City Of Fireflies

40 6 8
                                    

🌙

Jika waktu dapat dimundurkan ke sekitar sebulan lalu, mungkin suara yang didengarnya saat ini adalah bunyi mesin kendaraan yang menderu terus menerus tanpa mengenal waktu atau sahut-sahutan klakson yang memecah malam, terdengar jauh hingga belasan lantai ke tempat di mana ia tinggal bersama keluarganya. Jalanan sibuk selalu menjadi bagian dari kesehariannya. Dulu.

Mungkin juga pemandangan yang dilihatnya sekarang akan berupa ratusan titik cahaya yang berasal dari gedung-gedung pencakar langit yang ujungnya tidak terlihat, berdiri tegak di sekeliling penthouse milik keluarganya, tempat yang menjadi saksi tumbuh kembangnya.

Pemandangan kota yang indah itu terbingkai dalam jendela besar yang gordennya tersibak, tempatnya ada di dalam kamar anak itu. Dia melihatnya setiap waktu, hingga dia tidak peduli lagi akan keindahan itu, menengok pun tidak.

Namun, sekarang berbeda.

Siapa yang tahu jika saat ini ia malah merindukan kebisingan kota metropolitan yang selalu terang-benderang, tidak peduli apakah itu bulan atau matahari atau bulan yang tergantung di langit sana.

Entah lah, suara jangkrik dan serangga malam yang terdengar di kupingnya saat ini, serta langit-langit kamar polos, yang hanya dihiasi oleh satu lampu gantung antik yang beberapa saat lalu dimatikan olehnya, sebelum ia membaringkan diri di kasur dan mencoba untuk tiduri-meski pada akhirnya dia tetap tidak bisa tertidur dan malah tenggelam dalam pikirannya sendiri-malam dingin yang berisik, tapi entah kenapa terasa sunyi ini membawa pikiran anak laki-laki itu menjelajahi waktu yang telah berlalu.

Vicdan mengela napas.

Sudah tiga puluh hari. Ia masih belum berdaptasi.

Dia tidak mengerti alasan kedua orang tuanya tiba-tiba memutuskan untuk pindah ke tempat ini. Desa yang katanya ditinggali oleh orang tua ibunya di masa muda mereka. Vicdan merasa kehidupan mereka di kota baik-baik saja.

Vicdan bukannya merasa tidak betah atau apapun dengan rumah ini, ia pun tidak tahu kenapa rumah ini masih terasa asing baginya setelah beberapa waktu.

Meskipun umurnya tua, tapi rumah dengan gaya classic france ini masih sangat layak untuk ditinggali, ada satu dapur terbuka, sebuah perpustakaan yang harusnya bisa membuatnya betah, halaman luas yang rindang dan terawat-tampaknya orang tua anak lelaki itu selalu merawat rumah ini tanpa diketahuinya-dan segala fasilitas lainnya yang tidak kalah dengan tempat tinggalnya dulu.

Terlebih lagi ada danau luas di belakang rumah itu, airnya begitu jernih hingga bebatuan di dasarnya terlihat. Danau itu dibatasi oleh pagar kayu yang dililit tanaman liar yang berbunga indah saat musim semi hingga musim gugur. Jika sedang beruntung, Vicdan dapat melihat kawanan angsa liar yang menari-nari di atas air.

Rumah tiga lantai ini dihuni oleh kedua orang tua vicdan dan satu anjing peliharannya yang ber-ras husky. Rumah dengan banyak aksen kayu itu memang tampak terlalu besar untuk jumlah keluarga kecil itu, bahkan ada enam kamar yang kosong, tidak ditinggali.

Sesekali pengurus rumah datang untuk membersihkan kamar kamar kosong itu sehingga ruangan itu bebas dari debu.

Mungkin karena itu Vicdan merasa sepi dan sulit beradaptasi.

Serangga malam memang bising, tapi tidak sebising ibu kota dan hal itu mengingatkannya pada fakta bahwa dia sedang sendirian. Kesepian, tanpa ada seseorang yang bisa dijadikan sandaran.

Andai saja jika Rangga, kakaknya masih ada dan ikut pindah ke rumah ini, mungkin siutasinya akan berbeda.

Ah, satu lagi alasan Vicdan untuk sulit terbiasa dengan tempat ini, rumah ini terlalu jauh dari lokasi pemakaman Rangga, terpisah jarak ratusan kilometer.

City of Fireflies [1/1]  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang