5. The Man ♪

1.4K 181 2
                                    

Every conquest I had made would make me more of a boss to you
I'd be a fearless leader
I'd be an alpha type
When everyone believes ya
What's that like?


***

Kenzo melemparkan kursi tak terpakai itu ke sudut gudang. Kedua hidungnya tersumbat tisue tapi ia masih tetap dihukum membersihkan gudang bersama cewek bar-bar yang menghajarnya habis-habisan.

"Kalau lo pikir gue bakal minta maaf sama lo. Lo salah besar. Gue sama sekali nggak menyesal dan nggak akan ngelakuin itu meskipun dipaksa Ms. Martha sekalipun. Lebih baik gue bersihin gudang setiap hari daripada harus minta maaf sama orang brengsek kayak lo." Cetus Arletta sambil menumpuk papan kayu yang keropos dan bertebaran di lantai gudang.

Kenzo mendengus mendengarnya. "Kalau lo pikir gua juga bakal minta maaf sama lo duluan, lo salah besar. Karena gue sama sekali merasa nggak punya salah sama lo."

Brak!

Arletta menghempaskan papan kayu di tangannya keatas tumpukan kayu dan melotot melihat Kenzo.

"Kayaknya lo masih nggak mau mengakui kesalahan lo ya?!"

"Karena gue emang nggak punya salah apapun sama lo!"

"Terus gimana sama buku-buku gue yang lo cemplungin ke got sampe basah, gimana sama kursi gue yang lo potong kakinya, gimana sama meja gue yang lo coret-coret pake spidol permanen, gimana sama baju olahraga gue yang lo robek atau gimana sama tugas-tugas gue yang lo sabotase?!"

Kenzo terdiam. Kemudian mengerutkan dahinya dengan bingung.

"Listen, gue terlalu sibuk belakangan buat nyiapin olimpiade biologi dan fisika. Gue nggak ada waktu buat ngelakuin itu meskipun gue pengen liat lo menderita karena selalu ikut campur urusan gue. Tapi gue nggak akan pake cara norak yang lo sebutin tadi. That's not my style." Jawaban Kenzo membuat Arletta terhenyak kaget tapi juga masih belum mempercayainya. "Apalagi bagian sabotase tugas. Bahkan meskipun gue nggak mensabotase tugas lo, nilai lo bakal tetep jelek. Sama sekali gak ada untungnya buat gue. It's just wasting my time."

Oke, untuk bagian ini Arletta melotot galak. Ia memang lemah di akademik. Dan Arletta benci jika diingatkan.

"Maksud lo ada orang yang pura-pura jadi lo dan ngeganggu gue?" Tanya Arletta sambil bersedekap.

Kenzo mendengus. "Apa orang itu bilang kalau dia gue waktu ngelakuinnya?"

Arletta terdiam. Benar. Selama ini orang itu tidak pernah mengakui secara langsung kalau dia Kenzo. Tapi Arletta lah yang mengambil kesimpulan begitu saja.

"Tapi siapa lagi orang brengsek yang ngelakuin itu sama gue kalau bukan lo yang punya dendam sama gue?" Tanya Arletta mengernyit bingung sekaligus tak terima kalau ia sudah salah paham.

"Entah ya, mungkin korban kebar-baran lo yang juga pernah lo hajar hidungnya sampe mimisan?" Jawaban sarkas Kenzo membuat Arletta melotot nyalang.

Cewek itu terdiam dan malah duduk di kursi bekas yang masih layak pakai sambil berfikir.

Arletta tidak bisa membiarkannya begitu saja. Orang itu sudah membuat hidup Arletta bermasalah dan ia bahkan menghajar orang tak bersalah meskipun orang itu sama-sama menyebalkan.

"Bener itu bukan lo?" Tanya Arletta lagi.

Kenzo yang sedang menumpuk kursi hanya memutar bola matanya. Merasa tidak perlu menjawab pertanyaan retoris itu. Cowok itu melemparkan kursi bekas ke tumpukan paling atas ketika kepalanya berdenyut nyeri.

Arletta diam-diam memperhatikan Kenzo yang ikut duduk bersandar pada dinding di dekatnya. Wajahnya pucat dan cowok itu mengurut pelipisnya pelan.

"Lo gakpapa?" Arletta menatap Kenzo dengan rasa bersalah.

Meskipun cowok itu brengsek tapi Arletta tetap mempunyai rasa simpati.

Kenzo mengangguk lemah dan menunduk sambil memegangi kepalanya.

"Lo ke UKS aja, biar gue yang beresin ini." Tukas Arletta.

Tapi Kenzo malah menggeleng dan kembali membereskan gudang. "Gue gakpapa."

Gakpapa apanya. Arletta bahkan bisa mendengar kalau cowok itu sudah lemas hanya dari suaranya.

"Jangan keras kepala, sana ke UKS." Arletta menahan tangan Kenzo yang hendak mengambil kursi lain lagi.

"Gue gak mau."

"Gue bilang ke UKS Kenzo."

Kenzo mengernyit ketika ia berniat menepis lengan Arletta. Gila, sebenarnya seberapa kuat Arletta? Dia memang atlet nasional tapi masa cewek bisa sekuat ini?

"Iya, iya, gue ke UKS."

Menyerah dengan paksaan Arletta, Kenzo akhirnya berjalan menuju pintu keluar. Tapi anehnya, seberapa keraspun Kenzo menariknya, pintu itu tidak mau terbuka.

"Kenapa?" Tanya Arletta.

"Pintunya... Kekunci..."

Arletta menatap tak percaya dan langsung berusaha menarik pintu tersebut. Dan pintu itu tetap tidak terbuka.

Keduanya saling tatap dengan panik.

"Lo bawa hp?"

Arletta menggeleng pelan. "Gue tinggal di kelas."

"Sial, hp gue juga ketinggalan di lapangan tadi."

Arletta menggigit bibirnya lantas menggedor-gedor pintu dengan keras. "Ada orang diluar?! Halo?!!! Kita kekunci di dalem?! Halooo?!!!"

Kenzo menghela nafas lelah dan memilih duduk di lantai sambil menyandarkan punggungnya. Kepalanya semakin berdenyut nyeri.

Arletta yang melihat Kenzo seperti nyaris pingsan semakin berterik panik. Tapi tidak ada sahutan dari luar.

Kenzo menarik ujung blazer Arletta dengan lemas.

"Percuma, gudangnya kepisah sama gedung utama. Lo cuma ngabis-ngabisin tenaga."

Arletta ikut duduk disamping Kenzo dengan lesu. "Terus gimana? Kita gak bisa keluar dan lo gak bisa ke UKS."

"Sore nanti biasanya ada petugas kebersihan."

"Maksud lo kita harus nunggu disini sampe sore?!" Arletta melotot horror.

"Mau gimana lagi?" Kenzo menutup matanya yang terasa berat.

Sebenarnya Arletta masih ingin bertanya. Tapi melihat wajah pucat cowok itu dan lebam di pipinya mau tak mau membuat Arletta terdiam.

"Lo masih pusing?"

"Hm..."

Arletta menghela nafasnya dan menarik kepala Kenzo untuk bersandar di bahunya. Kenzo membuka matanya sedikit dengan bingung. Ia hendak berbicara ketika tangan Arletta mengelus rambutnya dengan lembut dan begitu menenangkan. Jadi Kenzo hanya diam dan menikmatinya. Bau parfume Arletta juga sangat wangi dan segar. Seperti permen kapas yang manis. Membuat Kenzo tanpa sadar tertidur begitu saja.

***

Bully on My KneesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang