Bagian 3

2 1 0
                                    

.
.
.
“Pagi, Alisa.”

Suara riang itu menyapaku tiba-tiba. Aku langsung beralih dari buku yang aku baca dan melihat sang pemilik suara.

Ternyata dia.

Dia tidak pindah kemanapun, tapi memilih untuk tetap disampingku. Wajahnya yang polos dan tatapannya yang lembut membuatku bertanya yang kesekian kalinya.

Mengapa?

Bel yang berbunyi lantang menyita perhatianku darinya. Aku mengeluarkan buku ketika aku melihat seorang guru yang masuk ke kelas. Dia langsung saja menjelaskan apa yang menjadi andalannya.

Kali ini aku tidak tertarik lagi. Aku melakukan hal yang biasa aku lakukan. Menatap langit diluar jendela. Hari ini matahari bersinar cerah dan hanya ada sedikit awan yang menemaninya. Tiba-tiba tanganku disentuh sesuatu. Aku menoleh. Ternyata ada sebuah buku yang bertuliskan sesuatu diatasnya.

Sepertinya hari ini hujan tidak akan turun..

Sedikit kekaguman mulai melanda hatiku. Dia bisa menebak isi kepalaku hanya dalam satu hari. Tapi aku tidak memperdulikan kata-kata yang Fero tulis.

Aku kembali menatap langit, dan berharap hujan akan turun hari ini. Tidak lama kemudian catatan itu kembali menyentuh tanganku.

Kamu suka hujan?

Kali ini aku tertarik dengan pertanyaannya. Aku mengambil pensil dan menuliskan sesuatu dibawah pertanyaan itu hingga kami terlibat percakapan diatas kertas secara geriliya dari sang guru.

Bukan suka, tapi iri.

Mengapa iri pada hujan?

Karena hujan tidak pernah sendirian..

Sekarang kamu tidak perlu merasa sendirian karena sudah ada aku disini.

Aku terpaku dengan jawabannya yang terakhir. Aku bahkan tidak mengerti apa maksudnya. Aku terus tidak bergerak, lalu Fero mengambil buku itu dan menulis kembali.

Mulai sekarang kita berteman…

Aku tersentak setelah dia memberikan buku itu, dengan senyum manis melengkung di wajahnya.

Teman?

Aku segera menoleh dan mencari arti semua ini. Aku melihatnya masih tersenyum manis, menembus mencari jawaban dibalik tatapannya yang sama seperti sebelumnya. Tatapan yang hanya dimiliki olehnya. Satu-satunya tatapan yang tidak pernah aku lihat. Seperti itukah yang disebut ketulusan? Inikah yang disebut pertemanan?

Fero.

Dia orang pertama yang membuatku tidak bisa berbuat apa-apa. Dia satu-satunya orang yang mengakuiku sebagai teman. Seseorang yang selama ini tidak pernah aku miliki. Dia orang yang telah membuatku percaya padanya. Dan dia adalah orang yang telah menciptakan kebahagian untukku.

Seperti yang Fero bilang. Teman. Beberapa waktu berlalu. Kami sering menghabiskan waktu bersama sebagai teman, seperti mengerjakan tugas, belajar, bahkan ke kantin. Tempat yang tidak pernah aku kunjungi sebelumnya. Bahkan sekarang dia tahu segalanya tentangku. Orang-orang di sekolahku menjadi bingung karena akhirnya aku memiliki teman. Dan hanya Fero yang melakukannya. Aku tidak peduli pada yang lain, yang selama ini menganggapku sampah.

Suatu hari Fero mengajakku ke suatu tempat yang mengejutkan. Taman hiburan. Tempat yang biasa dikunjungi oleh anak kecil bersama orang tuanya. Aku tidak pernah melakukan itu. Tapi aku disana, bersama Fero. Kami mencoba semua wahana yang ada disana. Tidak peduli walaupun kami satu-satunya anak SMA diantara anak-anak kecil. Kami melepas tawa dan berbagi kebahagiaan.

Hingga akhirnya sore menjelang. Kami duduk di salah satu kursi taman yang ada disana untuk menghilangkan penat.

Aku menatap langit diatas kepalaku. Awan hitam mengepul tebal dan menjatuhkan airnya secara beramai-ramai. Kami tetap duduk dan memilih untuk tidak meneduh.

Aku melihat Fero yang sedang terpejam sambil merasakan air segar yang membasahi wajahnya. Aku pun ikut memejamkan mata. Kali ini keheningan tidak datang, dan tidak akan pernah datang lagi, yang ada hanyalah kebahagian yang telah aku dapatkan. Suara tawa Fero dan kenangan yang telah kami ukir bersama memenuhi memori dalam otakku. Kenangan itu akan muncul setiap aku terpejam.

Keheningan benar-benar pergi.

Tidak ada lagi keheningan disaat hujan turun…
.
.
.
.
.
.
.
.
-THE END-

Keheningan dalam HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang