Bab 1

8 3 0
                                    

Sejujurnya gak pernah terlintas bayangan bakal berinteraksi sama Kalea lagi terlintas di benak gue.

Kenapa?

Karena selama ini aja kita udah jadi asing.

Cuma sebatas teman sekelas, gak lebih dari itu. Tapi gue gak kaget waktu pembagian kelompok tadi. Meski sedikit banyaknya enggan, karena kalo boleh, gue lebih milih buat nugas sendiri tanpa adanya kelompok.

Kalo ditanya kenapa gue gak ngelempar protes disaat sebagian anak di kelas memprotes, jawabannya simple. Cukup masuk akal kalo gue sama Kalea berada di satu kelompok yang sama.

Kelompok yang dibentuk acak, dan kebetulan jarak absen gue sama Lea cukup deket. Begitupun Sean sama Mia sekalipun inisial nama mereka agak jauh dari inisial nama gue.

Anyway  gue udah sampe di parkiran. Bersiap mau pulang kalo aja objek yang ada di deket pohon besar gak nyuri atensi gue.

Itu Kalea. Yang gatau kenapa dia bisa jatuh ketimpa sepeda.

Beruntung udah ada yang bantu, gue jadi gak perlu repot harus nyamperin dia. 

Tapi sadar atau ngga, gue ngerasa lucu. Tingkah Lea emang suka diluar nalar. 

Baru mau lanjutin langkah gue yang sempet tertunda, teriakan seseorang membuat gue noleh ke asal suara.

Dari jarak yang gak begitu jauh, ada Hiero yang jalan cepet nyamperin Lea.

Tidak ada angin tidak ada hujan, entah mengapa sepeda yang Kalea tumpangi bisa oleng.

Benar kata orang omongan itu doa, hampir saja Kalea masuk ke dalam selokan. Jantung Kalea terasa di pompa sangat cepat, dia syok untung saja di sekolah ini masih ada beberapa orang lalu lalang menunggu jemputan.

“KALEA.” Suara bariton masuk ke dalam pendengaran Kalea.

Sungguh di banding sakit nya yang tidak seberapa dia sekarang sangat malu. Ya walaupun sudah malu karena di tolong beberapa orang, tetapi orang yang satu ini membuat Kalea benar-benar ingin menghilang, yup! Dia Hiero kakak Jarrel sekaligus Kakak kelas Kalea.

“Kamu nggak papa kan?,” ucap Hiero.

Heiro berterimakasih kepada siswi yang menolong Kalea, lalu menuntun Kalea duduk.

“nggak papa kok kak, btw jangan kasih tau mamah ya pliss,” Kalea mencoba bernegosiasi kepada Hiero.

Hiero hanya terkekeh mendengar cicitan Kalea.

Kalau mamah Kalea tau bagaimana reputasi Kalea nanti, pasti sama mamah Kalea bakal di bahas sampai tahun depan itu pun kalau tidak di kasih tau kepada teman arisannya.

Tawa Hiero tak bisa tertahan lagi, “lagian ya kamu, kok bisa jatuh sih.” Hiero berbicara sekaligus tertawa karena tingkah Kalea.

Heiro sedang memeriksa tasnya, apakah ada barang yang tertinggal di kelas atau tidak.

Saat ia mendongak tidak sengaja suara keras membuatnya reflek menoleh.

“KALEA,” panggil Heiro.

“Astaga, Le,” gumamnya.

Coba tebak, siapa yang gak panik waktu liat seseorang apalagi sosok yang dikenal, jatuh ketimpa sepeda?

Sumpah demi apapun, bahkan gue meringis waktu liat luka baretan di betis Kalea.

Sekalipun gak parah, yang namanya jatuh bukannya pasti sakit?

“Kamu nggak papa kan?,” ucap Hiero sambil membantu Kalea duduk.

“Makasih udah mau bantu Lea. Dia biar aku yang ngurus. Kamu balik aja, udah di tungguin tuh,” ujar gue ke siswi yang sempet bantu Lea beserta sepedanya.

Begitu siswi itu berlalu pergi, Kalea gue tuntun supaya duduk di bangku panjang yang letaknya gak jauh dari sana.

“nggak papa kok kak, btw jangan kasih tau mamah ya pliss,” Ucap Kalea mencoba bernegosiasi kepada Gue.

Gue hanya terkekeh mendengar cicitan Kalea.

Tawa gue sudah tak bisa tertahan lagi, “lagian ya kamu, kok bisa jatuh sih.” Gue berbicara sekaligus tertawa karena tingkah Kalea, tanpa sengaja mengusap kepalanya.

Kalea hanya terdiam merasakan perlakuan Heiro yang menurutnya sangat tiba-tiba.

Gue berjongkok untuk memeriksa lukanya.

“Kak Hie, gue gapapa kok. Gak usah sampai segininya,” Bisik Kalea yang berusaha membuat gue kembali berdiri.

“Lo jalan aja udah sampe pincang gini. Nanti aja ya, istirahat dulu gue periksa sebentar. Baru lanjut pulang ya?” gue menunggu reaksi Kalea apakah ia memperbolehkan atau tidak.

Begitu dia duduk kembali, tangan gue mengecek kondisi kakinya.

“Kak,”

“Sebentar, takutnya infeksi.”

Kebetulan masih ada sisa air minum juga tisu, gue pake itu buat bersihin luka Kalea.

“Makasih kak, maaf gue ngerepotin.”

Kalea ngomong begitu bersamaan dengan gue yang beranjak berdiri untuk melihat sepedanya.

“Santai aja,” 

“Itu kayaknya rantainya putus deh kak,” Ucap Kalea.

Gue masih fokus dengan sepedanya tanpa sengaja mengabaikannya. Sampai gue menemukan permasalahannya.

“Kamu pulang sama aku aja deh. Biar sepeda kamu kita taruh bengkel dulu.”

“Ah, gak usah kak besok aja nggak papa. Makasih atas tawarannya. Lagian gue gapapa kok, masih bisa buat jalan nuntun sepeda ini sampai rumah,”

“Astaga Lea, jalan lo aja pincang gitu,”

“Gini aja deh kamu naik motor aku, nanti aku yang tuntun sepedanya,” usul Heiro.

Gue terkekeh geli waktu ngeliat reaksi Kalea yang kayak bingung gitu.

“Gimana?” Tanya gue memastikan.

“Tapi nanti kakak cape, umm kalau gue naik sepeda gue terus pegang motornya bisa nggak kak?”

“Bisa deh kayaknya, tapi kamu naik motor aku aja ya, takut susah pegangnya oke?”

Dia ngangguk pelan, baru ngelempar senyum manisnya sebelum kepalanya menunduk dalam.

“Oke, ayok.”

Tbc.

My Stepbrother's RivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang