☆Bukan Jalan Pulang☆
Siapa yang dapat menjadi tempat pulangmu, Lava?
Ketiga adik tampanku.
"Nggak perlu kejar-kejaran untuk membuktikan siapa yang salah, karena sekarang kita nggak punya siapa-siapa selain punya satu sama lain."
"Hidup itu hanya sekali, tak bertahan lama, nggak melulu soal apa yang dimau. Kalau jalannya salah, jangan maju. Cari tempat dan jalan pulang sebenarnya."
"Lava, Arsya, Setya, Atha, dan jalan pulang. Sekiranya kalau kita bukan jalan pulang masing-masing, silakan pilih jalan pulang sendiri, jalan pulang yang mampu menjadi obat dari semua luka."
"Rumah pulangku ada di mana?"
"Nanti sebelum dewasa, kita pergi ke Banda Neira bareng, ya? Sama Ayah, Ibu, Lava, Arsya, Setya, dan si bungsu kita, Atha."
"Namun, sebelum waktunya, Ayah lebih dulu meninggalkan kita. Ibu dengan dunia barunya, sementara kita cuma punya satu sama lain. Jadi anak perempuan satu-satunya dan anak pertama bukan hal yang mudah. Bantu kakak untuk tetap kuat, ya?"
☆Bukan Jalan Pulang☆
"Lavanya...! congrats on the title! you are getting prettier, and I pray that your dream of becoming a designer will come true soon!!"
"Thank you, Laurent. Congratulations on your title too," jawab Lavanya sembari memeluk sahabatnya.
Laurent Anvabel, gadis asal Inggris yang ia kenal sejak masuk Universitas Cambridge, Inggris. Sekitar 3 tahun yang lalu. Hari ini, Nitya Lavanya dinyatakan sebagai sarjana ekonomi S1 atau di Inggris lebih di kenal dengan B.Bus ( Bachelor of Business (Bisnis)).
Sebenarnya, cita-cita Lavanya sedari kecil adalah menjadi perancang busana sama seperti mendiang neneknya. Namun, Lavanya dipaksa oleh sang Ibunda untuk mengambil bisnis. Demi menyenangkan hati Ibunya, Lavanya rela mengubur mimpinya itu. Sekarang yang ada bersamanya hanya Ibu.
"Are you going back to Indonesia?" tanya Laurent lagi. Kali ini pelukan dilepaskan.
"I don't know, but it looks like I'm going to continue S2 here."
Selesai berbincang dengan Laurent dan teman sebayanya, Lavanya bergegas menghampiri Ibunya dan Kevan yang telah berdiri di pinggir lapangan luas tempat dilaksanakan wisuda.
"Congralulations, Beib." Kevan langsung menghadiahkan dekapan hangat untuk sang kekasih.
"Makasih, Van."
"For you." Lelaki itu menyerahkan seikat bunga daisy dan beberapa hadiah kecil seperti bingkisan yang entah apa isinya.
Lavanya melepaskan pelukan Kevan dan sedikit mendorong tubuh tinggi lelaki itu. "Udah aku bilang nggak perlu ngasih hadiah."
"Harus dong, ini salah satu hari terspecial kamu, sayang," ujar Kevan pasti. Kevan tak mau hadir dengan tangan kosong ke wisuda kekasihnya.
"Sekali lagi makasih, Van." Lavanya mendekatkan bibirnya ke pipi sebelah kanan Kevan dan menciumnya sebentar.
Atensi Lavanya beralih pada Sofia-Ibunya. Mata Sofia jelas sekali menandakan haru. Ia tak pernah menyangka putrinya tumbuh dewasa secepat ini dan kini telah menyelesaikan pendidikan. Dari usia 17 tahun, Sofia membawa putri satu-satunya itu ke Inggris dan menetap di sana.
"Perjuangan Ibu selama ini nggak sia-sia untuk membesarkan kamu, Lava. Selamat atas kesuksesannya. Kamu harus jadi anak yang sukses di bidang bisnis."
Andai Ibunya tahu kalau Lavanya tidak senang berada di dunianya saat ini. Ia ingin menjadi dirinya sendiri dan menggapai semua mimpinya yang telah lama tenggelam.
Semua perkata di otak tak sempat terucap, ia hanya tersenyum lebar seraya menggenggam kedua tangan Sofia.
Keadaan hening menyelimuti ketiga manusia yang sibuk dalam pikiran masing-masing. Kevan mendekat lebih maju ke arah Lavanya berada. Lelaki itu merogoh sesuatu dari saku celana hitamnya. Tampak sebuah ring box berwarna putih namun bening di atasnya, terlihat jelas satu cincin di dalamnya.
Kevan membungkuk, lalu menyodorkan ring box tersebut pada Lavanya.
"Will you marry me?"
Lavanya membekap mulutnya, kaget. Tangan kanannya sudah berada di genggaman Kevan sejak dua detik yang lalu. Tatapan kekasihnya itu sangat tulus dimata Lavanya. Ia begitu mencintai Kevan.
Jawaban hampir terlontar dari mulut Lavanya. Tetapi, suara dering ponsel di tas-nya mengagetkan Lavanya.
"Bentar, Van." Lavanya melepaskan tangannya dari Kevan. Ia mengambil tas nya yang berada pada Sofia, lalu mencari asal suara dari ponselnya.
Arsyanendra Dipta
Tertera nama yang tak asing baginya.
"Halo, Arsya?"
"....."
"Kenapa? Kenapa suara kamu serak? Itu yang nangis Atha? Kalian kenapa, Arsya? Jawab kak Lava!" Intonasi Lava sedikit membentak. Ia khawatir dan bingung apa yang terjadi pada adik-adiknya di Indonesia.
"......"
Perkataan Arsya membuat Lavanya lemah. Seketika tatapan mata wanita itu kosong. Tiba-tiba Lavanya terduduk di tanah. Ponselnya terjatuh tapi tidak ia pedulikan. Lavanya menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis dalam diam.
Sofia yang tak tahu apa-apa ikut membungkuk, mensejajarkan tubuhnya. Ibunya itu menyentuh bahu Lavanya. "Ada apa, Lava? Apa yang dikatakan Arsya?" desak Sofia.
Tak menjawab hingga semenit lebih.
Setelah mulai tenang, Lavanya menjawab pertanyaan Ibunya tadi. "Ayah meninggal, Bu. Ayah Lava yang sudah tidak Lava temui selama lima tahun. Ayah yang tidak pernah lagi Lava tatap secara langsung karena saat Lava ingin menemui Ayah, Ibu selalu melarang. Sekarang, Ayah udah nggak ada, apa Ibu bakalan nggak ngizinin Lava lagi untuk bertemu Ayah untuk terakhir kalinya?"
☆Bukan Jalan Pulang☆
Selamat bersenang-senang bersama mereka...
Bagaimana di bagian pertama yang berjudul prolog ini? Sudah bisa menebak jalam ceritanya akan semenyenangkan apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Jalan Pulang
Novela JuvenilLavanya tidak tahu ke mana arah jalan pulang. Sejak kecil ia sudah disuruh memilih antara Ayah atau Ibu, padahal sebenarnya bukan itu yang Lavanya mau. Sejak Ayah-Ibunya berpisah, Lavanya ikut sang Ibu ke negeri orang. Sementara ketiga adik lelakin...