Prelude: How it started

12 1 0
                                    

12 Mei, 2021

Hari terakhir Ujian Kenaikan Kelas benar-benar menguras energi. Bagaimana tidak? Hari terakhir ujian malah disuguhkan mata pelajaran Matematika Wajib dan Sejarah Indonesia. Dua pelajaran yang bertolak belakang tapi sama-sama bikin kepala rasanya ingin meledak saking pusingnya, pusing dengan angka dan rumus-rumus matematika, juga pusing dengan tanggal, bulan, tahun beserta peristiwa-perisitiwa sejarah Indonesia dan dunia.

Tidak mau memikirkan kembali jawaban-jawabannya pada dua ujian tadi -yang akan membuatnya bertambah pusing, gadis cantik itu memilih merebahkan kepalanya ke atas meja sekretariat osis yang sepi itu.

Nata, gadis cantik itu memilih memejamkan matanya sambil menunggu seseorang yang berjanji akan menemuinya sepulang sekolah dan mengajaknya ke timezone sebagai perayaan kecil-kecilan atas berakhirnya masa-masa ujian kenaikan kelas.

Saat hampir terlelap, suara pintu terdengar dibuka dengan cepat dan Nata bisa mendengar dengan jelas ketukan sepatu melangkah ke tempatnya duduk dengan begitu tergesa. Gadis cantik itu akhirnya membuka matanya dan menegakkan badannya hanya untuk menemukan Radit -seseorang yang ditunggunya hampir mencapainya. Nata mengembangkan senyumnya tanpa menyadari ekspresi datar Radit yang baru pertama kali ia tunjukkan pada Nata.

"Ra-"

"Gue nggak nyangka lo bisa segitunya, Nat," ujar Radit memotong sapaan Nata.

Nata melunturkan senyumnya, gadis cantik itu mengernyit bingung. Ada apa dengan laki-laki yang sudah menjadi pacarnya setahun belakangan ini?

"Gue nggak ngerti maksud lo," sergahnya cepat.

Radit memicingkan matanya skeptis, binar cinta yang selalu ia tunjukkan pada Nata enyah begitu saja, digantikan dengan tatapan tajam penuh amarah pada satu-satunya perempuan yang ia sayangi setelah bundanya.

"Nggak usah ngelak, Nat. Gue udah tau semuanya. Lo mikir nggak sih sebelum ngelakuin itu?"

Nata, gadis cantik itu semakin mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti maksud dari setiap ucapan yang terlontar dari bibir kekasihnya itu.

"Gue pikir lo ngerti selama ini. Lo harusnya ngomong dari awal. Bilang Nat kalau lo nggak suka, bukannya ngelakuin hal kejam kayak gitu."

Radit menghela napasnya, ia telah dikuasai emosi, tapi masih berusaha menjaga agar kata-kata kasar tidak lepas dari bibirnya.

"Dia punya asma, Nat. Lo tahu itu! Dia bisa mati, Nat. Dia. Bisa. Mati. ARGGHH!!" sentak Radit seraya mengusap wajahnya frustasi.

Gadis yang dari tadi memilih diam itu semakin dibuat bingung. Siapa? Siapa dia yang dimaksud Radit? Apa yang sudah Nata lakukan? Nata benar-benar tidak memiliki clue tentang apa yang sedang terjadi. Dia benar-benar clueless dan sedikit terluka dengan semua tuduhan-tuduhan Radit. Terlebih dengan tatapan tajam laki-laki tampan itu yang seakan ingin membunuhnya.

Di mana Radit yang lembut? Di mana Radit yang tidak pernah menaikkan nada bicaranya padanya? Di mana Radit yang selalu menatapnya penuh cinta? Di mana Radit yang bilang tidak akan pernah melukainya? Di mana?

"Kita akhiri aja semuanya, Nat."

Nata memandang wajah Radit. Dia... tidak salah dengar 'kan?

"Gue nggak bisa sama perempuan licik dan yang hatinya jahat kayak lo."

Radit berlalu begitu saja, meninggalkan Nata yang memandang jejak-jejak keberadaan Radit di ruangan ini dengan pandangan kosong.

Hatinya sakit. Tapi mendengar Radit mengatainya perempuan licik dan berhati jahat entah mengapa lebih mengiris-iris hatinya.

Jadi hanya sampai disini kisahnya dengan Radit? Mereka usai begitu saja tanpa sempat Nata membela diri?

Nata tertawa pelan, tanpa sadar di sela tawanya, air mata lolos begitu saja membasahi pipi putihnya.

Benar-benar selesai ya?

---

December RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang