"Dream! Bermimpilah, dan lakukanlah."
-Skala, 2015
****
2015 - JanuariBaiklah, perkenalkan namaku Skala Rupawan. Aku tidak merasa begitu rupawan meski nama belakangku demikian. Tapi tidak apa-apa, nama adalah sebuah harapan. Siapa tahu aku bisa benar-benar menjadi gadis rupawan saat dewasa nanti.
Meski saat ini keluargaku sangat miris di bidang finansial setelah kebangkrutan bisnis food&beverage milik keluargaku yang sudah dijalankan sejak nenek moyang, aku tidak pernah menurunkan semangatku untuk mewujudkan mimpiku.
I'll always keep my dream on the right track.
Tidak ada yang boleh mengganggu rencana besarku ini, sekalipun itu tentang kebangkrutan bisnis keluargaku. Iya, mimpiku ini sudah kurancang sejak di bangku sekolah dasar. Menjadi penulis sekaligus sutradara yang karyanya diputar di layar lebar seluruh negeri. Entah mengapa aku benar-benar tertarik pada perfilman. Aku benar-benar bisa menonton berbagai genre film sampai terasa masuk ke dalam cerita tersebut. Bukan hanya jatuh cinta pada alurnya, aku pun sangat menyukai bagaimana sinematik indah yang membawa penonton terjebak pada imajinasi ceritanya, alunan musik pengiring yang membuat adegan demi adegan terasa makin hidup, plot twist yang mengaduk-aduk perasaan, bahkan para aktor yang memainkan peran dengan sangat ciamik. Mungkin sebagian anak usiaku ini akan membayangkan bagaimana jika mereka yang menjadi pemeran utama di film tersebut, atau mengubah cita-cita yang awalnya 'dokter' menjadi 'artis' atau 'actor' atau mungkin ada yang menyebutnya 'pemain film'. Namun hal itu berbeda denganku, aku malah jatuh cinta pada bagaimana film tersebut diproses hingga menjadi sebuah karya yang menakjubkan.
Iya, cita-citaku sudah kupatenkan, menjadi seorang produser film. Namun kebangkrutan ini memang sedikit menghawatirkan. Aku tidak bisa memaksa kedua orang tuaku untuk bersekolah di sekolah yang bagus demi diriku sendiri. Masih bisa melanjutkan sekolahpun adalah hal yang patut disyukuri, kata ibu.
Dan di sinilah aku berada. Sekolah negeri yang lokasinya sangat dekat dengan rumahku. Sekolah yang liburnya dua hari dalam satu minggu, yang gurunya sering mengadakan rapat dan murid dibubarkan mendadak, yang terlalu banyak jam kosong sampai aku bisa menyelesaikan berbagai cerita fiksiku bermusim-musim. Bukannya ingin menyombongkan diri, tapi terlalu mudah bagiku menjadi juara kelas jika anak-anak lain terlalu banyak dipersilakan untuk main dan belajar semaunya. Mungkin ini terdengar seperti mencela sekolah sendiri, tapi ya apa boleh buat, memang seperti ini keadaannya. Dan aku bukan tipikal siswa yang berani melakukan demonstrasi atau semacamnya. Aku lebih suka mengambil kesempatan untuk diriku sendiri. Tidak masalah guru tidak datang, aku bisa belajar sendiri dengan tenang ketika anak-anak lain saling menghebohkan gosip terpanas di sekolah. Tidak masalah sekolah dibubarkan secara tiba-tiba, aku bisa pulang dan membantu ibuku di rumah.
Ya, aku juga semakin akrab dengan ketiga sahabat baikku. Kami memiliki prinsip yang sama. Itulah yang membuat persahabatan kami bukan hanya persahabatan biasa, tapi kami saling mendukung untuk hal yang ingin kami capai. Anak-anak lain bilang, kami adalah geng anak pintar sekolah yang tidak bisa diusik keberadaannya. Tidak mudah bagi mereka untuk masuk dan merasa nyaman dengan cara bermain kami. Karena bagi anak-anak lain, kegiatan yang sering kami lakukan terlihat membosankan. Ya, padahal mereka tidak tau, itu salah satu cara kami menolak mereka. Karena kami tidak terlalu suka bergosip, rebutan pria tampan kelas sebelah, atau bahkan mengelabui guru saat jam pelajaran. Menemukan teman sefrekuensi itu tidak mudah, dan menjaga pertemanan juga butuh komitmen kuat.
Ketiga sahabatku adalah orang yang memiliki peran penting dalam hidupku. Ketika aku merasa terpukul dan sedih akan kondisi keluargaku, aku selalu bisa dibuat tersenyum oleh tingkah laku mereka. Ketika aku merasa kesulitan dan menyembunyikan sendiri perasaanku, mereka selalu menenangkan meski solusi-solusi yang diberikan kadang malah membuatku ingin memukul kepalanya satu persatu dengan kasih sayang.
Begitu berartinya mereka buatku. Bukan hanya membuatku nyaman, tapi hadirnya mereka dalam hidupku yang sedang terpuruk adalah sebuah anugerah. Begitupun tentang mimpiku yang hampir gagal. Mereka selalu membuatku bangkit dengan cara mereka sendiri. Mereka adalah orang pertama yang selalu kuperlihatkan cerita-cerita fiksiku setiap harinya. Dan respon dari mereka adalah yang paling membuatku semangat untuk terus melanjutkan ceritaku sampai tamat. Hal ini juga yang membuatku yakin untuk mengikuti kompetisi film antar pelajar terbesar di provinsi.
'Student Short Film Competition 2015
Creativity No Limit!'"Kamu tertarik?" Suara bariton anak laki-laki usia lima belas tahun yang berdiri di sebelah kiriku sambil menatap poster yang terpampang di mading sekolah.
Aku melirik ke arah suara yang cukup familiar ku dengar satu semester ini. Iya, si ketua kelas, Imam.
"Gimana kalo kita jadi tim untuk kompetisi besar ini?" Pertanyaan kedua ia lontarkan karena aku masih saja terdiam sedikit gugup karena ini pertama kalinya kami hanya berbincang berdua.
Iya, meskipun sudah satu semester kebelakang kami di kelas yang sama, rasanya aku tidak pernah menyapanya atau sebaliknya. Aku hanya mengikuti perintahnya sebagai ketua kelas tanpa pernah berbincang apa-apa. Kami juga belum pernah berada di satu kelompok belajar yang sama. Dan lagi, aku tidak tertarik masuk dalam struktur organisasi kelas yang merepotkan. Aku lebih suka melakukan hal-hal yang aku kehendaki.
"Sebagai ketua ekskul videography, kayanya aku akan butuh ketua writing club kalau mau sukses." Jelas Imam sambil merubah arah pandangnya ke arahku.
Iya, daripada menjadi sekretaris atau bendahara kelas aku lebih senang membangun club menulis sendiri di sekolah. Siapasangka banyak adik kelas yang mendaftar ke club yang kudirikan atas izin kepala sekolah satu semester lalu. Tentunya, atas dukungan ketiga sahabatku, aku semakin percaya diri mendirikan club ini.
Dream Writing Club, mengajak anak-anak di sekolahku yang suka membaca buku, suka bermimpi, suka berimajinasi, dan suka menulis untuk sama-sama menciptakan satu karya sebelum lulus. Hal ini akan menjadi kenangan istimewa bagi alumni, sekolah, dan generasi selanjutnya dengan satu karya yang disimpan di perpustakaan. Selain itu, bahkan aku bercita-cita bisa menerbitkan salah satu cerita kami di penerbitan besar di Indonesia.
Iya, Dream.
Bermimpilah, dan lakukanlah."Oke!" Jawabku yakin.
"Deal!" Kami berjabatan tangan. Untuk pertama kalinya aku membiarkan diriku bergaul dengan lawan jenis di sekolah. Iya, dengan Imam.
****

YOU ARE READING
After Our Twenty-Two
Novela JuvenilAda maksudnya Tuhan menghadirkan seseorang dalam hidup kita. Ada yang ditugaskan mewarnai, sekedar memberi pelajaran, atau hadir untuk menyakiti. Karena dari rasa sakit, kita tau caranya sembuh dan bangkit. -Skala, 2023