23. Perubahan

889 58 2
                                    

Visiting Hours - Ed Sheeran

I wish that heaven had visiting hours

♪ ♪ ♪ ♪ ♪

Andai saja surga punya jam kunjungan, seperti yang ditulis Ed Sheeran dalam lagu yang ia buat karena kepergian seorang temannya. Entah mengapa, aku justru lebih membutuhkan keberadaannya ketika ia tidak ada. Aku tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hidup seperti biasanya. Kalau saja aku bisa berkunjung sebentar ke tempat Luna berada, mungkin gadis itu bisa memberi nasihat agar aku tetap bertahan menghadapi dunia yang kejam. Namun, saat ini surga belum menyediakan fasilitas itu. Jadi, aku harus berusaha bangkit seorang diri.

Tujuh tahun berlalu sejak kepergian gadis itu. Aku terpekur memandangi selembar foto yang sudah menguning, tetapi menyimpan kenangan berarti untuk Luna, meskipun pada akhirnya hal yang manis itu berubah menjadi sesuatu yang mengerikan. Foto yang terselip di antara lembaran buku harian milik Luna. Melihat dari penampakannya, benda itu sudah diremas sebelum diletakkan di sana, menandakan betapa kecewanya ia atas sebuah harapan yang telah pupus. Sebuah gambar lampion yang berbondong-bondong menuju langit. Terdapat beberapa kalimat yang ditulis rapi, lalu ditimpa coretan acak di seluruh bagian belakang foto. Untungnya, tulisan Luna masih terbaca.

Doa yang kukirimkan pada Tuhan:

Terima kasih, Tuhan, telah mengirim seorang Ale. Terima kasih karena Engkau percayakan ia untuk membawa secercah keceriaan dari surga kepadaku, sehingga aku tak terlalu membenci dunia.

Belakangan ini, aku selalu merasa bersalah menyimpan rasa padanya karena masa laluku yang tidak baik. Apalagi, ia juga punya trauma sendiri tentang cinta. Dengan keadaan yang seperti ini, rasanya mustahil kalau kami bisa saling mencintai dengan benar. Namun, kalau memang Kau takdirkan kami untuk bisa hidup bersama, bahagia selamanya, aku akan membuat janji.

Aku berjanji tidak akan meninggalkannya, sehingga ia percaya kalau cinta sejati tidak hanya ada di dongeng saja. Amin.

Dieng, 1 Agustus 2015

Ah, lagi-lagi aku mendesah. Tubuhku selalu bereaksi seperti itu setiap kali aku mengingat sesuatu tentang Luna. Penyesalan itu masih suka mengintip di balik pintu hatiku, walaupun sekarang semuanya jauh lebih baik.

Kondisi keluarga kami perlahan membaik selama tujuh tahun belakangan ini. Kepergian Luna sungguh menjadi tamparan hebat untuk kami bertiga dapat belajar sesuatu. Papa, Mama, dan aku berusaha menyusun kembali kepingan reruntuhan untuk membangun keluarga kami dari awal. Sebisa mungkin, kulawan ego agar bisa berbesar hati memaafkan orangtuaku sendiri, terutama Mama. Aku berusaha menyayanginya seperti Luna yang begitu sayang pada beliau.

Bersamaan dengan berdamai pada keadaan, kami juga fokus untuk mendapatkan keadilan untuk Luna. Laki-laki bernama Jonathan itu akhirnya dihukum atas perbuatan kejinya. Apakah aku puas? Tidak, karena dengan mendekamnya ia di dalam jeruji besi dan kehilangan masa depannya, tidak bisa mengembalikan Luna. Namun, kuharap ia bisa merenungi kesalahannya dan berubah menjadi pribadi yang lebih baik, sehingga tidak ada lagi korban berikutnya.

Sekarang, aku juga sudah tinggal seatap bersama Papa dan Mama, serta menjalani keseharian layaknya keluarga harmonis pada umumnya. Mama selalu menyiapkan sarapan untuk kami sebelum ia dan aku berangkat ke kantor. Kurang lebih, menu makanannya sama seperti yang sering Luna buatkan setelah kami berolahraga di Minggu pagi. Papa juga terlihat lebih bahagia karena didampingi seorang wanita sebaya dengannya, yang siap mendengar candaan recehnya setiap hari, juga hal-hal luar biasa yang terjadi di showroom. Sementara aku... aku tidak bisa menilai apa yang berubah pada diriku. Rasanya masih sama. Kadang-kadang, masih dingin dan jutek juga, seperti kata Luna.

Entah mengapa, ada yang tertahan kalau aku sedang merasa bahagia dan ingin tertawa lepas. Tidak sering memang, hanya sesekali. Aku masih merasa bersalah karena bersenang-senang, sementara nyatanya ada seorang gadis yang merasa sengsara, bahkan di akhir hidupnya. Terlebih, gadis itu orang yang kucintai. Terlebih, gadis itu adalah adik kandungku sendiri. Kadang, aku berandai jika ia ada di sini dan ikut tertawa ketika aku, Papa, dan Mama sedang asyik menceritakan kejadian lucu di tempat kerja kami. Atau, ketika aku pulang kerja dengan wajah yang ditekuk seribu karena dimarahi oleh bos, bisa jadi ia adalah orang yang tertawa paling kencang atas kesialanku, lalu kami akan menghabiskan sepanjang malam dengan bercekcok ria. Bisa jadi juga, gadis itu akan memasang telinga, siap menjadi pendengar yang baik atas keluh kesahku. Terserah yang mana responnya, yang penting ia ada, itu sudah lebih dari cukup.

Ternyata, bukan hanya aku yang merasa begitu. Tadi, Mama mengusulkan sebuah restoran Jepang saat kami sedang memilih tempat untuk makan malam. Beliau bilang, itu restoran favoritnya. Aneh. Selama tujuh tahun bersama, setahuku ia tidak pernah makan di sana. Bagaimana mungkin restoran itu adalah tempat favoritnya? Pertanyaan itu kusimpan sendiri, sampai ketika selesai makan, Mama berkata dengan senyum masam, "Dulu, ini jadi tempat favorit Mama sama Luna." Kata-katanya ditujukan padaku, tetapi matanya tidak melihatku sama sekali. Pandangannya jatuh pada meja makan dan tampak melamun. Papa mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Mama. "Setiap kali bingung mau makan apa, kita selalu ke sini, pesan menu sebanyak-banyaknya sampai kadang rasanya begah. Tapi, kata Luna, kalo perut penuh, bahagianya juga penuh."

Aku menanggapi dengan tawa kecil, membayangkan gadis itu berkata demikian.

"Sejak Luna nggak ada, Mama jadi nggak pengen lagi makan di sini karena takut sedih karena ingat dia. Tapi, kita nggak bisa sedih terus 'kan? Makanya, Mama ajak kalian ke sini. Meskipun nggak bisa lupain Luna, setidaknya ini jadi pembuktian kalo Mama udah mengikhlaskan kepergian dia."

Benar yang dikatakan Mama. Aku yakin, gadis itu juga tidak suka jika kami berlarut-larut dalam kesedihan karena kepergiannya. Hmmm... aku jadi merindukannya. Biasanya, kalau sedang rindu seperti ini, aku akan memandangi foto kami sehabis pentas drama musikal waktu itu. Senyum Luna sangat lebar di sana, meski matanya merah sehabis menangis saking bahagianya. Fotonya yang paling cantik, menurutku. Lalu, aku bercerita tentang hal-hal seru seputar kehidupan keluarga kami, juga teman-teman Lumière, kepada gambar yang tak bergerak itu, seolah bicara pada Luna. Hal itu lumayan mengobati kerinduanku. Kira-kira sedang apa ya Luna di sana? Aku yakin gadis baik itu pasti berada di tempat yang jauh lebih indah daripada dunia ini. Mungkin, saat ini ia juga sibuk. Dengan bakatnya, kurasa ia mampu memimpin paduan suara para malaikat surga, menyanyikan lagu-lagu syahdu dengan khidmat pada Sang Pencipta.

Apapun yang dikerjakannya sekarang, aku hanya berharap satu hal. Aku harap Luna merasakan kebahagiaan yang tak sempat dimilikinya selama hidup di dunia.

♪ ♪ ♪ ♪ ♪

Author's Note:
Khusus hari ini, aku update sampai bab Epilog juga yaa ^^

Romantic Interlude [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang