Dua

942 121 19
                                    

Sebelumnya, aku tidak menyangka jika ada yang mau membaca kisah ini dan memberikan dukungan yang luar biasa. dan aku senang, karena ada beberapa yang juga ikut menshare pengalamannya. sekali lagi, pengalaman ini aku tulis agar bisa menjadikan pembelajaran untuk kita kedepannya. atau menjadi suatu wadah untuk kita saling bertukar pegalaman. Ya, karena bagiku, dengan memahami pengalaman orang-orang di luaran sana, membuatku satu langkah lebih dewasa dan lebih ikhlas dari sebelumnya.

***  

Menjadi penulis membuatku dapat menciptakan kebahagiaanku sendiri, meski sebenarnya banyak tekanan hidup di dunia nyata. Sering kali aku menyebutnya sebagai sebuah pelarian. Aku sangat suka menulis, dan hal itu membuatku lupa dengan masalah besar yang seharusnya kuhadapi di dunia nyata.

Tepatnya, akhir Juni, Bapak telepon dan berkata jika Ibu sakit. Malam itu juga, melewati hutan-hutan yang panjangnya hampir 37 Km, aku ke rumah Ibu dan Bapak.

Ibu bilang jika dia merasakan dadanya panas, sesak, perut tidak enak, dan sejenisnya. Padahal setahuku, Ibu tidak pernah mengalami sakit seperti itu. Aku sempat mengajaknya ke IGD, tapi dia menolak mentah-mentah.

Ya, sebelumnya, dia memang belum pernah di rawat di rumah sakit. Karena itulah, mendengaar kata IGD membuatnya ngeri. Ibu berkata jika dia ingin periksa ke Dokter langganannya. Dan akhrnya aku menyetujui apapun keinginannya.

Esoknya, kami benar-benar ke Dokter. Sebenarnya, Dokter hanya memeriksa tekanan darah, gula, kolesterol dan sejenisnya. Dokter lalu meresepkan obat. Dan pada saat itu, entah kenapa Ibuku berkata dengan sendirinya pada dokter terseut.

"Dok, saya ada benjolan di payudara saya, apa in berhubungan dengan sakitnya saya?"

Aku terkejut, tentu saja.

Sejak hari dimana aku dengan sok tahunya memvonis ibuku itu, kami tak pernah lagi membahas tentang benjolan itu lagi. Ibu tampak baik-baik saja, dan kupikir, obat itu bekerja dengan baik. Tapi saat ibu menanyakan hal itu secara langsung pada Dokter, aku melihat sebuah kekhawatiran di wajahnya. Ketakutan itu tampak jelas terlihat, dan bodohnya, selama ini aku tak memperhatikaan hal itu.

Dia tertekan, aku tahu itu. dia tertekan dan dia tidak memiliki orang yang bisa diajak bicara.

Aku lebih fokus dengan keluarga kecilku, aku lebih fokus dengan dunia fantasiku hingga aku tidak tahu, bahwa dia sebenarnya sangat membutuhkan dukungan dariku.

Tuhan! Aku benar-benar tak berguna!

Mendengar itu, Dokter meminta ibuku kembali berbaring, dan dia mulai memeriksa dimana letak benjolan tersebut.

"Besar ini Bu, Ibu ada Bpjs? Kalau ada langsung konsul ke rumah sakit saja Bu. Bawa surat rujukan dulu dari Faskes pertama." Dokter menyarankan.

"Apa parah, Dok? Apa itu yang membuat ibu saya sakit sesak seperti kemarin." Tanyaku kemudian.

"Semuanya butuh pemeriksaan lebih lanjut, Mbak. Tidak bisa langsung di diagnosis. Lebih baik langsung ke spesialis tumornya. Nanti di sana Dokternya yang akan menangani."

Takut, tentu saja. Bahkan wajah ibukupun tampak pucat dibuatnya. Astaga.... Apa yang akan terjadi selanjutnya? Pikirku saat itu.

***

20 Juli 2018

Sebenarnya, Ibu tidak ingin melakukan ini. Tapi karena sejak saat itu aku khawatir dan aku melihat dengan jelas bagaimana dia juga khawatir dengan keadaannya sendiri sampai darah tingginya kambuh, akhirnya aku memintanya periksa ke Dokter Spesialis onkologi. Tiga hari sebelumnya, kami sudah berkonsultasi, lalu tgl 20 juli ini, Ibu melakukan pemeriksaan USG Mamae seperti yang di jadwalkan.

Cancer WarriorWhere stories live. Discover now