2023 - Juli

24 1 0
                                        

'Banyak hal yang patut disyukuri daripada terus memikirkan apa yang belum waktunya dimiliki.'

-Skala, 2023



***

Waktu semakin berlalu, aku sudah jadi gadis dewasa. Katanya.

Angin di musim penghujan memang dinginnya bukan main. Suhu pagi ini menginjak 18 derajat celcius. Sangat jarang sekali kota nanas tepatnya di kecamatan yang kutinggali suhunya sampai sedingin ini. Aku yang agak tidak bersahabat dengan air malah makin menjadi. Mungkin, kalau hari ini bukan hari pertamaku mengajar di sekolah, aku tidak akan memanaskan air hanya untuk mandi.

Ibu sedang menyiapkan makan pagi saat aku hampir selesai merias diri. Kerudung bawal hitam kulilit ke atas kepala, tapi tetap menutup dada. Kemeja tunik polos warna putih, dan rok span hitam yang masih longgar terlihat pas ditubuhku. Hari ini aku memutuskan untuk memakai lip cream dengan aroma brown sugar yang warnanya sedikit kecoklatan. Bedak tipis, sedikit blush ikut menempel di wajah ovalku. Olesan maskara ikut mempertegas mataku yang agak sayu. Sempurna, ucapku sambil menyimpan seperangkat alat make up yang ku beli bulan lalu.

"Skala, makan duluu" Teriak ibu dari ruang tamu. "Iyaaa ibu"
"Asiik, rajin banget dah jam segini udah masakin sayur." Iya, biasanya kalau bukan gorengan dan lontong dari abang jualan di depan, ya paling roti tawar. Eh, bersyukur Skala.

"Anak ibu kan hari ini officialy jadi guru. Biar nanti semangat pas masuk kelas, jadi ibu bangun lebih pagi biar kamu makan enak " Jelas ibu sambil menyiapkan makanan.
"Iya deh, emang baik banget punya ibu." Gurauku. "Hepi gak? Hepi lah yaa.." celetuk ibu.

"Kayanya, lebih hepi lagi kalo dimasakin suami ya bu? Dulu kata ayah, ibu sering dimasakin tuh sama ayah." Ocehku.

"Gak salah lagi, La.. ibu kamu tuh dulu manjanya minta ampun." Ayah yang sedang menyimak berita di depan tv menghampiri kami dengan kursi rodanya.

"Btw La, anak temen ibu ada yang mau kenalan sama kamu." Celetuk ibu sambil menyiuk nasi. "Pulang kantor, katanya dia mau mampir ke rumah. Kamu langsung pulang ya, jangan kelayaban dulu." Jelas ibu. Moodku langsung berubah.

"Kalau kamu gak mau bilang ya La, jangan tiba-tiba ngambek." Ungkap ayah si paling hapal anak keduanya ini tidak suka membahas hal itu. "Iya, gimana nanti ajadeh."

Memang tidak mudah ternyata menjadi perempuan dewasa. Bukan hanya dituntut 'sukses' secara finansial, tapi juga dalam segala hal. Mungkin tidak sedikit para tetangga menganggap 'malang' diriku yang seusia ini belum pernah membawa 'laki-laki' ke rumah. Kasarnya 'tidak laku' celetuk mereka.

Dua puluh tiga tahun masih berkutat dengan karir 'sendirian'. Membiayai keluarga, memikirkan masa depan adik, melunasi hutang-hutang masa lalu yang belum sempat terlunasi, biaya makan sehari-hari dan keruwetan duniawi lainnya. Ya, tanggung jawab yang semakin besar, tuntutan standar hidup yang 'katanya' harus juga diikuti.

Padahal aku sendiri tidak merasa se-malang dan se-menyedihkan itu. Aku malah menikmati hari demi hari dihidupku. Bisa membiayai keluarga, bisa melunasi hutang orang tua, bisa menabung secukupnya, dan hidup sederhana bagiku sudah membahagiakan. Aku sama sekali tidak merasa menyedihkan. Banyak hal yang bisa disyukuri daripada harus memikirkan apa yang belum waktunya aku miliki.

***
Ternyata langit pagi ini sedikit mendung. Suasana hatiku juga malah ikut berwana abu mengingat ucapan ibu tadi, tentang anak temannya yang ingin mampir ke rumah untuk berkenalan denganku. Jujur, aku sangat membenci hal itu. Dikenalkan, dijodohkan. Lebih baik aku bertemu seseorang secara alamiah saja. Jika tidak bertemu siapa-siapa, ya mungkin jodohku memang tidak ada di dunia. Di surga mungkin.

After Our Twenty-TwoWhere stories live. Discover now