PROLOG

5K 1K 68
                                    

"Kedinginan nggak?"

"Kedinginan apa?"

"Kamunya, kedinginan nggak?"

"Emang kalau kedinginan kenapa?"

"Ya bisa peluk pinggang aku."

Aku tertawa dengan pipi yang panas mendengar omongan asal Manggala yang sedang membawa motor dalam kecepatan sedang menuju Setiabudi, rumahku. Mengantarku ke rumah setelah pulang kuliah sudah menjadi rutinitas Manggala begitu kami resmi pacaran. Awalnya aku menolak karena waktu yang dipakai untuk mengantarku bisa digunakan Manggala untuk beristirahat di kamar kost-nya yang bahkan bisa jalan kaki ke kampus. Dipati Ukur-Setiabudi-Dipati Ukur juga memakan waktu apalagi kalau macet.

Terlebih aku memahami kesibukan Manggala sebagai mahasiswa Kelautan yang sebentar lagi akan mengambil Kerja Praktik di Batam. Pasti sangat banyak yang harus dia persiapkan. Belum lagi Manggala cukup sibuk sebagai asisten dosen dan menjadi guru privat untuk anak dosen tersebut yang masih duduk di kelas IV SD.

Tetapi Manggala bilang, kapan lagi dia bisa lebih sering bertemu denganku kalau bukan untuk mengantarku pulang mengingat bukan hanya Manggala tetapi aku juga cukup sibuk di kampus. Sebagai mahasiswi DKV di kampus yang sama, aku disibukkan dengan portofolio-portofolio yang tentunya sangat menyita waktu. Aku juga beberapa kali terlibat dalam pameran-pameran yang diselenggarakan oleh kampusku maupun kampus lain. Jadi memang kalau mau sering bertemu, kami harus pintar-pintar mencari waktu dan momennya.

"Sebelum berangkat ke Batam, kamu pulang ke rumah dulu atau nggak?" tanyaku pada Manggala.

Manggala berasal dari Jakarta. Biasanya dia menyempatkan pulang ke rumah paling tidak satu bulan sekali untuk melepas rindu dengan kedua orang tuanya sekaligus perbaikan gizi. Perbaikan gizi yang Manggala maksud adalah makan makanan yang lezat dan bergizi selama tiga kali sehari karena dia tidak akan melalukan itu saat nge-kost. Bisa makan dua kali sehari saja sudah bagus untuk ukuran Manggala Riyadi.

"Pulang dong. Lumayan nanti bisa minta nambah duit jajan lagi. Abe mau ikut nggak? Ketemu mama papaku gitu," goda Manggala yang langsung kuhadiahi dengan tepukan pelan di bahunya.

Berbeda dengan Manggala yang sudah mengenal orang tuaku karena memang setiap mengantarku pulang atau menjemputku di rumah, dia akan selalu menyempatkan diri menyapa mereka, aku belum pernah bertemu dengan kedua orang tua Manggala. Entah lah. Aku berpikir kami masih terlalu muda untuk Manggala mengenalkanku pada keluarganya. Pacaran juga belum setahun.

"Padahal mama papaku nggak gigit, Be."

"Yang bilang mereka gigit siapa, Angga?"

"Buktinya kamu nggak mau ketemu mereka," balas Manggala lagi.

"Belom mau. Bukan nggak mau," jawabku. "Aku malu tau."

"Aku nggak malu ketemu mama papa kamu."

Aku memutar bola mata. "Kamu kan emang nggak punya malu. Malah seneng kan kalau disuruh singgah di rumah setiap nganter aku?"

Terdengar tawa dari Manggala di balik helm yang dia kenakan. "Soalnya suka diajak makan dulu. Masakan mama kamu enak."

"Ya enak kan gratis. Hemat uang makan malam."

"Uang makan malamnya aku alokasiin buat duit pacaran kita, Abe," kata Manggala dengan kekehan geli.

Aku ikut tertawa mendengar jawaban polosnya.

"Tapi kamu nggak boleh terus-terusan menghindar ya, Be. Pokoknya paling nggak pas aku wisuda kamu harus ketemu Mama Papa," kata Manggala dengan suara yang lebih tegas.

"Optimis banget kita bakal langgeng sama wisuda?" aku sengaja menggodanya.

Kepala Manggala menoleh sekilas padaku, lalu kembali menghadap lurus ke depan. "Maksudnya?" tanya Manggala agak ketus.

Ngambek nih pasti. Aku jadi merasa bersalah.

"Sori. Aku cuma bercanda," kataku sedikit manja agar Manggala luluh.

"That's not even funny at all," Manggala menarik pelan tanganku dengan tangan kirinya, menuntun agar tanganku melingkari pinggangnya. Aku menuruti hingga kedua tanganku kini melingkari pinggang Manggala. "Jangan bercanda kayak gitu ya, Abe. Aku nggak suka dengernya. I won't date you just for fun. We both know it."

Kusenderkan kepala di punggung lebar Manggala dengan kedua tangan yang semakin erat memeluk pinggangnya. "Iya. Don't get mad at me, please."

Tangan kiri Manggala mengelus punggung tanganku dengan lembut. "We have to last long."

"Amin."

***

HAI HAI HAI
Kembali lagi dengan male lead Anak Teknik. Hidup Anak Teknik! hahahahahaha. Tapi kali ini nggak Sipil ya, guys. Walaupun ya Teknik Kelautan juga turunan dari Sipil sih tapi kali ini kita bakal banyak main air. Bosen main di darat mulu hehe. 

 Thank you ya buat teman-teman yang masih mau membaca tulisanku padahal udah lama banget ya aku nggak ke lapak oren ini. Semoga tulisan ini bisa dinikmati. Kritik dan saran yang konstruktif tentu saja aku terima dengan senang hati. 

Anyways, aku more than excited deh sama eksekusi series Progresnya Berapa Persen? bakal jadi kayak apa huhu. Kira-kira scene apa di novel yang kudu wajib harus masuk ke series-nya? Please let me know. 

Thank you so much
See you on the next chapter

AFTERTASTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang