G1

2 0 0
                                    

Terlalu banyak goresan yang terukir


Gadis cantik yang tengah meringkuk, memeluk kedua lututnya tengah berdiam diri di samping gundukan tanah. Hujan lebat yang kini tengah mengguyur tubuhnya, serta angin yang menerpa memasuki pori-pori kulit, namun tak di hiraukan.

Ia Glora, terduduk lemah di samping batu nisan yang bertuliskan nama Arumi.

Arumi, ibunda dari dua bersaudara, termasuk Glora. Telah meninggalkan untuknya berjuang, karena sudah tau akan kepastian.

5 tahun yang lalu, dimana Glora sangat hancur dengan dunianya, hatinya, jiwanya. Satu-satunya orang yang berada dalam dekapan kehidupan, pergi untuk sekamanya. Membiarkan gadis lemah ini, mengenal dunia luar, yang membuatnya keras akan menjalani kehidupan.

"Ma, coba hitung berapa kali aku nangis?" tanyanya sambil terus mengusap wajah yang terus terkena jejatuhan air hujan.

Langit pun seakan tau. Masalah pada setiap orang itu sudah pasti ada. Namun, yang bisa bertahan itu jarang. Kerasnya kehidupan yang membuat keadaan menjadi lebih rumit, seperti teka-teki yang tiada henti meskipun belum terjawab sampai kini.

Ia tersenyum kecil. "Mama masih inget engga? dulu, Papa, kak Kiran dan Aku. Keluarga kita itu selalu di gosipin tetangga, kalo keluarga kita itu paling harmonis," Glora menarik nafas, lalu membuangnya pelan, "Mama yang suka bawel tiap pagi, yang suka ceramahin Papa, Kak kiran, bahkan Aku. I miss you, Ma."

"Aku lemah, enggak bisa bertahan lagi. Glora mau nyerah, mau ikut Mama aja boleh? Papa sama kak Kiran udah enggak sayang Glora, lagi." Ucapnya sembari berdiri dari tempatnya.

"Ma, Glora pamit ya? maaf, Glora belum kuat buat menghadapi kerasnya dunia. Hahaha"

Gadis itu kini menjauh dari gundukan tanah tersebut, mendekati motor berwarna hitam, lalu berlalu pergi.

                                        •••

"Adek."

Seorang pria dewasa yang diyakini Ayah Glora, Juanda. Kini tengah berjalan mendekat ke arahnya.

"Papa mau bicara, cepat ganti bajumu, sudah besar kok hujan-hujanan." Selepas mengatakan itu, Juanda pergi meninggalkan Glora.

Tanpa basa basi lagi, Glora pergi untuk membersihkan badannya, dan segera menemui sang Ayah. Entahlah, perasaan Glora tidak tenang.

"Pa, mau bicarain apa?" tanya Glora sembari duduk di sofa yang berbeda, dari tempat duduk Juanda.

Juanda, menatap Glora dalam. "Kamu, Papa jodohin sama anak teman Papa"

"Kenapa?" tanya Glora penasaran, sambil mengatur nafasnya yang kini tidak teratur.

"Sudah ada kesepakatan, Glora. Kamu cukup menyetujui saja"

"Kenapa harus Glora? kenapa enggak Kak Karin aja, Pa?"

"Kamu tidak mengerti, Glora-" ucapan Juanda dipotong Glora.

"Papa yang enggak ngerti, Glora masih SMA Pa! perjalanan Glora masih panjang, Kak Karin udah dewasa Pah. Kenapa harus Glora?" lirih Glora.

"Justru itu, Glora. Kakak kamu sudah berpendidikan tinggi, kamu masih SMA. Pasti hati Karin akan sedih jika dia dijodohkan, Glora."

"Papa, sudah menyetujuinya Glora..." Juanda kembali berbicara, namun kini suaranya pelan.

"Papa... egois, kenapa engga mikir gimana perasaan aku? Papa cuma mikirin Kak Karin doang. Gimana masa depan aku, Pa..." isakan tangis mulai terdengar di ruangan tersebut.

"Glora, kenapa kamu masih tidak paham? yasudahlah terserah kamu, yang terpenting Papa sudah menyetujui hal ini" setelah mengucapkan hal ini, Juanda beranjak pergi meninggalkan anak gadisnya yang kini makin menangis.

tuk tuk tuk

Suara langkah kaki terdengar, Karin. Glora berdiri, berjalan dengan tergesa-gesa ke arah seorang yang datang tersebut.

"Kak, Glora enggak mau dijodohin" ucap Glora tanpa basa-basi.

Perempuan yang mendengar ucapan Glora, tertawa kecil. "Kenapa? ngertiin Kakak dong, Glora. Kakak lagi ngejar mimpi, masa depan Kakak!"

"Aku gimana! Aku juga punya mimpi, Kak"

Glora melanjutkan ucapannya. "Kalo gitu, Kakak bantuin buat nolak perjodohan ini, Kakak bicara sama Papa ya? kalo Kakak yang bilang pasti-"

"Shut up, Glora. Jangan jadi pembangkang, apalagi sama orang tua kamu sendiri. Setujuin aja, apa susahnya sih, Kakak cape mau istirahat" Karin kemudian berlalu tanpa memperdulikan ucapan Glora.

Glora terdiam, ia tersenyum nanar di sela-sela tangisannya yang kembali terisak.

"Oke, Glora kalah lagi, Ma. Maafin Glora yang lemah."

GLORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang