"Tidurlah, Nak, dalam buaian ... permata hatiku, buah hati tercinta. Sudah lelah engkau menjalani harimu, aku di sini akan selalu memanjakanmu. Walaupun kadang dunia sering mengalihkan perhatianmu, tapi aku tidak pernah lelah menunggumu pulang."
Sayup-sayup kudengar ibu bernyanyi. Aku bangun lalu melihat ke arah jam dinding, sudah pukul sepuluh malam. Aku lalu keluar mendatangi ibu.
"Buk, sudah malam, Buk! Jangan bernyanyi." Aku mendengus.
Sudah setahun semenjak ibuku menderita Alzheimer. Selama itu juga beliau sering terbangun di malam hari lalu menyanyikan sebuah kidung. Aku mengantarkan ibu ke kamarnya lalu mengambilkan sebuah tasbih, dengan berzikir biasanya beliau akan tertidur kembali.
Setelah menutup kamar ibu aku kembali menengok jam dinding.
"Anak itu belum pulang juga," gumamku.
Tak berapa lama terdengar bunyi ketukan dari arah pintu. Aku melangkah menuju depan sambil merungut kesal.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Putri, kenapa malam sekali baru pulang?" brondongku saat membukakan pintu.
"Putri kerja kelompok, Ma! Tugas dari sekolah!" seru Putri, ia bahkan tidak menoleh ke arahku.
Aku jadi sangat kesal dengan sikapnya.
"Menurut siapa, sih, anak itu," kataku dongkol.
Belum habis rasanya aku menggerutu, tiba-tiba saja terdengar bunyi nyaring dari arah belakang.
Kerontang!
Terdengar suara tutup panci yang dihempas ke lantai. Aku bergegas ke dapur.
"Buk! Ngapain lagi? Kan, tadi sudah makan," seloroh aku. Entah kenapa semua orang seperti ingin menguji kesabaran.
"Ibu sudah makan, tapi anak ibu belum," ucapnya. Ibu lalu menyendok nasi dan segera menyuapiku.
"Buk, saya sudah dewasa tidak perlu disuapi lagi," kataku lirih. Maaf ibu aku sering melawanmu, mungkin itu sebabnya Putri juga mengacuhkanku.
Aku lalu kembali teringat ketika aku masih remaja dan sosok ibuku yang masih muda kala itu.
"Risa, mau ke mana malam-malam begini?"
Ampun, deh, ibuku mulai banyak tanya lagi, padahal aku hanya ingin keluar sebentar.
Aku merengut lalu menjawab, "Ada kerja kelompok di rumah temen, Buk. Saya tidak akan lama."
Aku lalu meraih kunci motor yang tergeletak di atas meja ruang tamu, dari sudut mata bisa kulihat Ibu memasang wajah khawatir seperti biasa. Padahal aku sudah besar, tapi Ibu selalu memperlakukanku seperti anak kecil yang akan mendapat masalah bila jauh darinya.
Saat menuju pintu Ibu terus mengikuti, aku kemudian berbalik untuk mencium punggung tangan Ibu kemudian segera pergi sebelum ditanya lagi.
***
Aku mengendarai motorku dengan kecepatan sedang, sambil menikmati indahnya kerlap lampu jalan yang berjejer rapi. Tidak ada rasa bersalah karena sudah membohongi ibuku sendiri. Aku tidak benar-benar keluar rumah karena kerja kelompok, tapi untuk bertemu dengan seseorang.
Aku menepikan kendaraan di pinggir jalan tempat biasa aku nongkrong bersama teman-teman. Jalur ini memang bukanlah jalan utama, hanya jalan alternatif yang cukup jarang dilewati kendaraan. Makanya jalan satu arah ini kerap kali digunakan untuk ajang balap liar para anak remaja. Hari ini aku janjian dengan Bambang, cowok ganteng yang baru kukenal beberapa bulan ini. Bambang sangat keren saat melaju di aspal jalan. Para gadis puber akan menjerit bila melihatnya membuka helm lalu menyugar rambutnya dengan gaya. Aku beruntung pemuda tampan itu adalah pacarku.
Mataku langsung menangkap sosoknya yang sedang estafet sebatang rokok bersama teman-teman yang lain, aku segera menyapa, "Coba tebak, ini siapa?"
Aku menutup kedua matanya dengan jemari tangan dari belakang.
"Pasti si cantik Risa!" serunya. Aku menurunkan tanganku ke pundaknya dan tertawa renyah.
Bambang menoleh sekilas lalu berkata, "Cantik banget, sih, malam ini."
"Huh, Gombal!" sahutku dengan ujung telinga yang sudah naik sepuluh senti.
Aku mengambil posisi duduk di sebelah Bambang, lalu mengikat tanganku ke lengannya.
"Aku mau balapan, nih, mau ikut, gak?" tanya Bambang tiba-tiba.
"Balapan? Aku boleh ikut?"
"Boleh, dong. Kenapa nggak? Kamu takut?" Bambang terkesan meremehkanku, siapa bilang aku takut?
"Ayo, siapa takut!" seruku.
Sesaat kemudian aku sudah dibonceng Bambang dengan motor ninjanya. Bunyi knalpot racing menggelora memecah sunyi, asapnya mulai mengepul di udara tipis malam itu. Salah satu kawan kami akan menghitung mundur, "Tiga! Dua! Satu!!"
Dalam hitungan detik motor sudah melaju kencang memanaskan aspal jalan, jantungku berdegup tak karuan turut terpacu merasakan getaran disertai suara bising yang memekak telinga. Dengan kecepatan seperti ini pandanganku menjadi semakin buram, pohon-pohon seperti ikut bergerak dan berlari. Di tengah keseruan itu, entah kenapa aku jadi teringat ibu yang menunggu di rumah.
Ciiit!!! Brak!!!
Kejadian belasan tahun silam masih terngiang dalam ingatan, karena kebodohanku sendiri aku mengalami kecelakaan itu. Kini setelah aku lebih dewasa aku baru menyadari kesalahanku.
"Buk, tidur, yuk? Sudah malam." Aku kembali mengajak ibu ke kamarnya. Aku menuntun ibu sambil menyeret kaki kanan.
"Anak ibu kenapa? Kakinya sakit?" tanya ibu. Aku menggeleng pelan.
Kecelakaan itu memang membuatku tidak bisa lagi berjalan normal. Kendati demikian aku masih bersyukur bisa beraktifitas walaupun pincang. Dulu kupikir hanya akan menggunakan kursi roda seumur hidup, tapi ibu tidak henti-hentinya menyemangati, memberi harapan baru untukku. Aku bisa berjalan lagi setelah bolak-balik rumah sakit dan juga usaha keras ibu yang tidak pernah bosan mengantarku ke tempat therapy. Karena penyakitnya ibu melupakan itu semua.
Setelah mengantar ibu dan memastikannya sudah tertidur pulas, aku kembali menyeret kaki ini ke kamar Putri.
Aku membuka pintu kamarnya yang tidak dikunci, lampu sudah dipadamkan dan ada siluet tubuh Putri di balik selimutnya. Aku menyalakan kembali lampu duduk di atas meja nakas. "Put, mama tau kamu belum tidur."
Setelah mendengar perkataanku, Putri menyibak selimut yang menutupi wajahnya. "Putri ga boleh bohong sama mama, Putri tau kenapa mama begini? karena dulu berbohong sama nenekmu, sudah sering mama ceritakan, kan?" tanyaku. Mendengarnya Putri mengangguk.
"Maaf, Ma. Putri tidak akan pulang terlalu malam lagi," ucapnya tulus.
Aku tersenyum mendengarnya, seperti ibuku dulu, aku tidak akan lelah menasehati Putri. Kuharap dia tidak mengulangi kesalahan yang sama sepertiku dulu.
Aku akan terus menaruh harapan padanya, sebab kasih ibu itu sepanjang masa. Seburuk apapun tingkah anak orang tua akan selalu mencintai kita.