Brak....
"Tekanan darah semakin menurun dok..."
"Segera lakukan CT scan."
"Segera hubungi tim bedah,"
"Semua pasien sudah dipindahkan ke rawat inap Dok."
"Baik terima kasih."
***
Setelah keadaan genting kurang lebih dua jam yang di lalui, kini seorang dokter dengan name tag bertuliskan 'dr Adrian Pratama' bisa sedikit menarik napas. Dia begitu rakus menghirup oksigen di sekitarnya, dengan wajah lesu ia melirik pada jam dinding ruangan UGD yang menunjukkan pukul tiga kurang lima belas menit.
"Selamat sore Dok, gimana UGD?" Dokter dengan name tag dr.Anjar menarik kursi plastik diujung ruangan, kemudian duduk di depan meja.
"Hectic. Ada pasien kecelakaan beruntun masuk siang tadi." Jelas Adrian dengan suara lelah.
"Pantes kusut amat lo. Bentar lagi operan jaga, lo bisa istirahat."
"Heum. Lima menit lagi kita operan jaga!" Adrian memberikan instruksi pada dokter dan perawat jaga shift satu.
"Habis ini lo mau kemana?"
"Pulang, tidur." Begitulah gaya bicara Adrian jika berhadapan dengan dr. Anjar di waktu istirahat, terlebih Anjar adalah temen seperkuliahannya yang menjadi dokter UGD muda sama seperti dirinya. Bedanya dia sudah punya istri, sedangkan Adrian masih single. Adrian tidak tau gimana caranya membagi waktu untuk diri sendiri, sehingga dunia percintaannya tidak semulus Anjar, miris.
Sepertinya di kepala Adrian isinya hanya pasien pasien pasien. Kalaupun jatahnya libur, paling cuma tidur di rumah ataupun pergi mancing. Semalas itulah Adrian kalau tidak lagi jaga UGD.
Sekitar lima belas menit digunakan untuk operan jaga dan sedikit evaluasi. Adrian masih setia menyandarkan tubuhnya pada kursi di dalam ruangan disaat dokter dan perawat lain mulai bergantian keluar.
"Tidur mulu kerjaan lo kalo kelar jaga. Keluar gih sono cari jodoh. Biar ada yang ngurusin, kasian amat lo udah kayak robot yang kerjanya pake sistem komputer."
"Heum. Duluan." Adrian menanggapi acuh Anjar, udah capek mau cepet-cepet ketemu kasur.
"Inget lo juga butuh hidup, gak cuma pasien lo aja."suara Anjar terdengar tepat sedetik sebelum sosok Adrianmenutup pintu dari luar.
Kalau Adrian bilang dia adalah seorang dokter jadi-jadian kalian jangan percaya ya. Walaupun menjadi dokter tidak masuk dalam list kehidupannya, ia tetap menjalankan tugas dan kewajibannya dengan benar.
Emak bapak Adrian memberi nama 'Adrian' yang berarti laut. Hal itu mungkin yang membuat dirinya suka laut, seakan tenang diatas tapi menyimpan banyak pesona didalamnya. Tapi sepertinya dulu ia lupa kalau Adrian juga berarti air, air kan gak cuma di laut, disungai, danau bahkan di ember kamar mandi juga ada air. Nah itu adalah Adrian, ia bagai air yang ada diember kamar mandi, ditakdirkan mengalir dari keran sesuai dengan kemauan si pemilik, ditampung dalam ember sempit dan berakhir diselokan. Iya kalau buat mandi, kalo buat cebok ya berakhir di septic tank.
Tapi tolong jangan hujat Adria dulu, ia bilang gitu bukannya tidak bersyukur hanya saja merasa hidupnya terlalu disetting sama emak bapaknya tapi berakhir disia-siakan. Adrian dulu bercita-cita masuk ke akademi Angkatan Laut, keren gak tuh. Tapi tanpa persetujuan, emak bapaknya sudah mendaftarkannya ke sekolah kedokteran dan dipaksa untuk menjadi dokter. Ia diancam dikeluarkan dari KK kalau tidak mau nurut. Adrian yang pada saat itu masih lulusan SMA kinyis-kinyis ya takut kalau beneran dikeluarin dari KK. Maka dari itu ia nurut saja dah. Tapi setelah berhasil menjadi dokter, tidak sampai disitu saja. Adrian dituntut juga ambil spesialis, tepi ditolak karena ia merasa sudah cukup jadi dokter umum, tidak kuat sekolahnya lama. Dan berakhirlah Adrian Pratama bekerrja di unit gawat darurat. Sudah 6 tahun ia kerja di RS Kita Bersama, dan sekarang ia sedang merasa jenuh dengan rutinitas sebagai dokter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hospital Life
General FictionKeseharian tenaga kesehatan yang selalu berkutat dengan Pasien, konsultasi, bedah, dan Kegawatdaruratan. Kegiatan yang selalu monoton mulai tergoyahkan dengan adanya bumbu-bumbu romansa yang datang tanpa aba-aba. Bagaimana kisahnya? (Cerita ini ha...