PROLOG

116 62 53
                                    

NOTE: Lagi dirombak besar besaran.

Ini tentang seorang gadis penyuka senja bukan-bukan ia bukan hanya suka senja, tapi juga hujan dan luka.

Alleira Lorenza Zaqquella, nama yang indah bukan?
Sayangnya, tak seindah namanya dirinya justru seperti tak di inginkan oleh siapapun.

Sore itu ia dengan rambut pendeknya yang sengaja ia biarkan tergerai, tengah duduk didepan jendela kamar bercorak putih dan biru langit yang begitu kontras. Gadis itu sedang mengamati langit berwarna oranye dan sang mentari yang sebentar lagi kan tenggelam, dengan angin yang senang-tiasa berhembus membelai lembut anak rambutnya.

Seulas lengkungan tipis terbit di bibirnya, meskipun mentari sudah tenggelam namun senyuman itu tak turut menghilang jua. Justru semakin merekah. Padahal tangannya tengah terluka.

Rasa sakit pada lengannya ia abaikan. Gadis itu bangkit dari duduknya, mengarahkan kedua kakinya menuju tempat tidur.

Bukan-bukan, bukan untuk terlelap mencapai mimpi apa lagi mengobati luka di lengannya. Ia justru menambahkan luka itu padahal belum mengering, dan anehnya bukannya meringis atau bahkan menangis, gadis itu malah tertawa kecil.

Seakan, Rasa sakit di fisik tidak berarti apa-apa ketika rasa sakit di hati lebih mendominasi.

Setelah merasa cukup puas, gadis itu lantas meminum satu pill obat tidur lantas merebahkan dirinya.

Brak!
Brak!
Prang!

Suara ribut dibawah membuatnya tersentak. Dengan segera mungkin ia merapihkan diri, lalu turun kebawah melihat kekacauan apalagi yang monster itu perbuat.

Tak lupa memakai polesan make up tipis agar luka-lukanya tak terlihat, bisa bahaya kalau sampai lukanya kelihatan. Bisa-bisa kena ceramah tujuh hari tujuh malam.

"Agrh!"

Lihatkan sudah seperti monster betulan, wajah yang kelihatan tak terurus, pakaian yang sudah mulai mengendur dan vas bunga yang hancur dimana-mana.

Gadis itu menangkap luka di telapak tangan si monster, ayahnya.

"Papa?!" Dengan panik ia menuruni tangga, mengambil kotak P3K baru saja dirinya menyentuh tangan milik ayahnya, tapi sudah lebih dulu ditepis.

Plak!

Ya seperti inilah makanannya setiap hari, tamparan maupun pukulan selalu dia dapatkan. Sialnya ia tak sampai hati bila harus membenci.

Sudah biasa, itu yang membuatnya tak menangis ataupun merintih kesakitan.

Monster itu menyeretnya sampai kamar mandi, tanpa perasaan kasian maupun iba ia membenturkan kepala Alleira, putrinya sendiri pada pinggiran bathtub.

Darah dari kepala sang putri mulai bercucuran, tapi lagi-lagi ia hiraukan dan malah memilih pergi meninggalkan putrinya sendirian didalam kamar mandi.

Alleira bangkit, menatap dirinya sendiri dari pantulan kaca. Sungguh kasihan. Padahal tadi dia sudah rapih, sudah bersih, dan sudah cantik, malah jadi acak-acakan seperti ini, dengan bau amis dan lengket dimana-mana.

Mendesah pelan, dengan jalan tertatih-tatih Alleira menaiki tangga menuju kamarnya, mau tak mau ia harus mandi lagi.

Kini Alleira sudah siap. Gadis itu menyangkutkan ransel hitam miliknya pada lengan sebelah kiri. Tak lupa memakai jaket kulit yang juga berwarna hitam, dan helm full face kesayangannya.

Meski jalannya sedikit tertatih, tapi Alleira tetap harus pergi sekolah, karena ia telah berjanji kepada kedua orangtuanya untuk membanggakan mereka dengan prestasi yang ia dapat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AlleiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang