8. We R Fam, Rite?

113 17 4
                                    

"Jika aku, Bunda, dan Ayah adalah keluarga. Lalu apa definisi aku jika tanpa Bunda dan Ayah?"

--Air Telaga--

"Lho! Mas siapa? Kok keluar dari ruangan Pak Salim?"

Rampung mandi dan berganti baju aku bergegas keluar dari ruangan Om Salim. Begitu aku membuka pintu sudah ada seorang perempuan berhijab hitam melihatku penuh curiga. Aku baru pertama kali melihatnya di sini. Matanya bulat jernih, hidungnya kecil, bibir warna nude-nya tipis. Pasti cerewet, jadi aku urungkan niat untuk menjawab pertanyaannya dan memilih untuk berlalu begitu saja.

"Eh Mas, Mas siapa? Kok sembarangan masuk ruangan bos saya? Mas!"

Kan benar! Cerewetnya luar biasa. Dia mengikutiku sampai di depan kasir, ada Om Salim di balik mesin kasir. Menatapku penuh selidik lalu segera beralih ke perempuan sebelumnya, sepertinya berniat untuk meluruskan kecurigaan perempuan itu.

"Aisy, dia keponakan saya."

"Owh maaf, Pak, saya enggak tahu. 

Om Salim mengangguk sambil tersenyum simpul.

"Pegawai baru," tutur Om Salim cuek padaku. Tangannya masih sibuk menghitung lembaran rupiah dari mesin kasirnya. "Baru mulai kemarin," lanjutnya.

Aku tidak begitu peduli, pegawai Om Salim memang hanya tiga sampai empat orang. Hampir semua masih mahasiswa, bekerja hanya untuk mencari tambahan modal untuk nge-print tugas. Jadi tidak heran kalau sering ada pegawai yang keluar, lalu muncul pegawai baru sebagai penggantinya di PlayThrough.

Hanya Kak Hendra yang selama ini dipertahankan Om Salim. Alasan Om Salim sederhana, karena tidak ada yang bisa masak nasi goreng enak sekaligus  menjadi partner bermain board game yang seru selain Kak Hendra.

Ingat nasi goreng, aku jadi lapar.

"Om, nasi goreng dong."

"Gue juga mau, Bro!"

Aku dan Hasbi kompak.

"Nggak ada! Makan di rumah, udah jam tujuh. Om enggak mau ya besok Mbak Sarah ke sini trus berubah jadi Mama Dedeh. Tausiyah panjang lebar gara-gara kamu makan sembarang di sini!"

Emang dasar Om Salim pelit. Pantas masih jomlo!

"Yaudah, jajan nasgor pinggir jalan aja yuk, Bi!"

"Bakso aja sih, Air. Trus pake ekstra micin."

"Wuahhh, tumben Lo cerdas!"

"Jangan macem-macem, Air. Langsung pulang!"

Aku masih bisa mendengar ancaman Om Salim. Sekali bilang tidak, maka tidak. Hampir mustahil untuk menggoyahkan pendirian Om Salim. Apalagi jika melibatkan kesehatanku dan Bunda.

Dengan berat hati akhirnya aku dan Hasbi meninggalkan PlayThrough. Menembus kelamnya Jakarta, yang malam itu dingin luar biasa. Hujan benar-benar merajai sore tadi. Sisa tenang dan aromanya masih berkuasa, bahkan setelah malam datang.

Aku bahagia.

Rinduku pada Ibu, mulai tawar.

~~Freesia~~

Kemarin ada yang mengingatkanku akan Bunda. Katanya, Bunda berharga, hingga haram hukumnya bagiku hanya untuk merindu Ibu. Tidak pantas untukku kembali bersua dengan Ibu.

Bunda berharga, dia satu-satunya, aku bersyukur Bunda membawaku pulang malam itu. Sangat, sangat bersyukur. Sampai rasanya perut dan dadaku sesak, penuh rasa terima kasih yang tidak kunjung ada habisnya. Rasanya sesak, dijejali rasa sungkan yang sulit terurai bahkan setelah banyak tahun berlalu.

FreesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang