"Deva! Deva gak boleh gitu sama kak Lay! Kak Lay emang salah apa sampai Deva pukulin Kak Lay?" Suara cadel itu berasal dari gadis kecil berusia lima tahun itu.
"Lian gak usah ikut campur! Deva gak salah! Yang salah itu Ray!" tunjuk Deva kecil ke Ray yang menangis.
"Emang Kak Lay salah apa?" tanya Lian kecil.
"Ray udah ngatain Lian. Makanya Deva pukulin biar Ray gak ngatain Lian lagi," jawab Deva kecil.
Lian kecil menggeleng. "Deva gak boleh gitu. Kak Lay kan gak punya teman, pasti Kak Lay cuma cali pelhatian Lian aja." Dia mendekati Ray dan langsung memeluknya. Dia lalu melepaskan pelukannya dan menatap Lay. "Kak Lay gak usah nangis. Kalo Kak Lay gak punya teman, Lian mau kok jadi temannya Kak Lay."
Melihat senyum tulus dari Lian kecil membuat Ray berhenti menangis. Dia mengelap ingusnya di lengan bajunya. Lalu dia mengulurkan jari kelingkingnya. "Janji? Janji Lian bakalan jadi teman Ray selamanya!"
Lian kecil mengangguk antusias. Dia mengaitkan jari kelingking mungilnya dengan kelingking Ray. "Lian janji bakalan jadi teman Kak Lay selamanya!"
Mereka berdua pergi meninggalkan Deva kecil yang terdiam. Mulutnya terbuka menggumamkan sesuatu.
"Lian jangan pergi."
"Lian jangan pergi!"
Deva terbangun dari tidurnya dengan napas yang memburu. Tubuhnya banjir oleh keringat. Dia meringkuk, menarik selimut hingga sebatas dagunya. Tubuhnya gemetar ketakutan.
***
Lian mencuci wajahnya dan menggosok gigi. Dia terbangun entah karena apa. Padahal dia tidak mimpi buruk. Kalau sudah bangun begini, bakal sulit untuk melanjutkan tidurnya.
Lian mengelap wajahnya dengan handuk. Dia berjalan ke dapur. Dia membuka kulkas dan mengambil air dingin. Dia meringis merasakan ngilu di giginya.
Lian berjalan ke ruang tamu. Menyingkap tirai jendela melihat bagaimana sunyi dan gelapnya langit. Waktu masih dini hari, yaitu jam empat. Belum waktunya matahari menampakan diri.
Lian memicing melihat siluet seseorang yang meringkuk di teras rumahnya. Dia segera menutup tirai setelah melihat orang itu menoleh. Dia dengan tergesa mengambil sapu. Dia berdiri di balik pintu dengan keadaan tegang. Dia bimbang untuk membuka pintu atau tidak. Rasanya dia ingin kembali ke kamar dan meneriaki Deva di balkon. Tapi dia tidak ingin menggangu tidur orang tuanya Deva.
Dengan tangan gemetar, Lian memegang handle pintu. Dia memejamkan mata, bersiap untuk melihat siapa orang yang ada di terasnya. Dengan cepat dia membuka pintu. Sapu di tangannya dia angkat tinggi bersiap memukul orang yang ternyata berdiri tepat di depannya sehingga dia mengetahui siapa orang itu.
"Deva!!!" pekik Lian.
Lian menurunkan sapunya dan melihat keadaan Deva yang terlihat kacau. Dia menarik Deva masuk ke rumahnya. Lian kembali ke dapur mengambil air untuk Deva. Deva langsung meneguknya hingga habis.
"Lo ngapain ada di depan? Gue kira siapa," ucap Lian kesal. Melihat tidak ada respons dari Deva, dia mendekat. "Kenapa? Lo mimpi buruk lagi?" tanyanya.
Deva melihat Lian, lalu dia mengangguk pelan. Langsung saja Lian mendekapnya. Tepukan di punggungnya membuatnya memejamkan mata.
"Gak apa-apa. Itu kesalahan gue, bukan kesalahan lo. Gak ada alasan gue buat ninggalin lo. Lo terlalu lemah buat gue tinggalin. Gue gak akan kemana-mana. Gue gak akan pergi ninggalin lo lagi. Selamanya gue akan terus ada di sisi lo," ucap Lian menenangkan.
Mungkin ucapan Lian tadi seperti meremehkan Deva. Tapi itu hal yang manjur. Deva kembali tenang, tidak gemetaran lagi seperti sebelumnya.
Lian merebahkan dirinya di sofa. Deva yang tertidur di dekapannya, dibiarkan oleh Lian. Tiba-tiba kantuk mulai menyerangnya. Dia pun ikutan tertidur dengan posisi Deva yang tertidur di dekapannya.
***
"Kamu, ya! Mama kaget pas lihat kamu di kamar, ternyata gak ada. Ternyata malah ke rumah anak gadis subuh-subuh," marah Mama Deva.
Lian tertawa pelan. "Tau nih, Tan. Marahin aja nih Deva. Lian kira ada pencuri ternyata malah Deva duduk di teras," kompornya.
Papa Deva menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mana tidur lagi di tempat Lian. Kalau tetangga lihat gimana? Apa kata tetangga nantinya?" sudutnya.
"Gak usah ngurusin tetangga, Pa. Gak usah ikut-ikutan kayak tetangga sebelah yang doyannya ngegosip mulu," balas Deva malas. "Lagian Deva sama Lian gak ngapa-ngapain."
"Kamu ini! Ngeles aja bisanya." Mama Deva menjitak kepala Deva pelan.
Lian tersenyum sambil memakan sarapannya. Dia selalu merasa nyaman jika berada di keluarga Deva. Hangatnya kebersamaan mereka yang tidak pernah dia rasakan bersama keluargannya, membuat dia merasa iri dengan Deva. Tapi dia tidak mungkin meminta Tuhan untuk menukar posisi mereka. Selain mustahil, dia juga tidak mau membiarkan Deva merasakan apa yang dia rasakan. Luka yang dalam yang mampu dia tutupi itu tidak akan ada yang bisa merasakannya.
"Lian! Kenapa bengong aja, Nak?"
Tepukan dari Papa Deva membuat Lian tersadar dari lamunanya. Dia tersenyum. "Nggak, Om."
"Udah yuk, berangkat!"
"Eh! Tunggu, Dev!"
***
"Gak di SMP di SMA, gak ada berubahnya tuh anak. Tetap aja bar-bar. Udah miskin gak tau diri lagi!"
"Benar tuh. Eneg banget gue lihat mukanya. Pengen gue cakar!"
"Kita kasih pelajaran aja, yuk!"
"Dia gak bakalan mempan kalo kita kasih pelajaran. Dia bakal bereaksi kalo kita udah bawa-bawa keluarganya. Lo gak tau aja sesering apa gue di SMP bully dia."
"Jadi, gimana?"
"Gue punya ide!"
"Ide apaan tuh?"
"Sini-sini gue bisikin."
Hening.
"Apa gak terlalu berbahaya?"
"Eh! Apaan sih?! Seru tau!"
"Udah deh. Ikut aja."
"Kenapa, sih?" tanya Deva bingung. Dari tadi mereka berdiri menguping pembicaraan ketiga perempuan itu. Tanpa tahu alasanya, dia menurut saja ikut terlibat dalam menguping.
Lian menarik Deva pergi dari sana ketika melihat salah satu dari mereka mulai curiga ada yang menguping. "Lo tau! Itu mereka yang kemarin. Yang berantem sama cewek bar-bar!" pekiknya tertahan.
"Terus mau lo sekarang apa?" tanya Deva malas. "Lo mau bilang ke cewek bar-bar itu kalo mereka merencanakan sesuatu? Gak usah ikut campur urusan orang, Lian. Lo tau gue gak cukup kuat buat lindungi lo!"
"Gue gak perlu lo lindungi, Dev. Gue yang lindungi lo," ucap Lian tersenyum.
"Jadi, lo tetap mau kasih tau cewek bar-bar itu?" tanya Deva lagi.
Lian mengangguk. "Sekadar kasih tau aja, Dev. Tapi kalo di depan mata gue mereka melakukan sesuatu, gue gak bisa tinggal diam," ucapnya tegas.
Deva menghela napas. Masalah kemunculan orang yang nimpuk Lian pakai bola basket saja sudah buat Deva siaga. Ini Lian malah menambahkan masalah untuknya yang nantinya pasti akan berimbas padanya. Kalau Lian tidak bisa tinggal diam melihat orang lain di bully, dia juga tidak akan tinggal diam kalau Lian ikutan di bully.
***
Spill chap 5 :
"Kadang gue pengen kayak lo, Dev. Yang cueknya minta ampun," ucap Lian sarkas.
***
See you again at CHAP 05 🌚
KAMU SEDANG MEMBACA
Calon KetOs
General Fiction[ O N G O I N G ] "Jangan salahkan aku kalau aku mencari kebahagiaan di keluarga lain. Karena kebahagiaan di keluarga aku sendiri sama sekali tidak ada" -Krystal Berlian "Kalau lo nggak ada, gue mungkin bakalan jadi kayak zombie" -Devyn Radeva "Gue...