Pintu gudang terbuka tepat ketika Arletta nyaris tertidur bersama Kenzo. Cewek itu tersenyum cerah melihat petugas kebersihan yang menatap bingung.
"Loh neng ngapain? Kok nggak pulang?"
"Ya ampun makasih pak! Kita kekunci disini dari siang."
"Oh, pantesan. Emang pintunya udah rusak jadi susah dibuka kalau dari dalam."
Arletta terkekeh kecil dan berterimakasih kembali ketika Kenzo terbangun dari tidurnya.
"Jam 5." Kenzo bergumam pelan sembari melihat jamnya.
"Lo masih pusing?"
Kenzo menekan kepalanya dengan pelan. "Sedikit."
Arletta mengangguk paham kemudian mengangkat Kenzo kedalam gendongannya ala koala dengan mudah. Membuat cowok didekapannya melotot kaget.
Sebenarnya Arletta ini atlet karate atau atlet angkat beban sih?
"L-lo ngapain?!"
"Lo bilang masih pusing kan?" Arletta bertanya santai sambil berjalan keluar gudang.
"I-iya, tapi lo ngapain ngegendong gue?! Gue bisa jalan sendiri!" Kenzo menatap panik sekitarnya sambil tangannya melingkar di leher Arletta karena takut jatuh.
"Ssst, anggap aja ini permintaa maaf gue."
Kenzo berdecak tak sabar. "Iya, tapi turunin gue dulu."
"Kenapa?"
"Ya lo pikir aja gimana kalau ada orang yang liat?!"
Arletta menjauhkan wajahnya agar bisa melihat wajah merah padam Kenzo. "Lo malu?"
Kenzo menelan salivanya. Matanya menatap Arletta dengan tidak fokus karena jarak yang terlalu dekat.
"Tenang aja murid-murid disini udah pada pulang kok." Jawab Arletta dengan enteng.
Tapi Kenzo tetap tidak nyaman berada di gendongan Arletta. Cowok itu sudah 17 tahun dan ayahnya bahkan sudah berhenti menggendongnya saat umur 8 tahun.
"Arlet—mhhh..."
"Diem..."
"Sialan! Jangan remes-remes sembarangan brengsek!" Kenzo melotot horror ketika merasakan remasan di pantatnya.
"Ya makanya diem. Lo mau jatuh terus tulang ekor lo cidera?" Arletta melotot galak dan berhasil membuat Kenzo bungkam.
Arletta menurunkan cowok itu setelah sampai di kelas mereka. Tapi tidak ada tas Kenzo dimanapun.
"Tas lo dimana?"
"Kayaknya udah dibawa Lakshan atau Theo."
"Mau gue gendong lagi sampai parkiran?" Tawaran Arletta itu sontak membuat Kenzo melotot galak.
"Ogah!"
Galaknya.
Arletta terkekeh dan membiarkan Kenzo turun dari meja kemudian berjalan tertatih keluar kelas.
Galak. Tapi imut.
***
Pukul 6.15 malam.
Kenzo melemparkan handuknya keatas gaming chair dan menghempaskan dirinya sendiri keatas kasur. Kemudian memandang langit-langit kamarnya yang sengaja dicat gelap.
Kalau memang benar ada orang yang memanfaatkan situasi pertengkaran Kenzo dan Arletta, tentu saja itu hal yang berbahaya. Orang itu mungkin memang tidak mengakui dirinya Kenzo, tapi dia tetap menyerang di waktu dimana ia dan Arletta bertengkar. Membuat segala kejadian naas yang Arletta alami seakan-akan adalah ulahnya.
Sial. Harusnya Kenzo sadar saat Arletta berulah seperti memiliki dendam kesumat padanya. Dan lagi, siapa bajingan yang berani-beraninya menyamar menjadi dirinya?
Kenzo tidak bisa membiarkannya. Ia mungkin brengsek, tapi ia tidak mau diwakili orang lain dalam melakukan kebrengsekannya. Dan difitnah atas hal yang tidak ia lakukan.
Pokoknya, Kenzo harus segera mencari tahu orang itu secepatnya juga.
"Ngelamun mulu lo kek punya otak aja."
Kenzo berjengit kaget mendengar suara menyebalkam dari ambang pintu kamarnya yang terbuka. Itu kakaknya, Kenji.
"Sialan lo!" Melempar bantalnya, Kenji berhasil menangkap benda itu dengan mudah. "Udah gue bilang ketok pintu dulu kalau mau masuk!"
Kenji memutar bola matanya dengan malas. "Udah gue ketok, lo nya aja yang budek."
"Gue gak percaya lo ngetok pintu dulu." Kenzo memicing curiga sembari beranjak bangun.
"Gue ngetok."
"Berapa kali?"
"Sekali."
"Si anjing."
"Siapa tau kan gue ngegep lo di kamar lagi berbuat tidak senonoh terus bisa gue rekam dan kasih tau nyokap bokap kalau anak bungsunya yang sering disebut paling baik hati dan menggemaskan itu sebenernya remaja pemberontak maniac sex misalnya."
"Anj. Itu sih elo!" Kenzo kadang penasaran kenapa ia bisa mempunyai kakak berotak konslet seperti Kenji dan kenapa sifat mereka bisa berbeda jauh. Kalau Kenzo berIQ setara Albert Einstein, IQ Kenji justru sama dengan rata-rata nilai Matematika Kenzo ; 95.
"Keluar lo babi!"
Kenji melotot galak. "Gue juga males masuk kesini kalau bukan karena nyokap nyuruh gue manggil adek babi buat makan malem."
Kenzo akhirnya mengerling jengah dan berjalan mendahului Kenji keluar dari kamar. "Buruan dong abang babi."
Kenji semakin melotot nyalang. "Babi."
Dan kedua babi itupun berjalan beriringan menuju ruang makan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bully on My Knees
Teen FictionArletta Caroline, atlet Karate nasional yang cedera memilih untuk pindah sekolah dan memulai kehidupan baru sebagai murid SMA biasa dan masuk Universitas. Tapi ia malah berurusan dengan pembully nomor 1 di SMA Liberty. *** Face like an Angel. Act li...