Lagu untuk papa dan Jenggala

95 23 4
                                    

Acara rupanya di mulai jam empat sore. Danica melirik jam tangannya, menunjukkan waktu setengah empat. Tak apa, dia agak tenang karena Danica tampil setengah tujuh. Sekarang ia harus pulang, mama mungkin sedang menunggu di Kosan sendirian.

"Nanti jadi sama Chandra?" Tanya Danica pada Somi. Gadis itu tengah merapikan buku-buku untuk di masukkan ke dalam tas. "Harusnya jadi, tapi karena dia vokalis utama band kampus, jadi dia harus tampil.." Somi menghela nafasnya. Merasa kecewa dengan Chandra dan UKM laki-laki itu. "Gimana kalo lo nonton sama mama gue? Gue juga takut kalo dia dateng sendirian, itu juga kalo lo ngga sama temen lo yang lain sih." Mata Somi berbinar. "What?? Mau bangeettt aduh kangen sama mama lo nih. Apalagi masakannya." Danica memutar bola matanya dengan malas. "Jadi lo kangen masakannya apa mama gue? Modusnya..." Somi tertawa.

"Aduh, kosan gue sepi. Gue takut sendirian, boleh ke kosan lo nggak? Nanti sekalian berangkat bareng gimana?" Danica mengangguk setuju. "Gue ngambil motor dulu. Nanti kalo nggak ketemu di depan gerbang fakultas, berarti gue udah di kosan."

"Oke, gue mau ngambil baju buat nanti. See ya!"

"Yoi!" Danica melangkah menuju motor Scoopy nya di dekat pos satpam. Setelah motor menyala, gadis itu langsung kembali ke kosan. Sebenarnya kosan terletak tidak terlalu jauh dari kampusnya (itu yang Danica cari) tapi kalau jalan kaki juga lumayan sih, dan sebenarnya kalau jalan kaki lebih dekat lewat fakultas teknik.

-

"Gue panggung kiri. Jila sama Devan di street food aja."

"Gila lo. Mau motoin apaan di street food?" Devan berujar tak terima. "Nah, lagian aku mau ikut kak Gala. Gak mau sama mas Devan."

"Anjir milih lo? Awas lo suka sama dia. Sakit lo entar, Jil."

"Emang udah." Anak-anak dokumentasi langsung menoleh. Menatap Jila dengan pandangan bertanya-tanya. "A-apasih. Bercanda!"

Jenggala berdecak, menyikut Devan sedikit keras. "Gue sama Devan deh di kiri."

"Lah kok??" Kini Devan mulai mengerutkan keningnya. Jila ini, kalau dilihat-lihat memang bukan bercanda kalau suka dengan Jenggala. Sebagai mahasiswa psikologi, dia bisa tahu orang-orang yang berbohong atau memang jujur.

Walaupun ia lebih memilih untuk diam. Karena jujur ini bukan urusannya.

"Yaudah, Gal, Cuzz ke lokasi sebelum makin rame."

Langit sudah mulai gelap. Semburat oranye bercampur biru menjadi background untuk panggung megah ini. Beruntung tidak ada hujan.

"Lo nyadar nggak sih kalo Jila tuh nggak pernah bohong kalo ngomong?" Jenggala menghentikan acara memotret langit. Menatap Devan dengan aneh. "Maksud lo gimana?"

"Selama di UKM, dia paling deket kan sama lo. Nempel terus tiap ada praktek. Ya I think, dia suka sama lo. Dia anaknya blak-blakan banget, kan. Jadi kalo ngomong ya se frontal itu. Dia bahkan sering ngomong 'suka' sama lo, tapi karena awkward, dia malah ralat jawaban dia sama 'bercanda'. Padahal, dia nggak bohong. Dia beneran suka sama lo." Jenggala jadi merasa aneh sekarang. Perasaan juga nggak pernah baperin Jila? Ataupun melakukan hal-hal yang membuat Jila jadi salah tingkah. Ia memperlakukan Jila sama saja dengan memperlakukan teman-teman perempuannya yang lain.

"Jujur nih, Van, gue bahkan nggak pernah bikin dia baper. Ya gue ngerasa sih kalo di UKM dia paling deket sama gue. Tapi ya itu jelas cuma sekedar temen aja. Nggak lebih."

"Maybe, entu anak nggak pernah deket sama cowok. Jadi dia merasa baper pas deket sama lo." Jenggala bergidik ngeri. "Emang muka gue  buaya banget ya, Van? Perasaan yang suka mainin cewek tuh Jaka, deh."

"Tampang lo emang kayak cowok baik-baik. Tapi mulut lo bikin anak orang nggak bisa tidur." Jenggala reflek memegangi bibirnya sendiri. Perasaan mulutnya juga tidak pernah sampai membuat anak orang tidak bisa tidur (kecuali Danica, mungkin).

-

Seperti yang kita tahu. Guest star selalu tampil di akhir, setelah di buka oleh para dewan kampus, acara di lanjutkan dengan penampilan dari anak sastra, juga siapapun yang mau menyumbang suara mereka setelah menghubungi admin beberapa hari yang lalu.

Kini, waktunya Danica membanggakan mama.

Saat naik, gugupnya semakin bertambah, lautan manusia yang ia yakini banyak dari fakultas lain dan orang luar. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya.

Danica menghembuskan nafasnya, mulai tersenyum untuk menyapa, mengabaikan gugup yang menguasai dirinya.

"Lagu ini... Aku khususkan untuk papa yang udah pergi jaaaauh di atas sana, untuk mama yang lagi nonton di tengah sama Somi, hehe. Dan untuk seseorang yang aku tinggalkan tiga tahun belakangan ini, yang aku nggak tahu keberadaannya dimana, gimana kabarnya... Atau bahkan gimana dia sekarang."

Petikan gitar di pangkuannya mulai terdengar.

"Calling you late at night
Talking 'bout nothin'
But we're always laughing
These dumb conversations
They raise my affections
Those were the good times
And I miss the old times,"

"Have I told you lately?
That I miss you badly?
Sometimes I wish
That I could still call you mine
Still call you mine
Now all I've got is
The stain on my blue jeans
The only way I could
Remember that you were once mine,"

Mata Danica menelisik sekitar. Sudah lama ia menemukan mama dan Somi yang berada di barisan depan. Tapi tepat di agak sampai kiri panggung ia menemukan seseorang itu... seseorang yang ia cari.

Rasa sesal menyelimuti Jenggala yang berdiri di tempatnya, menatap manik gelap yang lama tak ia temui

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rasa sesal menyelimuti Jenggala yang berdiri di tempatnya, menatap manik gelap yang lama tak ia temui.

Si pemilik netra itu juga menatapnya. Keduanya eye contact dalam sesaat. Yang di panggung mulai gugup, keadaan kian riuh karena lagu yang Danica bawakan menuju high note dan reff.

Dia Danica.

Benar Danica.

Keberadaan Jenggala juga memecah fokusnya. Laki-laki yang ia cari, laki-laki yang ia tinggalkan kini menatapnya dengan pandangan tak di artikan. Membiarkan kamera yang di genggamannya terabaikan karena Jenggala masih menatapnya.

"Sometimes I wish,
That I could still call you mine
Still call you mine,
Now all I've got is
The stain on my blue jeans
The only way I could
Remember that you were once mine."

Lagu telah usai. Danica membuka matanya dan tersenyum. Perjuangannya mencari gadis di atas panggung itu juga selesai.

Jenggala merasakan, tetes air mata mulai jatuh. Baru kali ini, baru kali ini ia menangis setelah sekian lama.

Untuk dia, Danica.

Untuk dia, Danica

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lupa update..(づ。◕‿‿◕。)づ

Promise the StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang