Empat

47 5 0
                                    

Halo... ketemu lagi sama aku. Nggak berasa ini sudah 2023, sudah hampir 5 tahun sejak aku menceritakan kisah ini.

Awalnya, aku bercerita hanya untuk mengeluarkan keluh kesahku, membagi pengalamanku tentang bagaimana hancurnya hidupku saat itu ketika aku mengetahui bahwa salah satu orang yang kucintai divonis penyakit yang cukup menyakitkan. Aku tidak menyangka bahwa akan mendapatkan respon yang sangat positif dari beberapa pembaca. Bahkan beberapa diantaranya ada yang sangat perhatian karena menghubungiku secara langsung untuk mempertanyakan keadaan ibuku...

Baiklah, karena itu, aku akan kembali menceritakan lagi apa yang kami alami saat itu...

Setelah mendapatkan vonis dokter, ibu tidak berhenti menangis. Aku tahu ini akan berat buat beliau, dan aku pun merasa sangat berat mendapatkan cobaan itu.

Yang ada di dalam pikiranku saat itu, kenapa harus dia? Kenapa harus ibuku? Ibuku adalah sosok yang tidak banyak ulah, tak banyak gaya, dia suka hidup sederhana. Aku ingat saat kecil, beliau banting tulang pagi siang malam menjadi buruh tani untuk menyekolahkan dua anaknya.

Ayahku dimana? Beliau merantau menjadi TKI di luar negeri dan tidak menghasilkan apapun (karena ditipu orang). Jadi, kita balik lagi ke perjuangan ibuku.

Bagiku, hidup ibuku belum enak. Beliau baru bisa memiliki rumah di kampung setelah merantau ke Samarinda. Dan baru saja dia menikmati hasil jerih payahnya, kini dia harus berhadapan dengan takdir lainnya yaitu si penyakit kanker.

Sering kali aku melihat ibuku menangis. Ingin rasanya aku ikut menangis, tapi aku harus kuat bukan? Tak ada lagi percakapan tentang Operasi kedua, karena ibu saat itu memang menolak. Dia takut dan aku bisa mengerti itu. Jadi aku tak lagi membahas tentang Operasi lagi pada dia.

Lalu, suatu hari... kulihat ibuku bermain dengan putri kecilku, kemudian tiba-tiba, ibuku pergi meninggalkan putriku dan dia terlihat sedang menahan tangisnya. Segera aku mengikutinya ke kamar, dan rupanya, ibuku menangis sendiri di kamarnya.

"Bu, kenapa?" Tanyaku sambil duduk di pinggiran ranjangnya.

Ibu tiba-tiba memelukku, tangisnya pecah dan dia berkata "Aku mau operasi..."

Aku terkejut bukan main dengan keputusannya itu. Padahal aku tak lagi membahas tentang Operasi kedua dengannya.

"Bu, Ibu yakin? Ini operasi besar loh... semua payudaranya akan diangkat. Ibu nggak papa?" Tanyaku ingin meyakinkan.

"Iya aku mau..." jawabnya masih dengan menangis. "Tadi, masa anak kamu bilang gini 'Emak jangan mati dulu ya... kan Bella masih kecil,' aku nggak mau mati dulu, anakmu masih kecil nanti siapa yang ngerawat?"

Mataku ikut berkaca-kaca mendengarnya. Ya, memang. Sejak bayi, anakku memang sangat dekat dengan ibuku. Bisa dibilang, dia lebih dekat swmgan ibuku daripada denganku. Aku bukan tipe orang yang keibuan. Cara mendidikku sedikit lebih keras hingga anakku lebih suka bermanja-manja dengan ibuku.

Kini, kedekatan mereka tersebut bis mengubah segalanya. Dengan ucapan polosnya, Bella bisa merubah keputusan penting dalam hidup ibuku...

Ibuku mau dioperasi...

Aku merasa senang...

Namun, ada juga rasa khawatir yang amat sangat. Dalam hati aku menguatkan diri. Setidaknya kami sudah berusaha dan mencoba, hasil akhirnya sekali lagi akan kami serahkan pada yang diatas...

Setelah keputusan penting tersebut, segera aku membuat janji dengan Dokter Muhammad. Dokter merasa senang karen Ibu memilih keputusan yang tepat.

Saat kami datang untuk memeriksa dan membuat jadwal, Dokter Muhammad tak berhenti memberi ibuku semangat.

"Bu, Insha Allah sembuh yaa Bu. Ibu harus bersyukur loh, anak ibu masih semangat nyari obat buat Ibu. Biasanya, orang ke sini itu kalau sudah parah, Bu... ini baru sedikit, belum kemana-kemana penyakitnya, jadi Ibu pasti bisa."

Ibuku tampak tersenyum dan semangat. Dokter Muhammad bahkan beberapa kali memberiku jempol karena hal ini...

Ya. Ini memang keputusan sulit dan berat, namun kita harus menghadapinya, kita harus tetap mencoba untuk sembuh, bukan? Dan inilah salah satu cara kami menghadapi masalah ini. Yaitu selain berserah pada yang diatas, kami juga berusaha untuk sembuh dengan berobat.

(Kenapa aku bilang begini? Karena aku berasal dari kampung. Kebanyakan orang di kampungku jika mereka sakit, mereka memilih untuk tidak tahu sakit apa dengan cara tidak memeriksakan diri. Dan memilih hanya meminum obat2an dari toko saja. Kenapa? Karena mereka berpikir bahwa mengetahui penyakit akan membuat semakin sakit, belum lagi memikirkan tentang biaya berobat. Jadi lebih baik tidak tahu saja. Contoh sederhana saja, 2020, salah seorang teman ibuku yang ada di kampung meninggal, beliau terkena kanker payudara tapi tidak pernah berobat, dia meninggalkan anak yang usianya jauh lebih muda darj aku. Itu salah satu contoh saja)

Balik lagi ke kasus ibuku... kami akhirnya mendapatkan jadwal yang tepat untuk Operasi. Dan akhirnya, hari itu tiba juga.

Aku menunggu Ibu di bangku tepat di depan ruang operasi. Selama berjam-jam. Rasanya khawatir dan campur aduk. Ini lebih lama daripada operasi pertama.

Lalu pada akhirnya, operasi selesai. Saat ibu dikeluarkan dari ruang operasi, kondisinya benar-benar berbeda daripada operasi pertama.

Jika operasi pertama Ibu segera sadar, operasi kedua ini ibu tampak tak sadar meski beliau sudah membuka mata.

"En... Enny... ini kamu?" Tanyanya berkali-kali saat menuju ke ruang inapnya. Ibu menatapku tapi beliau seolah-olah tak berada di sana.

Kugenggam tangannya dan aku berkata "Ini aku, Bu... ibu berhasil..." ucapku
Memberikan semangat.

"En... Enny..." ibu memanggil-manggil namaku berkali-kali sembari menangis gelisah. Bahkan beberapa kali beliau muntah.

Aku khawatir. Karena operasi pertama tidak seperti itu... dokter dan suster menerangkan kalau ibu masih berada dalam pengarub bius.

Sampai di ruang inap, Dokter Muhammad datang dan kembali memgajakku berbicara. Ibu tampak sudah membaik meski kini dia kembali tidur. Pada akhirnya aku berbicara dengan Dokter Muhammad hanya berdua.

"Mbak tadi sudah lihat hasil operasinya, kan?" Tanyanya.

Ya, aku sudah melihatnya. Saat Payudara Ibuku diangkat, seorang suster sempat keluar dan menunjukkan baian tibuh Ibuku itu. Aku diminta untuk memfotonya, dan aku melakukannya.

"Iya Dok, sudah saya lihat tadi."

"Nah, mbak... pengobatan tidak sampai di sini saja ya... ibarat kata, tubuh Ibu itu sebuah pohon. Dalam pohon itu ada sarang semut. Kita sudah mengangkat sarangnya, namun pastinya masih ada semut-semut yang sudah terlanjur menyebar. Jadi fokus kita adalah membunuh semut-semut itu hingga jangan sampai membuat sarang baru."

"Lalu apa yang harus kami lakukan, Dok?"

"Ibu harus mengikuti kemoterapi. Beruntung kanker ibu masih stadium awal. Jadi saya sarankan nanti selama tiga minggu sekali selama 6 bulan. Nah, ini butuh dukungan keluarga, karena efek kemoterapi ini yang sangat berat."

"Berat seperti apa, Dok?"

"Ibu nanti nggak nafsu makan. Tapi harus tetap dikasih makan. Mual muntah, rambut rontok, dan banyak lagi, tergantung kondisi pasiennya."

Kuhela napas panjang. Ibu... rupanya perjuangan Ibu masih jauh... ibu harus kuat ya Bu... Ibu pasti bisa bertahan lebih lama lagi... Demi Bella, demi aku....

Samarinda - 16 Januari 2023

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 15, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Cancer WarriorWhere stories live. Discover now