C H A P T E R || 0 7

0 0 0
                                    

Mama Deva tiba-tiba tertawa. Deva melihat Mamanya bingung. "Bagaimana mau bangunin kamu? Liannya aja udah berangkat duluan," beritahunya.

Mata Deva melotot saking tidak percayanya dia apa yang barusan dia dengar. Tanpa ba-bi-bu lagi, dia melompat dari kasurnya dan berlari ke kamar mandi yang ada di kamarnya.

Mama Deva mengangkat bahu acuh, lalu keluar dari kamar Deva. Dia menghampiri suaminya yang sudah duluan memakan sarapannya. "Lama banget. Aku udah lapar, jadinya aku makan duluan deh," gerutu Papa Deva.

Mama Deva mencibir. "Anak kamu tuh, susah banget di bangunin."

Papa Deva terkekeh. "Karena udah ada Lian bertahun-tahun bangunin Deva, kamu malah santai-santai. Jadinya, kalau kamu yang bangunin Deva malah kesal sendiri."

Mama Deva tidak menghiraukan perkataan suaminya. Dia mendekat. "Aku khawatir penyakit Deva makin parah. Padahal dia udah tidur jam delapan, tapi kenapa susah banget buat di bangunin. Saat di SMP juga, kata gurunya dia kadang ketiduran di kelas. Aku takut dia seperti almahrum kakek kamu." Terlihat wajah Mama Deva menunjukkan raut khawatirnya. Setegas-tegasnya dia dengan Deva, dia tetaplah seorang Ibu dari Deva yang merasa khawatir jika penyakit yang di miliki Deva menggerogoti tubuh anaknya.

Papa Deva menghela napas. Dia mengelus rambut istrinya. "Nggak ada yang bisa kita lakuin untuk Deva, kecuali berdoa dan berusaha. Kita juga harus terus mensupport Deva untuk tidak depresi dengan penyakitnya. Sekarang udah ada Lian. Lian bisa mewujudkan keinginan kita untuk membuat Deva bahagia. Semenjak ada Lian, Deva mempunyai semangat untuk sembuh. Jadi, kamu jangan terlalu khawatir. Semakin kamu khawatir, Deva akan merasa tidak nyaman," jelasnya sabar.

Mama Deva mengangguk pelan dengan ekspresi lesunya. Tampak Deva menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Dia melewati saja orang tuanya tanpa pamit.

"Deva! Sarapan dulu!" teriak Mama Deva.

"Di kantin aja, Ma! Aku berangkat!" balas Deva berteriak.

Terdengar deruan dari motor Deva, semakin kecil pertanda Deva semakin menjauh.

"Mama yakin, mereka berdua pasti berantem," ucap Mama Deva mengangguk yakin.

Papa Deva ikutan mengangguk. "Pasti karena hal sepele lagi," balasnya.

Mama Deva melihat suaminya. "Kira-kira sampai kapan mereka berantem kali ini?"

Papa Deva mengetuk dagunya seolah berpikir keras. "Terakhir kali gara-gara Lian ngambek nggak di beliin es krim saat sakit gigi. Mereka berantem cuma dua hari. Deva gak kuat di jauhi Lian, akhirnya nuruti kemauan Lian. Akhirnya Lian sendiri yang menderita karena giginya makin parah dan berakhir di cabut."

Mama Deva tertawa mengingat bagaimana kejadian waktu itu. "Benar, Pa. Palingan mereka berantem nggak sampai tiga hari udah baikan."

Papa Deva menyeringai. "Kita taruhan aja gimana?"

Mama Deva menatap suaminya balik menantang. "Siapa takut? Aku pilih tiga hari mereka berantem," ucapnya tersenyum.

"Kamu sendiri loh yang nerima. Jangan salahin aku kalau Deva dapat adik," celetuk Papa Deva. "Aku tebak mereka berantem cuma dua hari."

"Kalau aku yang menang, temanin aku shopping sampai puas." Mama Deva mengulurkan tangannya yang langsung di jabat suaminya.

"DEAL?"

"DEAL!"

***

"Hai," sapa Lian pada Alpha.

Alpha menoleh. "Hai juga," balasnya.

Lian duduk di kursinya. Meletakkan tasnya di meja. Dia melihat sekeliling yang hanya ada mereka berdua di kelas. "Masih sepi ya. Kenapa lo pagi banget datang ke sekolah?" Dia terus saja membuka pembicaraan, meski di balas singkat oleh Alpha.

Karena menurut Alpha membelakangi orang itu tidak sopan, dia berbalik dengan memutar kursinya. "Aku emang datang pagi kok. Ini bukan pertama kalinya. Aku mau belajar tanpa di ganggu yang lain," jawabnya.

Lian manggut-manggut. "Kenapa gak di rumah lo aja? Kan lebih tenang tuh," herannya.

Alpha tersenyum kecil. "Justru di rumah semakin membuat aku gak tenang belajar."

Lian menjadi panik. "Eh, eh, maaf. Gue salah ngomong ya?"

Alpha terkekeh. "Kamu lucu!"

Lian terbengong. "Gue lucu dari mananya?"

"Kamu sepertinya sangat di manja sama orang tua kamu ya? Kamu terlihat tidak ada masalah sama sekali," ucap Alpha murung.

Lian tertawa. "Kelihatannya gitu ya? Gue emang nggak ada masalah karena masalah orang tua gue bukan masalah gue. Buat apa gue mikirin masalah mereka. Gak guna tau gak," dengusnya.

Alpha melihat Lian tidak suka. "Kamu nggak boleh ngomong gitu. Seharusnya kamu bantu masalah orang tua kamu kalau ada masalah. Jangan pura-pura nggak tau gitu," omelnya.

Lian mengulum senyum, menahan tawanya melihat wajah polos Alpha. "Kalo lo mau tau, orang tua yang udah manjain gue bukan orang tua kandung gue."

"Maksud kamu?" Alpha memiringkan kepalanya melihat Lian bingung.

Lian menghela napas. "Orang tua gue udah ninggalin gue. Mereka lebih milih pekerjaannya dari pada ngurusin gue."

"Terus yang ngurus kamu saat ini siapa?" tanya Alpha. Dia merasa tidak enak sudah berbicara jika Lian sangat di manja dengan orang tuanya. Padahal orang tua Lian dengan teganya meninggalkannya.

Lian menunjuk kursi di sebelahnya dengan dagunya. "Orang tua Deva. Kita tetanggaan. Dari kecil kita sudah sama-sama. Saat orang tua gue ngajak gue pindah ke luar negeri, gue gak mau. Gue tetap stay di rumah. Orang tua Deva sering kasih gue makan, ngurusin gue juga, pokoknya selama apa yang gue butuhi mereka selalu penuhi."

Alpha manggut-manggut. "Pantesan kalian terlihat akrab banget. Kayak adek sama kakak. Tapi apa orang tua kamu nggak pernah kirimi kamu uang?"

Lian menyandarkan tubuhnya. "Sering. Tiap bulan malah. Tapi gak pernah gue pakai. Malahan gue sering minta sama bokap Deva," ucapnya nyengir.

Alpha tertawa. "Mungkin keadaan aku masih lebih baik dari kamu. Tapi kamu beruntung, masih ada yang sayang sama kamu meski nggak sedarah."

Lian memajukan tubuhnya. "Cerita aja nggak apa-apa. Gue kan sudah cerita tentang gue, sekarang lo yang cerita, feedback gitu. Anggap aja lo lagi curhat."

Alpha menatap Lian ragu. "Aku nggak segampang itu cerita hal pribadi apalagi masalah aku ke orang lain," ucapnya tak enak. "Tapi makasih udah cerita tentang kamu ke aku."

Bahu Lian meluruh kecewa. Tapi dia tetap mengangguk menerima terima kasih dari Alpha.

"Aku lanjut belajar ya?"

Lian mengangguk. Alpha berbalik melanjutkan belajarnya.

Satu persatu mulai berdatangan siswa lainnya. Lian melihat dengan bosan ke luar jendela. Dia ingin tahu bagaimana reaksi Deva saat dia tidak membangunkannya. Kira-kira berapa lama mereka diam-diaman begini. Itu tergantung Devanya, kalau Devanya cepat menurutinya, akan cepat juga sesi diam-diaman mereka. 

***

Dua hari tanpa kebisingan tetangga yang mengganggunya, bukannya malah tenang tapi membuat Deva gelisah sendiri. Dia memikirkan matang-matang keputusan yang akan dia ambil nanti malam.

Lian sejak tadi senyum-senyum sendiri menunggu nanti malam. Nanti malam akan menjadi keputusan Deva yang akhirnya tetap akan menurutinya. Sehari tanpa Deva berat baginya, tapi dia terpaksa demi terpenuhinya permintaannya.

***

Jiahhh ketemu lagi kita~

Bucinan Lian apa Deva nih, guys?

5_Mei_2023

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 05, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Calon KetOsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang