Prolog

220 21 56
                                    

Tidak ada yang lebih membahagiakan daripada menggapai cita dan hidup dalam mimpi. Angin hari ini mungkin akan berhembus menuju barat, tetapi ke mana kaki melangkah adalah dirimu yang menentukan. Jika barat bukanlah tujuanmu lalu mengapa kau biarkan angin membawamu ke sana? Adakah mimpimu di sana? Tidak ada? Maka berhentilah mengikuti angin.

Tapi bagaimana jika angin adalah sebenar-benarnya penunjuk arah? Albatros terbang mengikuti angin dan selalu mencapai tujuan. Bagaimana jika dirimu sendiri yang membiarkanmu tersesat? Apa yang membuatmu begitu yakin untuk melawan angin? Mimpi? Harapan? Atau... nafsu?

Empat orang dewasa dalam cerita ini: Ruhani, Mahika, Samar, dan Darshan; bergerak melawan angin untuk mengikuti nafsu mereka. Mereka sama-sama tidak lagi mempercayai angin yang telah membawa mereka ke bibir jurang menuju kehancuran. Mereka percaya pada hukum alam. Semua berjuang untuk tetap hidup. Tidak ada yang lebih penting dari hidup dan nyawa diri sendiri. Persetan dengan yang lain. Entah bagaimana caranya, mereka harus menjadi bagian dari yang menang.

Siapkan berondong jagungmu. Pertarungan mereka melawan angin baru saja akan dimulai.

**

"Halo, sayang. Sudah siap untuk berangkat?" Sapa Ruhani sambil menempelkan ponselnya ke telinga. Pelayan rumahnya tampak sedang membersihkan kuku-kuku jari tangannya yang tampak mengkilap dengan cat berwarna merah persik.

"Aku sedang sarapan. Lima menit lagi aku berangkat. Bagaimana denganmu?"

"Sebentar lagi aku berangkat. Hanya perlu mengemas beberapa barang kecil." Ruhani menggigit bibir bawahnya sambil tersenyum. Bahkan hanya dengan mendengar suara pria itu berhasil membuat jantungnya berdegup cepat. Matanya menatap air kolam yang memantulkan cahaya matahari pagi.

"Aku sangat merindukanmu. Cepatlah temui aku." Lanjutnya. Ia mendengar suara kekehan dari seberang telepon.

"Pasti, sayang. Pasti. Sampai bertemu di sana, ya? Aku mencintaimu."

Dengan kalimat itu, sambungan telepon pun terputus. Ruhani menggenggam ponselnya dengan hati berbinar. Ia menyuruh pelayannya untuk berhenti kemudian bangkit dari kursi santainya. Ia berniat untuk segera merapikan barang-barangnya dan pergi menuju pelabuhan, tempat di mana ia akan bertemu pria itu setelah sekian lama. Pria yang telah dicintainya selama lebih dari enam tahun.

Ia terlalu larut dalam dunianya sehingga ia tidak memperhatikan langkahnya. Baru saja ia terbang ke langit ketujuh namun realita membawanya kembali ke dunia nyata dalam sekejap. Ia menabrak tubuh seseorang. Kepalanya membentur dada bidang seorang lelaki yang tengah menatapnya dengan serius. Ia tidak perlu mendongak untuk melihat siapa itu. Ia sudah tahu jawabannya.

"Tetap mau pergi?" Tanya pria itu. Ruhani hanya mendengus lalu hendak melengos pergi. Namun, tangan pria itu berhasil mencengkeramnya lebih dulu.

"Jawab." Pria itu mendesaknya lagi. Ruhani meringis karena pergelangan tangannya mulai terasa nyeri.

"Apa kau sudah gila? Aku sudah memintamu untuk tetap tinggal karena Vihaan. Dia masih sangat kecil, Ruhi. Dia masih membutuhkanmu."

"Lepaskan aku!" Ruhani menghentak tangannya hingga cengkeraman itu terlepas. Ia menatap pria berkulit coklat di hadapannya dengan angkuh.

"Aku sudah meminta ibumu untuk menjaga Vihaan selama aku pergi. Berhenti mengurusi segala urusanku." Ucapnya sambil berlalu. Namun, belum beberapa langkah ia pergi, pria itu menghentikannya lagi.

"Kau adalah wanita bersuami, Ruhani Chopra. Kau milikku. Ingat itu."

Ruhani tergelak mendengarnya. Ia berbalik hanya untuk menatap suaminya dengan tatapan mengejek. "Menjadikanku milikmu bukan hanya dengan cara menaruh sindoor di belahan rambutku dan tidur denganku, Tuan Chopra. Ada kepuasan yang perlu dipenuhi di dalam hati dan kau gagal melakukannya."

Judaiyaan [SLOW UPDATE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang