlihat.

Jelas itu bukan milik Pinta, selain tidak memiliki warna lipstik ini, hari ini pun ia dan Darwis tidak ada interaksi seintim ini sampai meninggalkan bekas noda lipstik. Oh tidak, bahkan ia dan Darwis memang sudah lama tidak berhubungan intim.

Pinta segera mengambil ponselnya yang ia letakkan di dalam kamar, entah mengapa ia ingin mengabadikan momen penemuan ini. Ternyata Darwis juga berada di sana. 

Darwis menatap Pinta, tersenyum tipis. Sementara Pinta, menaikkan sebelah alisnya lalu mendekat.

"Kamu tidak jadi resign?"

Sesaat Darwis menatap Pinta dengan pandangan tanya, lalu seakan teringat pada ucapannya kemarin. "Belum bisa, Ta... Kantor sedang sibuk-sibuknya."

Pinta tidak bertanya lagi padahal mulutnya sangat gatal ingin mengungkapkan berbagai sindiran yang berseliweran dalam kepalanya. Ia pun memilih untuk melanjutkan niatnya untuk mengambil ponselnya.

"Apa Mira berulah lagi?"

Pertanyaan tersebut menghentikan langkah kaki Pinta. "Ada noda lipstik di kemeja kamu."

Darwis mendekati Pinta.

"Jujur saja, aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi kamu." Nada suara Pinta bergetar, ia kecewa pada dirinya yang tidak tahu harus bertindak apa pada Darwis.

"Aku akan menceritakannya pada kamu, sejujur-jujurnya. Maukah kamu mendengar?"

Pinta tidak memberikan tanggapan, ia sibuk mengatur emosi yang menggelegak dalam dadanya.

"Ta..."

"Bicaralah."

Darwis pun menceritakan kejadian di kantor tadi, tidak ada yang ditutupi selain kisah terpuruknya yang hanya Mira lah yang tahu juga menjadi awal kedekatan mereka. Meski ia agak takut-takut bercerita insiden ciuman dengan Mira yang sama sekali tidak ia duga dan tidak diinginkan olehnya.

"Dan noda lipstik, sepertinya ada karena insiden itu. Aku sudah mengatakan yang sejujurnya pada kamu, Ta..." Darwis mengakhiri ceritanya.

Sementara, Pinta sendiri tidak percaya sepenuhnya pada apa yang disampaikan Darwis.

"Ta, percayalah, aku pun sedang berjuang. Maaf pada rasa jenuh yang aku rasakan kini, tapi berpisah denganmu pun aku tidak ingin. Aku yang salah dan aku ingin hubungan kita tetap utuh, tolong percayalah, percayai aku."

"Biar waktu yang akan membuktikan, perkataan kamu dapat dipercaya atau hanya... Penyelesaian sementara."

"Kamu juga tidak ingin bercerai kan, Ta?"

"Untuk saat ini, aku meletakkan semua keputusan pada kamu." Pinta berbalik memunggungi Darwis. "Tapi harus kamu ingat, perasaanku padamu juga tidak sebesar itu untuk bisa tetap berjuang."

#

Hubungan Pinta dan Darwis tetap kaku, tapi bedanya kini, Darwis mulai berbicara pada Pinta.

"Bagaimana pekerjaan kamu? Lancar?"

Pinta mengangguk, badai rumah tangga pun tidak akan menggoyahkan fokusnya pada saat bekerja. Membangun fokus sampai tingkat seperti itu bukanlah hal mudah, karena sudah melewati banyak permasalahan dan cobaanlah Pinta menjadi sosok yang jauh lebih kuat. Karena ia sadar, meratapi permasalahan tidak akan memberikan solusi, sementara ada hal lain yang harus ia lakukan. Terkadang, menghadapi masalah memang hanya harus dijalani, dan entah bagaimana... Permasalahan itu pun akan terlewati dengan sendirinya. Dengan catatan, tidak lari dari masalah itu dan tetap bertanggung jawab.

"Senang mendengarnya, banyak anak baru yang masuk, Ta?" Sebelum menikah, Darwis dan Pinta satu kantor, karena aturan perusahaan yang tidak memperbolehkan suami istri bekerja satu kantor, Darwis pun mengalah, ia yang resign dan membiarkan Pinta yang tetap berkarir disana.

"Ya, lumayan. Kantor kamu bagaimana?"

"Aku mau resign sekitar bulan Februari nanti. Aku mau berwiraswasta saja, menurut kamu gimana?"

"Tidak masalah, asal kamu sudah tahu mau usaha apa dan yakin dengan apa yang kamu jalani."

Darwis tersenyum. "Terima kasih, Ta."

Pinta tersenyum juga. "Aku senang kamu mulai berbicara lagi pada aku, terima kasih atas usaha kamu untuk pernikahan kita."

"Terima kasih, Ta. Kamu sudah mengapresiasinya. Kita sama-sama berjuang."

"Aku berharap semoga kedepannya tidak ada yang kamu tutupi lagi, apapun itu... Baik atau buruknya, ceritakan padaku." Pinta berusaha untuk membina kembali hubungan mereka yang merenggang.

"Pasti sulit buat kamu tetap bertahan."

"Sulit, memang sulit. Ibarat tanaman yang tidak disirami dan diberi pupuk lama-lama akan layu. Tapi tanaman tidak menyerah, ia terus berusaha mencari sumber air untuk tetap hidup, tapi jika tetap tidak menemukannya, bukan hanya layu, tapi tanaman akan mati."

Analogi yang diucapkan Pinta menggambarkan apa yang ia rasakan kini, Darwis pun tidak bodoh untuk tahu apa yang Pinta maksudkan, istrinya itu sedang memberinya ultimatum. Meski terlihat baik-baik saja, tapi keduanya tahu jika hubungan mereka berada di ujung tanduk.

#

Bersambung

30 Desember 2022 - 12:06

Padahal Pinta adalah sosok istri yang suportif, berpegang teguh pada komitmen dan bisa diandalkan. Bahkan meminta Darwis untuk bercerita apapun padanya baik maupun buruknya keadaan. Tapi mengapa Darwis malah membagi keterpurukannya dengan Mira? 

Apakah usaha Pinta dan Darwis untuk memperbaiki hubungan mereka berhasil?

Dukung saya di Wattpad dengan vote cerita ini ya :)

Terima kasih, 

Salam,

Kalinga :)

Glue StickTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang