Kenangan dalam Angan-Angan

1 1 0
                                    

***

Matahari sudah mulai meredupkan sinarnya, kegelapan hari mulai mengganti keadaan. Tidak terasa setelah aku berkeliling keseluruh bangunan, dari ujung sampai ke ujung, hari mulai gelap. Aku tidak bisa keluar di malam hari, banyak yang mengatakan malam lebih berbahaya ketimbang waktu disaat matahari masih bersinar. 

Aku pernah kehilangan seorang teman karena dia nekat pergi di tengah malam, dia pulang dengan keadaan tidak utuh. Itu menjadi nasihat untukku, supaya jangan pulang malam kalau tidak mau pulang dengan bagian satu-per-satu. Sudut bangunan di kantor administrasi menjadi tempat untukku beristirahat. 

Dinding yang kelihatan masih kokoh, atap yang masih berfungsi, dan ada pintu yang menghalangi antara aku dan mereka. Dilihat dari lokasinya, kemungkinanku untuk diketahui orang lain saat aku tertidur tidak terlalu buruk. Sahabatku, sebuah linggis kuletak disampingku, tanganku memeluk kedua kakiku untuk menghindari gigitan udara malam, berdoa supaya esok hari aku dapat hidup, dan perlahan-lahan penglihatanku sudah mulai, mulai menghitam. Tanpa sadar kedua mataku sudah terpejam, dengan perut berbunyi, menuju alam mimpi, pergi dari alam kenyataan.

Mataku perlahan terbuka, tapi pikiranku entah mengapa tidak merasakan apapun. Melihat-lihat apa yang ada di sekelilingku, aku berasumsi bahwa aku berada di sebuah tempat yang besar dan megah. Kusimpulkan setelah melihat tempat itu, seperti sebuah kastil lengkap dengan lampu gantung, karpet merah yang halus, dan tangga melingkar di ruang depan menuju lantai dua tempat ini, seperti di cerita-cerita dongeng yang pernah kubaca. 

Aku mendekati salah satu pintu besar. Kukira pintu itu akan sangat berat, jadi aku mendorongnya dengan kedua tanganku. Aku tersungkur, pintu itu ringan, sangat ringan. Jikalau aku meniup pintu itu, pasti akan terbuka. Sebuah jendela yang sangat besar, lampu gantung yang tersusun di langit-langit, lukisan-lukisan yang terlihat antik, meja yang terbuat dari batu yang bukan main lebarnya dan kursi-kursi yang juga terbuat dari batu tersusun dengan rapi, dugaanku tempat ini adalah ruang makan kastil. 

Di ujung ruangan dekat dengan jendela besar, aku melihat seorang anak kecil dengan pakaian-pakaian yang biasa dipakai mereka. Aku mendekatinya dengan waspada. 

"Halo adek Disana, apa kamu tahu dimana aku berada?" Anak kecil itu tidak membalasku. Tapi aku tidak sedikitpun gentar dengan itu, jadi aku terus mendekatinya dengan perlahan-lahan dan terus memanggilnya. 

"Dek, jawab panggilan abang lah, abang belum makan jadi lemas manggilnya." Keluhku dengan perut berteriak meramaikan suasana. Beberapa meter darinya, aku merasakan sesuatu yang familiar dengannya. Aku menepuk pundaknya, dan membalikan badannya.

"Tidak mungkin..."

Anak kecil tadi berbalik, tatapannya seolah sedang bersedih, wajahnya bergelimang air mata, dan kedua tangannya mengusap-usap wajahnya yang basah. Ia melihatku. Melihat tepat di mataku. Ia berhenti menangis, tapi masih dengan terisak-isak membalas panggilanku. "Abang? Kenapa abang disini?" Suara familiar, sangat familiar di telingaku. Suara yang kudengar sekitar tiga tahun yang lalu saat kehidupan masih berpihak denganku. 

Benar, suara adikku. Pakaian yang ia kenakan mirip sekali dengan pakaian yang dikenakannya beberapa tahun yang lalu. "Kenapa abang terkejut? Apa abang menikmati hidup?" Tanya anak kecil yang mirip sekali dengan adikku itu. Ia mendekatiku dan meletakan kedua telapak tangannya di pipiku. 

Aku masih terdiam, semua perasaan teraduk-aduk layaknya puting beliung, ada rasa senang, dapat melihat adikku tersayang, ada rasa sedih, mengingat masa lalu, ada rasa menyesal, tidak menyelamatkan apa yang terbaik untukku, dan rasa takut itu ada dihadapanku sekarang.

"Laila? Apa itu kamu, benar-benar kamu?"

Ia mengangguk dan memelukku dengan erat, pelukan hangat yang menenangkan jiwa, entah mengapa membuatku menitikkan air mata. Aku juga membalas pelukannya. Rasa rindu adalah musuh terbesar orang yang kesepian, mungkin? 

Beberapa saat, pintu kastil yang ada dibelakangku terbuka lebar, dan terdengar langkah kaki yang seperti menuju ke arahku, langkah yang cukup banyak, lebih dari satu orang tentunya. Hawa dibelakangku terasa hangat, mendebarkan, sama seperti saat melihat adikku. 

Aku menolehkan kepalaku kebelakang. Tentu saja aku terkejut siapa yang akan datang dari pintu itu. Dengan pakaian lokal, satu menggunakan pakaian seperti orang kantoran dengan warna kontras putih dengan hitam dan yang satunya lagi menggunakan gaun berwarna coklat terang yang cocok dengannya. Yang lainnya mengenakan seragam sekolahku. Ayah dan ibu, serta teman-temanku masuk ke ruangan ini.

"Panji? "

Satu kata. Hanya itu, sudah membuatku kembali merenungkan apa yang terjadi dalam hidupku. Itu adalah ibuku yang berbicara. Aku ingin mengucapkan sesuatu, mulutku sudah siap untuk mengeluarkan unek-unek yang hinggap dalam hatiku. Entah mengapa, pita suaraku mengering, satu patah kata tidak dapat keluar. 

"Itu bukan salahmu nak, kematian kami bukan karena kesalahanmu. Kami tidak bisa lama-lama anakku," jelas ayah, dia berbicara denganku menggunakan nada yang biasa ia gunakan saat ia merasa bersalah.

"jadi kami akan langsung ke intinya saja." Dari mereka, aku melihat salah satu sahabatku juga, yang mengenakan seragam sekolah. 

Namanya Haidar, kalau aku tidak salah, terakhir kali aku bertemunya saat pertempuran terbuka pertama antara perlawanan dengan pemerintah. Ia dan aku waktu itu terjebak di antara pertempuran mereka, kami berusaha lari ke arah tentara pemerintah untuk menyelamatkan diri. Nasib buruk untuk temanku itu, kakinya tersandung dan dirinya hancur oleh proyektil yang mendarat tepat di atas kepalanya. 

Temanku itu mendekatiku dan berlutut. Ia meletakkan tangan kanannya di pundak kiri ku, menatap dengan tatapan sayu. "Panji, kamu tidak bisa begini terus. Jangan terus memandang masa lalu terlalu dalam, kawanku. Masa lalu akan terus menarikmu, dan itu tidak akan berhenti. Jadi kumohon, tidak, kami mohon kepadamu Panji, terus hidup, terus melihat kedepan, kegagalanmu saat lalu adalah kekuatanmu saat ini." Aku masih tidak bisa berbicara, seperti terkunci dengan rantai bergembok. Aku hanya bisa mengangguk, dan hanya memikirkan kembali apa yang terjadi dengan mereka-mereka ini.

"Waktu kami habis," ucapnya melambaikan tangan, "Semoga kamu menyusul kami dalam waktu yang lama, kami mohon berbahagialah". Mulutku kali ini dapat terbuka. "Aku akan selamat! Saksikan aku, Ayah, Ibu, Laila dan Haidar!" Aku berteriak kepada mereka, mengucapkan janji yang tercipta dari penyesalanku. 

Penglihatanku tiba-tiba kembali memudar, memutih layaknya disinari senter saat terciduk masuk ke dalam kelas oleh satpam saat jam malam. Menuju kenyataan yang pahit kembali.

"Aku akan selamat!"

Sepotong Roti - A Loaf of BreadWhere stories live. Discover now