Tenang Sebelum Perang

2 1 1
                                    


***

Lama sekali. Ya, sudah lama sekali sejak terakhir kali berkunjung ke tempat ini. Mungkin sekitar lima tahun yang lalu, dengan pakaian dan niatan yang tentunya berbeda. Bangunan tua ini memiliki banyak sekali pagar dan tumpukan besi karatan yang kurasa adalah wahana. 

Aku ingat bahwa dulu tempat ini ada sebuah taman bermain besar dan pada setiap hari Ahad, banyak orang dari kota pergi ke tempat ini untuk menghabiskan waktu liburan mereka. Dulu sekali, keluargaku dan aku sering berkunjung kesini untuk menikmati hari akhir pekan bersama.

 Bangunan itu memiliki warna yang sangat memikat mata, aura yang memancarkan hawa menyenangkan, gelak tawa anak-anak yang menikmati wahana permainan yang tersedia disana. Tempat penitipan dimana aku duduk sekarang ini, adalah tempat paling ramai setelah wahana permainan. 

Banyak orang menitipkan barang, entah apapun itu selalu mereka simpan disitu. Sampai-sampai, aku pernah mendengar sebuah rumor bahwa loker-loker ini sudah seperti brankas untuk menyimpan uang, bahkan bahan makanan mentah. Lalu penitipan disini memiliki sistem self-service, ibaratnya dia masukin uang ke alatnya, terus loker penyimpanan bisa dia akses dan hanya dia yang bisa, tidak ada orang lain. 

Itu adalah sebuah teknologi yang sangat menarik perhatian orang-orang yang berkunjung. Dengan linggis yang kubawa, aku mulai melakukan pekerjaanku dengan loker-loker ini.

Aku tidak pernah lupa dengan wajah-wajah orang yang berkunjung kesini, wajah orang yang terpuaskan dengan apa yang mereka rasakan. Tumpukan besi yang sedang terpaku ditimpa tetesan air hujan itu dulunya adalah sebuah benda yang menjadi tujuan utama mengapa banyak orang berkunjung kesini. 

Bangunan dengan bingkai kaca lebar yang hampir sebagian besar kacanya sudah pecah, penuh dengan lumut dan beberapa dindingnya yang hancur itu dulunya sebuah akuarium yang menampung berbagai jenis spesies ikan dan juga akuarium adalah tempat favoritku jika berkujung kesini. Biang lalang atau Ferris Wheel masih berdiri kokoh disana, hanya saja ditumbuhi dengan tanaman-tanaman merambat dan mulai berkarat. Setelah menyusuri tempat penitipan barang taman hiburan, aku menemukan beberapa barang yang cukup menarik, seperti sekantong beras dan korek api. 

Setelah memasukannya kedalam tas ranselku, kantor administrasi taman hiburan menjadi tujuan pencarianku kali ini. Ruangan itu berantakan, seperti ruangan-ruangan yang ada disini. Dinding hancur, genangan air dimana-mana, sesekali melihat beberapa tikus sedang mengunyah sesuatu, aku tidak ingin tahu apa itu. Menapaki tangga, aku menuju lantai dua bangunan. Sesampainya di lantai dua, aku kembali menyusuri ruangan itu, satu demi satu laci-laci kantor, rak penyimpanan, dan tas-tas yang tertinggal tak luput menjadi target pencarianku.

Pandanganku teralihkan ke ruangan kepala administrasi taman hiburan, dengan kaca pecah di sekeliling sebagai dinding seperti akuarium. Aku melihat kotak perkakas! Kotak perkakas inilah yang menyebabkan aku datang jauh-jauh kesini. 

Tidak juga, aku datang kesini juga memiliki alasan lain, untuk mengingatkan diriku tentang hidup yang kulalui. Dunia yang sekarang kutahu bukanlah dunia yang dulu aku nikmati, walau ada kendala tapi aku tetap menyukainya. Dikala lapar, Ibu selalu hadir dengan masakannya yang menggugah selera, Ayah yang setiap Ahad membawa kami jalan-jalan sekeluarga, dan Adikku yang kusayangi, walau kami sering bertengkar karena hal sepele tetapi aku tetap menyayanginya. Tidak menyenangkan hidup tanpa ada orang yang dikenal disekitar.

Apa aku menyukai hidupku yang sekarang? Sekarang aku yang balik bertanya, apa kamu suka hidup sendirian? Beralaskan tanah dan beratapkan langit? Perutmu bergantung dengan keinginanmu untuk hidup, kamu harus mencari makanan itu sendiri untuk dirimu sendiri.

 Kadang, orang yang kamu temui kemarin tidak tentu akan bersahabat denganmu di kemudian hari. Ditambah, kamu berpikir polisi dapat membantu, ditengah kekacauan yang sedang menggempur? Membantu diri mereka sendiri saja masih kesulitan apalagi mengayomi masyarakat. 

Senang mengingat masa lalu. Tapi ada yang harus kukhawatirkan sekarang, yaitu masa yang akan datang. Tempatku berdiri bukan wahana permainan yang kuingat, melainkan reruntuhan yang dengan atap yang menganga dan genangan air dimana-mana. Cuaca menyambut dengan mengirimkan air hujan dengan petir sebagai pelengkap kemeriahan. 

Aku mendekati loket penjualan tiket untuk mengecek sesuatu yang bisa kubawa, beruntungnya menemukan satu liter air mineral dan dua kaleng ikan sardin dari sebuah kotak sembako yang sudah terbengkalai, penemuan yang cukup fantastis untuk hari ini mengingat benda-benda seperti ini sangat dibutuhkan disini. 

Juga, diperjalanan sebelum sampai di tempat ini aku menemukan sebuah senjata tergeletak di pinggiran jalan. Jalan itu, layaknya jalan-jalan di kota, memiliki trotoar, halte bis, lampu jalan,

Namun begitu, senjata yang kutemukan ini terlihat terawat lebih baik daripada senjata yang tergeletak disini, akan kuhadiahkan kepada sobatku, Zidan. Sobatku itu adalah seorang tentara perlawanan, yang menentang kekuasaan pemerintah. 

"Tirani gila yang mengusik kedamaian rakyat untuk memenuhi nafsu untuk berkuasa di atas negeri ini."
Kata sobatku yang sepertinya sudah tertanam dalam pikirannya dengan hal anarkis ini. 

Kami sudah menjadi teman, teman sekolah tepatnya. Dia menyukai senjata api, dan juga dia sedikit tidak suka dengan senjata yang diberikan tentara perlawanan karena dianggap sebagai senjata yang tidak layak pakai. Mungkin sedikit tentang mereka, kebanyakan anggota dari tentara perlawanan ini datang dari relawan, karena ketidakbisaan mereka untuk menyewa tentara yang berpengalaman. 

Tentu, mereka mengeksploitasi kebutuhan pokok yaitu roti, untuk menjadi bayaran kepada mereka. Datanglah temanku untuk menjadi anggota karena salah satu anggota keluarganya dirawat oleh petugas kesahatan tentara perlawanan, untuk balas jasa nampaknya. 

Sekitar tiga bulan yang lalu sebelum bertemu Zidan, seseorang memberiku sebuah pekerjaan untuk membawa barang, dengan imbalan yang sangat menarik. Entah mengapa harga besar diberikan hanya untuk membawa sebuah kotak perkakas, jaraknya jauh, dari sebuah desa kecil di pinggiran jantung kota sampai ke sebuah tempat di kota perbatasan. 

Aku bertemu orang itu di jalan saat aku mau pulang ke tempat persembunyianku, orang itu biasanya dipanggil sebagai "Paman", ia menjelaskan bahwa jalan yang biasa dipakainya untuk membawa barang-barang sedang dipantau seseorang, jadi ia membutuhkan kurir yang terlihat tidak mencolok. Aku menerimanya karena imbalan yang cukup besar. Tidak mungkin ada yang salah dengan menerima itu, bukan?

***

Sepotong Roti - A Loaf of BreadWhere stories live. Discover now