Tiga

921 100 26
                                    

Hai... aku balik lagi. ini karenaa tadi pagi aku bingung mau lanjut cerita Jason atau PakEpan karena dua2nya mengganggu pikiranku bgt. jadi aku mutusin untuk lanjutin cerita ini. sekali lagi, semoga cerita ini bermanfaaat yaa... ambil hikmahnya. terimakasih.

Ps. aku nggak tau, kenapa aku sangat emosional saat menulis bagian Tiga ini tadi pagi. Ya, aku merasakan perasaan seperti itu lagi hingga mungkin membuat bagian ini kurang dinikmati. 

***   


aku ingat, saat itu adalah waktu ibu pulang dari rumah sakit. semua keluarga bisa tertawa karena mungkin merasa lega saat tahu bahwa ibu sudah membaik dan benjolan di payudaranya sudah di angkat. tapi tidak denganku. perkataan Dokter Muhammad terputar lagi dan lagi dalam pikiranku, hingga saat itu, aku tak kuasa menahan tangis saat diperjalanan pulang.

Suamiku bertanya. "Apa yang terjadi?" aku hanya menggelengkan kepala. ingin rasanya aku bercerita padanya, tapi bibir ini terasa kelu. lalu dia bertanya sekali lagi "Apa yang terjadi?" dan akhirnya aku memilih berbohong padanya.

"Mas, aku hanya takut, kamu nggak mau menerima keluargaku."

"Kamu ngomong apa? mereka juga keluargaku."

"Tapi Ibu bakal nggak bisa kerja lagi." tangisku semakin menjadi. "Aku mau merawat dia, tapi aku takut kamu keberatan."

Aku ingat, saat itu dia segera menghentikan kendaraan kami. ditengah hutan saat perjalanan pulang (Kebetulan rumahku melewati hutan-hutan). lalu dia berkata padaku. "Sayang, Kamu ngomong apa? kenapa kamu berpikiran pendek begitu denganku? selama ini, Kamu sudah menerima keluargaku, merawat mereka dari jauh, menyayangi mereka seperti keluargamu sendiri. kalau aku sampai mengabaikan keluargamu, maka tinggalkan saja aku." 

Ya, kurang lebih ucapannya seperti itu. dan hingga kini, aku mengingatnya. bahkan saat menulis kisah ini dan menulis kalimat di atas, mataku berkaca-kaca.

Sedikit bercerita, Suamiku itu memang bukan orang yang romantis, banyak diam, tapi aku tahu bahwa dia adalah orang yang super sekali pengertiannya. kadang, kediamannya membuatku salah paham, tapi bukankah itu yang namanya hubungan? penuh dengan kesalah pahaman. 

baiklah, kita kembali lagi pada cerita awal. Akhirnya, aku tidak memiliki nyali untuk memberitahu suamiku. satu-satunya orang di dunia ini yang mengetahui apapun tentangku. aku tak punya satupun rahasia dengan dirinya, begitupun sebaliknya. kami sering bicara dari hati ke hati saat menjelang tidur, tapi malam itu, aku sama sekali tak bisa mengatakan kondisi Ibu pada suamiku.

akhirnya, aku memilih diam dan memendam semuanya sendiri. bisa dibayangkan, bagaimana stress dan terpuruknya aku saat itu.

Teman?

Ya, aku punya. banyak malah. karena menjadi penulis menambah banyak teman dikalangan penulis maupun reader. setiap harinya, Chat hapeku tak pernah sepi. reader2 yang dekat denganku hobby sekali menggangguku dan menerorku untuk lekas menyelesaikan ceritaku. sedangkan teman-teman penulisku biasanya sering curhat tentang masalah kepercayaan dirinya, maupun tentang yang lainnya hingga berakhir kami saling menyemangati satu sama lain. percayalah, aku mendapatkan kehidupan yang sempurna di dunia maya. tapi saat aku mendapatkan masalah ini, aku sama sekali tak berani bercerita dengan salah satunya.

Sebut saja Tania, dia salah satu teman terdekatku. penulis juga, yang sudah kuanggap sebagai belahan jiwaku. aku bahkan sempat berpikir, jika aku berjenis kelamin laki2 dan masih single, maka aku akan datang kerumahnya untuk menikahinya saat itu juga. 

aku banyak bercerita dengan Tania, kebanyakan tentang problem hidup di dunia nyata, begitupun sebaliknya. dia juga sering bercerita padaku tentang dunia nyatanya. aku merasa sangat cocok denganya, bahkan dia termasuk dalam daftar salah satu orang yang ingin kutemui.

Cancer WarriorWhere stories live. Discover now