1. Happines not found

4 0 0
                                    

Happy Reading!
________

Rumah adalah kenyamanan, kehangatan, dan kebahagiaan. Bangunan semegah dan semewah apapun tidak bisa disebut 'rumah'
jika hati merasa tidak nyaman. Apalagi bangunan yang tidak layak huni.

Jika dijelaskan secara rinci tidak akan pernah selesai, karena semua akan terus mengalir layaknya air mengalir.
Berhenti pun akan terus diterjang ombak seperti yang Amia rasakan. Tangan yang kini merangkul bahunya adalah ombak dalam hidupnya.

Erlan menghampiri Amia yang duduk di bangku kelasnya dan membawanya ke luar kelas. "Lo kenapa selalu nggak nurut? Jangan seenaknya jadi orang," ucap Erlan penuh penekanan.

"Kamu yang seenaknya jadi orang, apa yang bikin kamu terus-terusan usik aku?" dengan susah payah Amia mengatakan yang selama ini dirinya pendam.

Selalu dan mungkin akan seperti ini. Terikat dengan seseorang yang sialnya susah untuk dilepaskan.

"Nggak ada yang usik, lo yang nggak bisa lepas."

"Lo nggak bisa gua lepas," batin Erlan.

"Kenapa nggak bisa?" tanya Amia.

Erlan berdecak. "Karena lo akan selalu bergantung ke gua. Paham?"

Netra itu selalu menatap tajam kearahnya, dingin dan sepi. Mau bagaimanapun kerasnya Erlan, Amia seperti diikat sehelai benang agar tetap bersama.

"Nanti pulang sama gua," Amia menggeleng. "Nggak usah, aku bisa sendiri."

"Mau bareng cowok kemarin lagi? Iya?" tuduh Erlan pada Amia tentang teman sekolahnya yang tidak sengaja bertemu didekat halte sekolah karena hujan.

Amia mengernyit heran, ada saja bahan untuk bertengkar. "Sore itu ujan dan kamu nggak bisa jemput."

Erlan kembali menatapnya dengan tatapan tajam. "Lo udah ada cowok, nggak pantes kalo jalan sama cowok lain."

"Nggak ada maksud jalan sama yang lain, aku—," belum selesai berbicara sudah dipotong. "Ngeles aja."

Erlan pergi meninggalkan Amia seorang diri tanpa kejelasan. Entah apa yang salah dengan dirinya, sampai lelaki itu berkata seperti benar-benar tidak menyukainya.

Amia menatap punggung Erlan dari kejauhan sampai menghilang dari pandangannya. "Apa sebenci itu sama aku?" ucap Amia bermonolog.

"Amia," panggil Khandra. Amia menoleh ke sumber suara. "Khandra."

Khandra tersenyum. "Kemarin dimarahin sama Erlan?" Amia menggeleng. "Enggak kok."

"Syukur deh. Erlan baik dong? Nanti pulang bareng lagi mau?" tanya Khandra.

Erlan baik? Dengan sikap yang tegas, dingin, tidak peduli itu adalah sikap mutlak milik Erlan dan tidak baik menurutnya. Apa bisa sosok lembut, hangat, dan peduli dapat meluluhkan sikap Erlan.

Mustahil.

"Amia!"

Amia terkejut melihat siapa yang memanggilnya. "Erlan." sosok itu berbalik dan berlari kearah Amia.

Erlan sedikit terengah karena efek berlarinya. Dirinya menatap Khandra. "Gua bisa anter Amia pulang." dengan cepat Erlan membawa Amia pergi.

"Lo jangan nyusahin. Kalo jadian sama lo bukan karena disuruh gua juga ogah," ucap Erlan dengan posisi tangannya masih menggandeng tangan milik Amia.

Padahal Amia akan mencoba menyayangi Erlan dan menerima kehadirannya dalam hidup. Tapi sepertinya itu tidak berlaku pada Erlan dan malah membencinya. Amia akan bersikap seolah dirinya tak menanggapi Erlan daripada menimbulkan kesalahpahaman.

Memang benar semua hubungan antara Amia dan Erlan adalah rekayasa. Rekayasa dua keluarga yang akan saling menguntungkan keduanya. Namun, orang yang menjalankan seperti boneka yang diikat tali dan digerakan dengan jari jemari untuk dipaksa bergerak.

Rasa lelah itu pasti ada, bahkan sebelum diikat. Sepertinya tidak akan pernah ada kebahagiaan yang datang.

"Dia itu temen kamu juga, apa salahnya kalau mau bantu aku."

Langkah Erlan terhenti. "Temen gua? Temen lo kali." Amia menarik paksa tangannya dari genggaman Erlan. "Aku ke toilet sebentar."

Amia berjalan mundur. Toilet hanya alibi agar dirinya tidak berlama-lama berada dekat dengan Erlan.

Apa cara Amia menghadapi Erlan salah atau cara bicara Amia salah sampai-sampai Erlan tidak menyukainya. Menghindar juga bukan cara terbaik untuk menjauh, itu hanya akan membuatnya berada dalam masalah yang tidak kunjung selesai.


Rumah

Dara—Mama Amia, tidak mengubris ucapan putrinya. Dirinya seolah tidak peduli dengan apa yang dikatakan putrinya. Dirinya berpikir dengan Amia mengikuti permintaanya semua akan berjalan sesuai keinginannya.
Nyatanya hanya memberi tekanan pada Amia.

"Mah, aku nggak mau berurusan sama Erlan. Mama tau kan gimana sikapnya Erlan ke aku," ucap Amia mengikuti arah mamanya berjalan.

Amia mencoba meyakinkan Mamanya yang tidak peduli, sudah seringkali Amia mencoba untuk meminta mengakhiri hubungannya dengan Erlan tetapi tidak pernah berhasil.

"Aku bukan boneka yang seenaknya Mama mainin. Aku juga punya capek, Mah. Lebih baik aku nggak ada hubungan sama Erlan, aku bisa hidup sendiri," tangis yang ia tahan tak mampu lagi terbendung. Sampai air mata berubah menjadi darah, Mamanya akan tetap tuli dengan permohonan itu.

"Kamu hidup sendiri? Bisa apa kamu kalau hidup sendiri, mau jadi orang susah? Syukur kamu Mama kenalin sama orang yang bisa cukupin kebutuhan kamu, Amia. Harusnya kamu makasih sama Mama, jangan malah kayak gini. Erlan itu baik, kamu jangan ngelantur nggak jelas."

Amia menangis sejadi jadinya, dirinya benar-benar lelah. Tidak pernah mendapat kehangatan dari seorang ibu dan sekarang dirinya seolah dijual. Dan tragisnya tetap mendapat ketidakadilan.

"Aku selalu turutin kemauan Mama, tapi Mama nggak pernah turutin kemauan Amia, sedangkan perlakuan Mama ke Abang dan Amia juga beda," Amia berlari kedalam kamarnya dan bersandar dipinggir tempat tidurnya.

Dunia ini terlalu tidak adil, kasih sayang pun akan terbagi sekalipun dia saudara sendiri. Siapa lagi yang harus dipercaya? Untuk siapa lagi dirinya harus hidup? Semua berubah menjadi kelabu dan tidak akan ada pelangi.

_______

CARAPHERNELIA

see u next part!

CarapherneliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang