Another chance

85 25 0
                                    

"Whoaaa! Gede banget panggungnya!" Hari ini Jenggala dan Jila tengah memotret panitia untuk persiapan Sastra-fest. Entah sengaja atau hanya kebetulan, ketua UKM sialan itu malah membuatnya bersama Jila. Padahal waktu itu Jenggala sudah menentukan tidak satu kelompok dengan anak ini. Sebenarnya tidak masalah sih, Jila juga anaknya baik, mandiri, bukan yang muluk-muluk minta di ajari ini-itu. Masalah itu kalau teman-teman nya tahu, ia malas menjadi bahan ceng-cengan.

Jenggala menggelengkan kepalanya pelan, kembali mengikuti langkah Jila yang semakin ke tengah. Ia tidak menyangka lapangan luas di samping kampus nya muat panggung sebesar ini.

"Nanti ada anak band juga nggak kak yang tampil?" Jila bertanya di tengah Jenggala yang mengarahkan lensanya membidik panggung besar itu. "Ada, nanti Chandra perform juga." Laki-laki itu menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari kamera.

"Wiiii, itu temen kakak yang satunya, yang mulutnya pedes ituloh!" Kali ini Jenggala tertawa, tidak membayangkan kalau Juna mendengar nya. Pasti laki-laki itu akan langsung melotot, bahkan tidak peduli dengan anak orang sekalipun.

"Juna itu. Lo jangan bilang mulutnya pedes di depan dia. Nanti mata lo sakit kena semprot mulut cabe." Jila tertawa keras, sampai-sampai memegangi perutnya. "Hadeh... Hahah, daripada liat kak Juna mending liat kak Gala."

"Kenapa gitu?" Kali ini Jenggala mengunci pergerakan Jila dengan tatapan mata. Karena gadis itu langsung membeku ketika Jenggala menatapnya. "Soalnya..."

Soalnya, aku suka kakak.

"Hmm?"

"Soalnya kak Gala ganteng."

"Itu mah berita lama." Jila memutar bola matanya dengan malas. Padahal gadis itu berusaha menahan detak jantungnya agar tidak terdengar oleh Jenggala. "Ini nih yang buat aku males muji. Kepedean bangeettt!"

-

Danica memegangi microphone di dekat bluetooth speaker mini. Ia sedang latihan untuk penampilannya besok. Gila, membayangkan betapa banyaknya orang nanti saja sudah membuatnya pusing.

"Danica," anak itu menoleh saat menemukan mama berdiri di ambang pintu. "Hm? Kenapa, ma?"

"Kamu belum makan ya? Lauknya masih utuh." Danica meringis, menampakan tawa garing yang membuat mama menggelengkan kepalanya sambil berdecak. "Jam berapa ini? Kamu ini kok. Pasti kalo di kosan juga makannya telat terus! Ayo makan sekarang."

"Yaah, ma—"

"Nggak usah ngeluh. Makan." Dengan langkah berat Danica pergi ke ruang makan. Padahal kan ia mau berlatih dulu.

Danica melirik jam. Ternyata memang sudah agak sore. Jam menunjukkan 02:40. Pantas mama marah-marah. Kalau Minggu begini, mama tidak akan bekerja, kadang lembur sih, jadi kalau lembur Danica tidak akan pulang.

"Ma, besok mama ikut Danica ke kosan ya?" Danica berucap sambil menyentong nasi. "Mama kan harus kerja, Dan." Danica menghembuskan nafasnya. Masa penampilannya tidak di lihat oleh mama? Kan tujuan ia tampil membuat mama bangga. Kalau bukan mama yang akan bangga padanya, siapa lagi?

"Ma... Danica udah latihan biar bisa nampilin yang terbaik. Biar mama bangga punya anak kayak aku. Aku belum bisa kasih apa-apa buat mama. Jadi setidaknya aku bisa di banggain walaupun belum berbuat banyak buat mama."

"Nak, buat mama, kamu nggak banyak ulah aja mama udah bangga. Kalaupun kamu belum bisa kasih apa-apa, enggak apa-apa. Mas kamu sampai sekarang juga nggak pernah pulang, nggak pernah ingat kalau dia masih punya keluarga di sini." Danica menunduk. "Tapi Mas masih kirim uang. Dia masih sering kirim Danica uang."

Promise the StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang