"Pelajari berkas ini!" perintah Pak Bayu sambil melempar sebuah file ke hadapanku yang kemudian jatuh ke lantai.
"Baik, Pak." Aku memungut file itu dari lantai.
"Jangan sampai perusahaan ini kalah di pengadilan! Kerja yang bener!" Pak Bayu bersungut-sungut.
Sabar, sabar. Aku berusaha menebalkan kesabaran. Mungkin kalau kesabaranku setipis tisu sudah kutinggalkan ruangan ini.
Ambil napas dalam-dalam. "Siap, Pak!"
"Baik, siap, baik, siap. Gitu aja jawaban kamu."
Aku harus jawab apa? Punya Bos yang selalu menekan karyawan dan gak bisa dibantah. Salah jawab aku bisa dipecat. Cari pekerjaan saat ini sulit. Nasib jadi kacung korporat.
"Saya akan pelajari dengan sebaik mungkin, Pak." Jawaban diplomatis dan cari aman.
"3 hari lagi sidang digelar, saya gak mau tahu kita harus memenangkan kasus ini! Kamu kan sudah lulus kelas advokat, kamu harus ikut bersidang."
Aku bukanlah pengacara, hanya staf legal sebuah perusahaan yang diberi biaya untuk ikut kelas advokat. Sementara Pak Bayu dia adalah manajer legal di perusahaan tempatku bekerja. Meskipun aku sudah lulus kelas advokat tetapi tiap kali menghadapi Pak Bayu mulut ini rasanya kelu tak mampu banyak bicara.
"Baik, Pak."
"Sudah sana, kembali ke meja kamu!"
Aku meninggalkan ruang Pak Bayu sambil membawa file berwarna abu-abu untuk kupelajari. Rasa kesal menggulung di dada, keteledoran rekan kerjaku membuat perusahaan ini dituntut oleh perusahaan lain dan akhirnya aku yang harus bekerja keras membereskan semua. Sementara Pak Bayu yang merupakan manajer legal hanya melempar tanggung jawab saja bisanya. Dia adalah keponakan direktur perusahaan hingga merasa bisa seenaknya saja bekerja.
Sampai di meja, kulihat gawai yang sejak tadi memunculkan notifikasi. Ada 3 kali panggilan dan 4 pesan masuk dari nomer sahabatku, Avisha.
[Vania]
[Vania, aku pengen ketemu kamu.]
[Van, aku....]
[Van, please jawab pesan aku.]
Melihat profile picture WA Avisha, napasku terasa sesak. Fotonya yang sedang hamil besar tersenyum bahagia bersama sang suami membuat hatiku seperti dicubit, ternyata belum sepenuhnya hatiku sembuh.
3 tahun aku berusaha menjauh dari kehidupannya. Meskipun dulu kami adalah sahabat dekat. Melihat dirinya dipinang oleh Fadhlan, membuatku memutuskan untuk menjauh saat itu juga. Tanpa ia tahu aku menangis berhari-hari lalu pindah kosan ke alamat yang tak diketahuinya.
Berbagai alasan kubuat untuk menutupi kesedihanku. Chat dari Avisha pun aku jawab singkat saja. Panggilan telpon darinya kujawab sebentar lalu memberi alasan sibuk jadi tidak bisa mengobrol lama. Aku juga tidak menghadiri pernikahan mereka dengan alasan ada pekerjaan di luar kota, padahal aku menangis di kosan.
Fadhlan lelaki berkaca mata yang penuh kharisma, mahasiswa terbaik peraih beasiswa. Senior di kampus yang membuatku jatuh hati saat pertama kali dilantik menjadi mahasiswi. Cinta dalam diamku yang membuatku menolak tiap lelaki yang mendekat di kampus dulu.
Saat itu tak berani kuutarakan rasa cinta pada Fadhlan, tak elok rasanya jika perempuan mengutarakan perasaan terlebih dahulu. Namun aku yakin Avisha tahu bagaimana perasaanku pada Fadhlan lalu kenapa ia begitu tega menikah dengan lelaki pemilik hatiku.
Lamunanku tersentak oleh dering ponselku. Sebuah nomor tak dikenal masuk. Segera kugulir layarnya untuk menjawab.
"Halo, selamat siang."
"Assalamu'alaikum. Apa benar ini nomer ponsel Vania?"
Suara itu, suara yang pernah kurindukan dan berusaha kulupakan. Suara Fadhlan, suami Avisha.
"Iya, benar. Eh, waalaikumsalam." Ya Tuhan bahkan mengingat kembali pemilik suara ini membuatku lupa kewajiban menjawab salam.
"Avisha ingin bertemu, segera."
Kalimat bernada datar milik Fadhlan terdengar seperti perintah bagiku. Jantungku mulai berdegup kencang. Tenang, aku harus tenang.
"Untuk apa? Aku sudah berbeda kota dengan kalian." Entah kenapa kalimat itu yang keluar, tenggorokanku terasa tercekat.
"Dia... sakit. Dan ingin bertemu dengan sahabatnya. Atau mantan sahabatnya?"
"Sakit? Avisha sakit?" Mendengar sahabatku di masa kuliah itu sakit, sedikit rasa sedih menghampiri. Bagaimanapun kami pernah sangat dekat.
"Ya, dia sakit dan mungkin waktunya tidak lama lagi." Terdengar nada sedih dari suara Fadhlan.
"Sakit apa?" Sebaris tanya kulontarkan.
"Tidak perlu banyak tanya, segera saja ke sini temui istriku!"
"Di mana Avisha dirawat?"
Panggilan itu terputus lalu sebuah pesan masuk ke ponselku. Nama rumah sakit beserta ruangan tempat Avisha dirawat tertera di pesan itu.
Haruskah aku ke sana?
Aku memang sudah menjauh darinya tetapi kami pernah sangat dekat. Demi menghormati hubungan kami dulu, aku putuskan untuk menjenguknya meski mungkin akan amat sulit menahan perasaanku.Berbicara sebentar dengan Fadhlan tak kusangka akan menumbuhkan kembali percikan itu. Ya Tuhan, ternyata begitu sulit mengubur rasaku padanya.
***
Lorong rumah sakit terasa begitu sepi, aku berjalan mengikuti arah yang menunjukkan ruang rawat Avisha di rumah sakit ibu dan anak ini.
"Akhirnya kamu datang juga." Fadhlan menyambutku tepat di depan ruang rawat Avisha. Tiga puluh menit yang lalu aku memang telah mengabarkan kedatanganku.
Sejenak kutatap wajahnya, ia masih setampan dulu dan penuh kharisma. Meskipun tanpa senyum dan kantung matanya menghitam serta terlihat lelah.
"Masuk." Fadhlan membukakan pintu.
Perlahan kulangkahkan kaki masuk ke ruangan yang bertuliskan Kenanga A di depan pintunya. Hanya ada satu bed pasien di dalamnya.
Avisha terbaring di sana. Sahabat yang telah 3 tahun tidak berjumpa denganku itu terlihat tak berdaya. Selang infus tertancap di punggung tangannya.
"Dek, Vania sudah di sini." Lembut Fadhlan berucap sambil mengusap tangan istrinya. Berbeda sekali dengan ekspresinya saat di depan tadi.
Avisha membuka matanya. Bibir pucatnya menyunggingkan senyum tipis padaku. "Vania." Ia menyebut namaku sambil mengulurkan satu tangannya.
Kusambut tangannya. "Ya, aku di sini."
"Maafkan aku," kata Avisha dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu tidak punya salah apa-apa," kataku berusaha menenangkan.
Avisha menggelengkan kepala. Sebutir cairan bening menetes dari netra indahnya.
"Van, menikahlah dengan Fadhlan."
Kalimat Avisha seperti petir di siang bolong."Apa?" Aku dan Fadhlan mengucap bersamaan.
"Ya, aku melamarmu atas nama suamiku." Avisha menatapku.
Fadhlan langsung menyela. "Dek, kamu nggak usah banyak bicara apa-apa. Ingat, dokter nyuruh kamu istirahat."
Avisha balik menatap suaminya. "Mas, menikahlah dengan Vania. Ini permintaan terakhirku."
"No, kamu istriku satu-satunya dan akan terus begitu."
"Uhuk... uhuk... uhuk!" Avisha terbatuk beberapa kali. Dan perasaanku mengatakan itu bukan batuk biasa. Fadlan terlihat panik dan segera mengambil gelas berisi air minum untuk istrinya.
"Sudah, jangan bicara lagi. Istirahat saja. Ini minum dulu."
Avisha menolak air yang disodorkan suaminya. "Menikahlah dengan Vania, Mas. Selagi aku masih bisa bernapas."
"Kamu halu, pasti ini efek obat yang diberikan dokter." Fadhlan menarik kesimpulan asal.
Menikah dengan Fadhlan? Dulu aku sering mengharapkan hal ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Untuk Diriku
Tiểu Thuyết ChungAvisha menaruh tangan kananku di atas tangan kirinya, kemudian menaruh tangan kanan suaminya di atas tanganku. Wajah sendunya menatap Fadhlan, sang suami yang kini juga menjadi suamiku. "Sayangi dia seperti dirimu menyayangiku." Fadhlan menjawab de...