"Kau ini gimana sih Nur, masa gitu aja gak bisa. Dasar lemah! Udah sana, biar ini aku yang kerjakan," pekik Arina dengan suara yang lantang tepat di depan wajah gadis berwajah lugu, yang bernama Nur. Tangannya dengan cepat merebut gagang sapu yang sedari tadi Nur pegang.Karena tubuh Nur yang terbilang cukup kecil di bandingkan dengan anak yang lain, Nur pun memilih untuk mengalah. Ia mengambil langkah mundur sembari menyerahkan gagang sapu tersebut. Matanya tampak sayu ketika melihat semua orang yang memandangnya dengan sinis.
Sesak di dalam hati sungguh tak dapat di tahan lagi. Hingga membuat air matanya kembali jatuh menyeluruh membasahi pipi.
Arina tersenyum mengejek melihat Nur yang kembali meneteskan air mata. "Hughh, gitu aja nangis," sinis Arina melenggang pergi.
Mak Sundari yang kebetulan menjadi pengawas anak-anak yang sedang piket saat ini, tentu saja langsung terkejut. Ketika matanya melihat salah satu anak muridnya menangis di tempat parkiran.
Cepat-cepat wanita tua itu mengambil langkah mendekati Nur. Tangannya merangkul lembut pundak Nur sambil berkata, "Nur... Kamu kenapa? Kenapa nangis di sini? Ada apa, Nur?"
Nur hanya menggeleng pelan. Gadis itu benar-benar merasa takut, jika ia menjawab semua pertanyaan itu, pastilah Arina akan mengamuk padanya nanti.
Mak Sundari yang memang guru paling dekat dengan Nur dan mengerti akan tingkah laku gadis itu, hanya bisa berkata, "Ya sudah. Sebentar lagi pelajaran akan di mulai sebaiknya kamu masuk sekarang ke dalam kelas."
Nur mendongakkan kepalanya menatap wajah Mak Sundari penuh tanya. "Piket nya gimana, Mak?" tanya Nur tersendat-sendat.
"Urusan itu gak usah kamu pikirkan, yang terpenting sekarang kamu masuk ke dalam kelas. Pagi ini pelajaran Pak Bakar, kan?"
Nur mengangguk pelan. "Iya, Mak!"
"Ya sudah sana masuk, kalau telat nanti kamu kena marah sama Pak Bakar lagi," suruh Mak Sundari sambil tersenyum hangat dan mengelus pucuk kepala Nur dengan lembut.
Setelah mendengar perintah tersebut, Nur segera mengambil langkah cepat sembari sesekali menghapus jejak air mata yang masih mengalir di pipi.
Dari jauh, Arina mengintip keberadaan Nur dengan tatapan mata tak suka dan penuh kebencian. Ia berdecak kesal tak kalah melihat kedekatan Mak Sundari dengan orang yang paling dia benci di kelas.
"Hisshh... Gak ada kapok-kapoknya orang itu!"
....
Lima tahun kemudian...
Nur tersenyum tipis melihat pantulan dirinya yang sudah sangat rapi untuk pergi kerja. Walaupun penampilan dirinya sudah sangat rapi, tapi di dalam hatinya sebenarnya tampak kacau. Namun Nur memilih untuk tetap kuat tegar di dalam senyuman tipis itu.
"Nur... Ini sudah jam setengah tujuh. Mau sampai kapan kau dandan di kamar? Kau gak takut telat apa?"
Mendengar suara sang Ibu yang sudah berteriak heboh, Nur memilih cepat-cepat untuk keluar dari kamar.
"Iya iya sabar, Bu! Ini juga lagi jalan," balas Nur tak kalah heboh.
Saat tiba di ambang pintu depan, dengan jelas Nur melihat sang Ibu yang sudah berkacak pinggang sembari menatap tajam ke arahnya. "Makanya kalau jalan itu cepat."
"Nur gak bisa jalan cepat-cepat, Bu. Kaki Nur kan pendek, kayak Ibu." Nur tersenyum jahil karena sudah berhasil menggoda sang Ibu.
"Kamu ini, jangan buat kepala Ibu semakin sakit. Udah sana, berangkat!"
Nur mengangguk lalu mencium punggung tangan sang Ibu dengan hormat. "Doakan Nur ya, Bu. Mudah-mudahan kali ini Nur bisa di terima kerja."
"Aamiin, doa Ibu untuk kamu itu selalu mengalir gak pernah ada kata putus."
KAMU SEDANG MEMBACA
BAYANGKU TAK SEPERTI HARAPKU
Teen FictionHidup dalam kesederhanaan membuat Nur menjadi pribadi yang kurang sempurna. Kurang dalam pergaulan, kurang dalam ilmu agama, dan masih banyak lagi kekurangan yang tak bisa di jabarkan satu persatu. Banyaknya kekurangan dalam hidup Nur, membuat dirin...