01

793 128 6
                                    

"Ra, gue butuh obat lo."

"Lagi?"

"Hum."

"Oke, aku udah di jalan."

Tutt.

Panggilan itu terputus secara sepihak, seorang laki-laki yang baru saja telfonan bersama orang yang ia sebut "Ra" tadi. Dia melihat seluruh kamarnya yang sudah terlihat kacau, barang-barangnya yang teratur menjadi berantakan.

5 menit kemudian, suara mobil terdengar. Laki-laki itu menoleh ke arah luar balkon kamarnya, terlihat seorang gadis keluar dari mobil Honda Civic yang berwarna putih. Saat melihat gadis itu masuk ke dalam rumahnya, laki-laki itu melihat ke arah pintu menunggu gadis itu masuk ke dalam kamarnya.

Pintu kamar terbuka memperlihatkan seorang gadis yang sepertinya yang di sebut "Ra" oleh laki-laki itu. Karena gadis itu memegang sebuah kotak P3K. Apakah itu yang di maksud obat oleh laki-laki itu?

Gadis yang di sebut Ra atau Azora Ailenn Harlan. meringis kala melihat kamar laki-laki itu yang sudah seperti kapal pecah. Barang-barang yang berserakan serta serpihan kaca. Dia melirik sebuah kaca rias yang sudah retak.

Ara menghela nafasnya saat menatap laki-laki yang duduk di kursi samping balkonnya, dia meringis lagi saat melihat tangan kanan laki-laki itu terluka, dia membiarkan darahnya mengalir membuat lantai di bawahnya di penuhi darah. Sedangkan laki-laki utu hanya tersenyum lebar bahkan terpampang gummy smilenya kala Ara memperhatikan seluruh tubuhnya.

"Jangan jalan dulu." laki-laki itu menghentikan langkah Ara yang akan berjalan ke arahnya. Dia mengambil sepasang sandal dan berjalan mendekati Ara.

"Pake, gue gak mau kaki lo luka." ucap laki-laki itu, dia kembali berjalan menuju balkon di ikuti Ara yang sudah memakai sandal itu. Dia tidak mau melihat kaki sang kekasih terluka karena pecahan kaca yang berserahkan. Sedangkan dirinya? Dia hanya acuh dengan pecahan kaca yang sudah melukai kakinya sejak berjalan ke Ara tadi.

"Kalo gak mau aku luka, gak usah pecahin kaca lagi Chik." Ara menarik tangan laki-laki itu menuju balkon lalu mendudukinya di kursi yang ada di situ.

"Hum, gak janji." Chik, atau Chiko Aldarich Pratama. Membalas ucapan Ara.

"Kaki kamu keinjek beling." ucap Ara melihat darah di lantai yang Chiko lewati.

"Obatin."

Ara membuka kotak P3K dan mengobati luka Chiko yang di kaki terlebih dahulu lalu tangan kanan laki-laki itu. Dia dengan taletan mengobati Chiko, sesekali ia bertanya jika sakit. Namun respon Chiko hanya menggelengkan kepalanya.

Chiko yang sedang menatap lekat kepada Ara yang mengobatinya terkejut ketika melihat air bening yang terjatuh di tangannya. Ara yang memang sedari tadi menahan air matanya tidak jatuh pun menghela nafas pelan, pasti Chiko melihatnya.

"Jangan nangis." Chiko menangkup wajah Ara setelah gadis itu memasang perban di tangannya.

"Maaf." ucap Chiko sedangkan Ara enggan menatap laki-laki di depannya, dia mengalihkan pandangannya dan menahan air mata yang akan terjatuh.

"Raa." sedetik kemudian tangisannya pecah, dadanya terasa sesak melihat Chiko yang selalu menyakiti dirinya sendiri. dia memeluk Chiko, menangis di dada bidang laki-laki itu.

Dada Chiko ikut sesak mendengar tangisan Ara "Gue mohon jangan nangis karna gue."

"Jangan lakuin yang buat kamu luka Chik, aku mohon." sekarang Ara yang memohon kepadanya.

"Maaf, gue gak bisa janji." Chiko menghela nafasnya saat merasakan pelukan Ara yang semakin erat, Chiko tau gadis itu kesal kepadanya.

"Please, udah ya nangisnya." Chiko menarik wajah Ara untuk menatapnya lalu mengusap air mata di pipi gadis itu

"Lucu banget hidungnya merah gitu." Dia mencolek hidung mancung Ara yang memerah sehabis menangis.

"Aaaaaa, Chikooo." gadis itu merengek sedangkan Chiko terkekeh melihatnya.

"Haha, becanda sayang." Chiko mengambil tisu yang ada di kotak P3K itu. "Abis hidung merah, pipinya juga merah ya Ra?".

Bagaimana tidak merah? Ara mendengar kata sayang dari Chiko membuat pipinya merah merona sebab laki-laki itu jarang memanggil Ara dengan kata sayang.

"Ishh, Chiko mahh jangan usil atuhh." dia memukul lengan Chiko pelan. Laki-laki itu malah tertawa karena telah berhasil menjahili gadisnya.

"Ayo buang ingusnya cil, udah numpuk tuh." Chiko memberi tisu itu kepada Ara. Dia mengambilnya dengan wajah cemberut.

Sroottt... Sroottt....

"Buangin." Chiko mengambil tisu itu dan membuangnya di tempat sampah.

"Kamu gak jijik?" Ara menatap Chiko kaget dan di jawab gelengan oleh Chiko, dia menarik Ara untuk duduk di pangkuannya.

Ara mengelus wajah Chiko yang terlihat lebam, dia menatap Chiko sendu. Laki-laki itu tersenyum sambil menikmati elusan Ara di pipinya.

"Kenapa melukai diri kamu sendiri lagi?".

"Gak papa." dia memejamkan matanya.

"Chiko Aldarich... Jawab aku." tekan Ara, ia menatap Chiko datar yang tidak akan membuat laki-laki itu takut.

"Utututuu gemes banget mukanya gitu." Dia malah mencubit kedua pipi gembul gadis itu.

"Chikoooo, aku serius ihh."

"Gue capek Ra, Gue capek sama hidup gue. Gue pengen hidup kayak orang lain, punya keluarga yang harmonis. Sedangkan gue? Gue apa Ra, gue anak broken home yang udah dari kecil ngerasain itu. Gak pernah ngerasain kasih sayang dari Papa semenjak Mama pergi. Dan Papa selalu nuntut buat gue kerja ngurusin kantor, gue capek Ra, gue capek." ucap Chiko matanya sudah berkaca-kaca menahan tangis.

Ara yang mendengar keluh kesah Chiko pun ikut menangis, dia langsung memeluk laki-laki itu lagi membuat tangisan Chiko tertumpah di bahunya. bukan sekali ini dia melihat laki-laki itu menangis.

I Need YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang