Bab 1. Dosa Yang Tersembunyi

10 4 2
                                    

Jawa Timur, Tahun 2022.

Waktu berlalu begitu cepat, tempat yang dahulunya penuh dengan kesyirikan kini sedikit demi sedikit mengalami perubahan. Bahkan desa itu akhirnya memiliki banyak pemuda-pemuda yang memiliki tingkat intelektual yang bagus dan juga berpendidikan tinggi.

Banyak di antara anak-anak di desa itu yang merantau mencari ilmu di kota-kota besar. Dan ketika pulang, membawa kemajuan bagi masyarakatnya. Bukan hanya dalam segi ilmu dunia, melainkan terlebih pada ilmu agama.

Dan satu tahun terakhir ini, sebuah komunitas penghafal quran hadir di kota yang ada di dekat desa tersebut. Beberapa kalangan masyarakat tertarik untuk mempelajari cara membaca dan juga menghafalkan al-quran. Terlebih, enam wanita pendiri komunitas tersebut memiliki skill dan kemampuan yang lumayan mumpuni dalam bidang tersebut.

"Jadi bagaimana akhawat. Apakah kegiatan daurah menghafalnya jadi dilaksanakan selama sepuluh hari?" tanya Diyanah, gadis cantik berkulit sawo matang dan berpipi tembem itu pada ke lima temannya dalam sebuah musyawarah sore usai shalat ashar.

"Insyaa Allah. Ini adalah daurah perdana kita setelah satu tahun meluncurnya komunitas ini. Jadi usahakan semaksimal mungkin untuk perfect," timpal gadis berkulit putih, berhidung mancung dan biasa disapa dengan nama Izah.

Ke-lima temannya mengangguk paham. Mereka begitu antusias untuk membuka kegiatan daurah ini menjelang bulan ramadhan yang satu bulan lagi akan datang.

"Apa ada yang memiliki ide untuk tema daurah kali ini?" Diyanah menatap teman-temannya satu persatu dan jawaban mereka sama.

"Untuk urusan tema, serahkan saja pada Lubna, dia paling jago membuat judul-judul yang menawan."

Gadis hitam manis berhidung mancung ke dalam dan memiliki tompel di samping matanya itu tersenyum malu-malu. Lalu seperti biasa, ia akan mengelak pujian tersebut dengan berkata. "Ah, kalian bisa saja. Padahal kalian lebih baik dariku." Sementara hatinya dipenuhi dengan bunga-bunga dan telinganya memerah karena pujian.

Namun siapa yang bisa membaca isi hati dan pikiran manusia selain Allah ta'alla. Seseorang yang dikira paling zuhud dan rendah hati, bisa jadi memiliki suara hati yang berbeda dengan apa yang diutarakannya.

"Tidak, Ukhti Lubna. Kamu memang paling pandai membuat judul dan tema-tema yang bagus." Adalah gadis bernama Haura yang suara mengajinya bagaikan sebuah editan saking indahnya itu kembali memuji. Tanpa sadar, membuat hati saudarinya semakin dipenuhi oleh kuncup bunga yang bermekaran.

"Kalau kami juga lebih setuju jika ukhti Lubna yang membuat judul." Kedua teman lainnya yang bernama Jihan dan Athirah itu menimpali.

"Alhamdulillah, karena semua setuju, maka pembahasan judul telah selesai ya. Kita tinggal menunggu judul untuk tema dari ukhti Lubna. Sekarang kita bahas masalah jumlah peserta, pembagian jobdesk dan lain-lain."

Semuanya mengangguk setuju. Pembahasan pun mulai masuk pada hal lain. Dan tidak lama setelahnya, kegiatan musyawarah pun berakhir.

Athirah dan Izah pamit pulang ke rumah kontrakan mereka masing-masing karena kedua wanita itu telah menikah. Sementara empat orang yang masih setia menjomblo itu tinggal di rumah tahfidz.

**

Lubna duduk merenung di balkon lantai empat. Pandangannya lurus menatap jalanan yang ramai pejalan kaki dan beberapa orang yang beraktivitas di sore hari menjelang maghrib seperti ini.

Gadis hitam manis itu menghela napas panjang. Ia menunduk, lalu mendongak lagi. Pikirannya saat ini dipenuhi dengan berbagai macam judul yang akan ia pilih. Sementara di lantai satu, ketiga temannya sedang sibuk membantu tante Nur (juru masak) di tempat itu, memasak untuk makan malam mereka.

Bukan hanya merenung tidak jelas, sesekali Lubna membuka alquran dan buku-buku sebagai referensi ia dalam membuat judul kegiatan tahfidz weekend (menghafal pekanan) seperti biasa.

Dan setelah bersemedi cukup lama, akhirnya ia menemukan judul yang tepat menurutnya dan semoga dapat diterima oleh teman-temannya.

Ia tersenyum senang dan mengucap syukur, lalu turun untuk menemui ke-tiga temannya di bawah sana.

Tanpa sadar jika seorang pria berkulit hitam dan bermata tajam serta berkaki sembilan berdiri tanpa senyuman, memperhatikannya sejak tadi.

**

"Gimana, Ukh? Apakah judulnya sudah ada?" tanya Diyanah sesudah mereka melaksanakan shalat maghrib secara berjamaah di lantai dua yang memiliki ruangan yang cukup luas itu.

Lubna yang sedang berbaring di tengah-tengah temannya menggunakan alas sajadah itu menjawab berupa dengungan. Detik berikutnya, ia berkata, "Rahasia. Nanti in syaa Allah akan aku sampaikan saat musyawarah selanjutnya."

"Haih. Ukhti Lubna selalu saja suka bikin kejutan," komentar Haura dengan suara lembutnya.

"Ya gitulah. Bukan Lubna namanya jika tanpa rahasia yang tersembunyi," timpal Jihan dengan gayanya yang santai.

Sementara Lubna hanya tersenyum tipis. Ia memang memiliki banyak rahasia yang tidak semua teman-temannya ketahui. Kecuali hanya dirinya, malaikat pencatat amal, dan tentu saja Allah yang maha mengetahui segalanya.

"Anak-anakku. Ayo turun makan!" panggil Tante Nur yang lebih dulu turun dan menyiapkan makanan untuk para wanita penghafal quran itu.

"Oke, Tante sayang."

Kegiatan makan malam berakhir dengan damai. Rasa kenyang menyelimuti perut yang tadinya sempat kosong dan keroncongan. Ke-empat wanita itu masuk ke dalam kamar yang ruangannya sangat besar tersebut secara bersamaan. Kamar yang jaraknya cukup dekat dengan wilayah dapur.

Di dalam sana, mereka saling menyetorkan hafalan sembari menunggu shalat selanjutnya. Kecuali Lubna tentu saja. Ia paling tidak suka menunjukkan hafalannya di depan teman-temannya. Baginya, hafalan adalah salah satu rahasianya sendiri. Pemikiran wanita itu, memang sedikit menyimpang dari teman-temannya yang lain.

Suara adzan isya terdengar, segera menghentikkan ativitas menghafal mereka. Shalat kali ini di imami oleh Haura yang bersuara merdu. Dengan tenang dan tanpa gangguan, mereka menikmati ibadah tersebut.

Beberapa saat kemudian, isya pun akhirnya ikut berlalu. Keempat wanita muslimah itu kembali ke kamar dan sibuk melakukan banyak hal sembari mengobrol panjang. Haura dan Lubna sibuk berhadapan dengan laptop untuk membuat skripsi. Diyanah mengurus bisnisnya, sementara Jihan membaca buku.

"Hahaha. Iya itu maksudku," timpal Jihan atas ucapan Diyanah soal jodoh sekufu yang sempat datang ta'aruf padanya beberapa waktu yang lalu. "Bukankah ikhwan itu setidaknya lumayan untuk dijadikan suami?"

"Tapi masalahnya, saya enggak terlalu srek padanya. Emang harus nerima ya meski hati ragu?"

"Ya, jangan ukh," sela Lubna seraya sibuk mengetik tanpa mengalihkan tatapannya pada laptop dan jurnal yang telah ia print. "Kalau satu hal saja yang membuat kamu enggak cocok sama dia, maka jangan dilanjutkan. Seperti yang dikatakan Ustadz Mukmin dalam ceramahnya, ada dua hal yang perlu wanita perhatikan saat memilih suami, pertama agama dan akhlaknya. Kedua, kepribadian dan tampangnya. Nah, jika salah satu dari itu tidak sesuai dengan keinginan kita, maka jangan dilanjut. Karena nanti setelah nikah, bisa jadi kamu malah akan kufur nikmat pada suamimu."

"Ekhem! Ekhem! Ustadz Mukmin selalu ada di setiap ucapan Lubna ya," komentar Jihan seraya tertawa ringan dan ditanggapi tawa pula oleh yang lain.

"Tapi benar juga sih apa yang ukhti Lubna katakan. Sebaiknya dua hal itu perlu diperhatikan jika ingin memilih calon suami," timpal Haura yang selalu setuju dengan apapun yang Lubna katakan. "Jadi ukhti Diyanah, apakah kamu akan menerima atau menolaknya?"

"Entahlah, ukh. Nanti insyaa Allah saya mau istikharah lagi. Sekarang saya mau fokus dulu untuk daurah kali ini. Karena bisa jadi, ini daurah terakhir sebelum ada yang berpisah lagi di antara kita."

"Jadi sedih juga kalau omongin soal itu. Sebaiknya memang fokus dulu dengan daurah deh," tambah Jihan yang nyatanya akan segera kembali ke kampung halamannya.

Pembicaraan dan aktivitas mereka berakhir dalam beberapa saat. Para wanita muslimah itu bergerak untuk tidur.

Jihan, Diyanah dan Haura tidur menggunakan kasur kecil yang telah dialasi tikar di lantai karena ruangan yang terasa pengap dan lumayan panas. Sementara Lubna sendiri berbaring di atas ranjang yang empuk ditambah selimut yang tebal sebab merasa kedinginan.

Dan tatkala teman-temannya sedang terlelap ke alam mimpi. Lubna tetap terjaga dan sibuk menikmati pemandangan aneh yang ada di ponselnya. Dimana kartun wanita dan pria tengah berciuman panas.



NIFAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang