O1. Kara dan dunia

48 10 1
                                    

Dianela Angkara. Beribu ribu terimakasih ia lontarkan kepada sang kuasa. Karena kasih Nya, Kara dapat lulus kuliah di masa muda bahkan ia tidak perlu ke tahap SMP dan langsung masuk ke SMA.

Kara mencintai pekerjaannya sekarang. Menjadi psikolog sudah menjadi pujaan hatinya sejak kecil. Tak terlintas waktu dan pikirannya bahkan disaat nya lelah, Kara memilih untuk mempelajari meditasi mental.

Kara sedang berada di ruang pasien. Kara menghela nafasnya hari ini adalah hari pertamanya bekerja ia harap semua berjalan lancar. Kara menatap pasiennya.

Laki-laki dengan status pasien itu menatap Kara dengan heran, mengapa perempuan didepannya tidak melakukan tindakan apapun?

"Kamu dokter? " Tanya lelaki itu.

Javeska Deon, lelaki yang terkena penyakit mental. Riwayatnya tidak ada penyakit apapun hanya saja mental nya terganggu karena dirinya sendiri.

Kara menoleh, "ah iya saya dokter disini" Jawab nya ramah.

"Kalau begitu lakukan sesuatu Dokter Dianela Angkara" Deon membaca pin nama pada baju Kara.

"Maaf ini kali pertama saya bekerja, mohon bantuannya dan apabila saya ada salah saya minta maaf" Jawabnya seraya tersenyum.

Deon mengangguk paham.

Kara membuka suaranya. "Kamu punya riwayat penyakit dalam? " Tanya Kara.

"Tidak, saya sehat" Kata Deon dingin.

"Kamu bercanda? Sehat itu definisi semuanya baik fisik, jiwa raga dan hati semuanya baik dalam kondisi yang memungkinkan untuk beraktivitas"

Kara melanjutkan perkataannya. "Mungkin kamu bisa terlihat baik baik saja Javeska Deon, tapi saya bisa melihat diri kamu lebih dalam"

Deon tersenyum miring. "Kamu sama seperti orang lain dokter Angkara. Mencoba memahami saya lebih dalam tapi nyatanya hanya saya sendiri yang mampu menyelami nya"

"Kamu tidak salah, bagaimana kalau kita berteman? " Tawarnya.

Kara berfikir jika Deon dapat diajak bicara dengan baik tanpa mengutamakan keangkuhan nya pasti pengobatan nya akan cepat selesai.

"Saya tidak percaya teman" Balasnya.

Kara menghela nafasnya dalam, pasien pertamanya dan sudah membuat nya geleng-geleng kepala. "Kamu menginginkan sesuatu? "

"Iya, kamu terlihat lebih muda dari saya Dokter Angkara. Berapa usia mu? " Deon penasaran.

Kara memiliki setidaknya bentuk wajah yang cantik, tingkah lakunya yang anggun namun tak dapat dipungkiri bahwa dia juga seseorang yang keras kepala dan tegas.

"Usia? Saya usia 20 tahun" Tuturnya.

"Jangan menggunakan bahasa formal Angkara. Usia mu masih muda bahkan sangat muda sekali untuk menjadi psikolog, gunakan kata aku-kamu. Kamu ingin berteman kan"

Kara mengkerutkan dahinya. "Kamu tidak sopan Deon, lupakan tentang usia. Saya hanya ingin membantu kamu" Kata Kara.

Deon mengangguk. "Iya tentu, dan bukan kah pelayanan rumah sakit ini membuat pasien nyaman?"

"Tentu, ada apa? " Kara tak berhenti terheran heran dengan Deon, tingkah lakunya sama seperti sang Ayah. Deon selalu berfikir lebih dalam sebelum Kara memikirkan nya.

"Lalu bagaimana dengan menggunakan kata aku-kamu sebagai ganti bahasa formal mu itu, sungguh aku tidak nyaman Dokter Angkara"

Deon adalah pasien yang berbeda selama ini rasa kekhawatiran nya sudah terjawab, ia tak perlu takut datang ke psikolog. Obatnya sudah didepannya.

"Bagaimana? " Deon membuyarkan lamunan Kara.


"Tentu, kalau begitu panggil aku Kara atau Angkara sesuka hatimu. Sekarang ceritakan semua yang ingin kamu sampaikan" Kara membalas nya.

"Kara namamu cantik seperti rupa mu, maaf karena sudah lancang dan tidak sopan. Kamu bisa mengenal ku sebagai Deon usiaku 22 tahun, 2 tahun melangkahi mu"

Kara menyimak dengan baik.

"5 tahun lalu aku masih menjadi aku Kara.. Tapi sekarang entah dimana seorang Javeska Deon itu yang berani yang kuat dan murah senyum"

"Kamu tahu rasanya kehilangan? " Tanya Deon.

Kara menatapnya. "Aku selalu merasakan itu Deon"

"Tentu, itu yang aku rasakan. Kara percayalah aku sendiri tak pernah bercerita tentang kehidupan ku pada orang lain selain kamu, bahkan aku tak pernah percaya pada diriku sendiri" Deon menelan ludahnya. Pahit itu masih terasa jelas di lidahnya.

"Kamu percaya dengan pernikahan dan keluarga? " Deon menyuarakan isi hatinya.

Dengan hati hati Kara menjawabnya. "Aku percaya, bagaimana denganmu Deon? "

"Aku percaya, tapi mereka tidak percaya aku? " Deon kembali menunduk.

"Kamu bisa kembali bercerita, minum lah ini" Kara menyuguhkan segelas air putih.

Air putih tidak hanya membawa mineral yang dibutuhkan untuk tubuh, melainkan juga oksigen yang bisa membantu jantung berdetak lebih lambat. Sehingga air putih jika diberikan kepada orang yang emosinya naik atau tidak stabil, dapat membantu menenangkan emosinya menjadi lebih stabil.

"Orang tua ku bercerai, mereka selalu bertengkar. Keluarga ku tak lagi utuh lihatlah sekarang, aku hanya bisa menikmati hidup ku sendirian"

Deon kembali meneguk segelas air itu.

"Aku trauma suara pecahan kaca" Ucapnya untuk terakhir kali.

"Aku mengerti, mungkin aku sendiri tidak dapat mengerti sebaik kamu mengekspresikan diri. Tetapi tetaplah pada dirimu sekarang Deon" Kara memegang tangan Deon.

"Kamu harus lebih sering mendengar detak jantungmu sendiri, kamu hidup. Masih dalam naungan alam, tinggalkan yang lalu. Aku tahu itu tidaklah mudah, semua kunci ada padamu Deon"

Kara meyakinkan Deon, mata mereka bertemu. Deon mengusap kembali tangan Kara, nadinya menemukan nadi Kara. Benar, disitu lah semuanya berdetak beraturan.

"Angkara" Panggil Deon dengan lembut.

Kara menoleh.

"Terimakasih sudah mengerti, aku hanya percaya kamu. Ini kali pertamanya aku bercerita kepada orang lain"

"Ini juga kali pertamaku mendengar kan cerita orang lain secara dalam dengan hati" Kara tersenyum.

"Kamu cantik Angkara, aku akan kembali lagi. Ingatlah aku sebagai sepatah 'Tulang' terimakasih lagi untuk hari ini, semoga karirmu semakin baik" Deon meninggalkan ruangan itu.

Tak percaya apa yang dilakukan nya, namun apakah ini yang dinamakan bersikap 'professional'? Entahlah Kara yakin Deon akan kembali.

"Terimakasih kembali Deon" Kara mencintai.

Mencintai dirinya sendiri, ia tak akan pernah lupa tentang 'Tulang' dan hidup. Deon menjadi awal baginya. Ia akan lebih berani menunjukkan dirinya sendiri.

Sebagai Dokter Angkara.






***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SANG ANGKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang