Ruang perawatan Avisha terasa suram, aura kesedihan begitu terasa. Pria yang datang bersama Pak Sobirin itu memeluk Fadhlan yang menangis. Dokter serta perawat melepas alat-alat medis dari tubuh Avisha. Sementara aku terisak tak jauh dari mereka. Sendirian.
Rasanya baru kemarin kami tertawa dan menangis bersama saat di kampus. Menghadapi dosen yang killer hingga sidang skripsi di hari yang sama. Namun sekarang tubuh Avisha sudah terbujur kaku. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, semua berasal dari Allah dan akan kembali pada Allah. Umur manusia hanya Allah yang tahu.
Segera perawat yang bertugas membawa tubuh Avisha ke ruang jenazah diiringi oleh kami. Fadhlan berjalan di sisi temannya sambil menelpon mengabari orang tua Avisha tentang kabar duka ini. Sementara aku mengikuti di urutan paling belakang. Seperti orang asing.
Beberapa saat lalu, aku dan Fadhlan menikah, tetapi kami tetap seperti orang asing. Duduk berjauhan di depan pintu ruang jenazah. Fadhlan sedang menunggu proses administrasi selesai, lalu akan pulang membawa jenazah istrinya. Dan aku ... apa yang harus kulakukan? Aku hanya istri terpaksa yang mungkin setelah Avisha dimakamkan akan diceraikan. Aku merasa seperti orang bodoh.
Ini sudah hampir tengah malam, dan aku hanya duduk terdiam sambil sesekali membuka akun media sosial yang kupunya. Sedih dan lelah, mungkin kalau di kosan aku bisa beristirahat. Kuputuskan untuk pulang, tak ada gunanya juga aku berada di sini. Sejak Avisha mengembuskan napas terakhirnya tak sekalipun Fadhlan bicara padaku.
Kuhampiri Fadhlan yang masih duduk menunduk melihat ponselnya. "Kak." Panggilan sejak masa kuliah itu kuucapkan dengan hati-hati.
Fadhlan mengangkat wajahnya, matanya bengkak tanda habis menangis. "Ya."
"Aku mau pulang dulu, nanti pagi aku ikut ke pemakaman."
"Iya." Hanya jawaban itu yang kuterima lalu Fadhlan kembali menatap ponselnya yang berisi video Avisha bersama dirinya.
Ya Tuhan, meski kami menikah dalam keadaan terpaksa, tak bisakah ia memberi respon yang lebih baik. Mengantarkan ke depan gerbang rumah sakit atau minimal berpesan untuk hati-hati di jalan. Hanya satu kata singkat itu yang kuterima, setidak peduli itu dirinya padaku. Mungkin besok juga aku diceraikan.
Kulangkahkan kaki dengan perasaan sedih. Sedih karena sahabatku meninggalkanku untuk selamanya, sedih karena suami sementaraku tidak menganggapku sama sekali.
Taksi online yang kupesan datang setelah lima menit kutunggu. Sang supir menyapa dengan ramah kubalas dengan senyuman. Sepanjang perjalanan tak ada pembicaraan sedikit pun.
Kepencet bel yang ada di sisi pagar kosan. Sudah selarut ini, pasti ibu kos akan menceramahiku.
Wanita berdaster dengan jilbab kaosnya keluar sambil mengucek mata. "Vania," katanya dengan nada khawatir.
"Iya, Bu. Maaf saya baru pulang."
Ceklek. Ia membuka kunci gembok pagar. "Kenapa pulang tangah malam begini, lembur di kantor?" tanyanya sambil melihat diriku dari kepala sampai kaki. Rambut yang berantakan dengan masih memakai pakaian kantor, itulah penampilanku saat ini.
"Dari rumah sakit, Bu."
"Siapa yang sakit?"
"Sahabat saya waktu kuliah dulu. Dan gak lama setelah saya datang ... dia meninggal, Bu." Air mata itu keluar lagi mengalir tak bisa kukendalikan.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun." Ibu kos memelukku. "Ibu ikut berduka ya, Nak."
Hangatnya pelukan ibu kos membuatku nyaman, terasa ada sedikit beban terangkat. Selama 3 tahun ini, ibu kos adalah wanita yang paling peduli pada diriku.
"Kamu udah makan?" tanya ibu kos seraya melepas pelukannya.
"Belum, Bu."
"Kamu mandi dulu, nanti ibu antar martabak ke kamar kamu. Tadi bapak beli martabak dan masih ada lumayan banyak."
"Makasih, Bu." Hanya itu yang bisa kuucapkan padahal aku ingin sekali bercerita tentang pernikahan dadakan tadi, tetapi itu hal yang tidak mungkin kulakukan.
***
Fadhlan masih berjongkok di sisi makam Avisha. Baju koko putihnya tampak kotor di sana-sini terkena tanah. Tadi ia bersama adik Avisha yang berada di liang lahat untuk memakamkan Avisha. Tangannya mengusap nisan yang bertuliskan nama sang istri. Fadhlan tidak sendiri ada ibunda Avisha dan adik iparnya yang ada di dekatnya. Dan aku berdiri beberapa langkah di belakang mereka.
"Fadhlan, kita pulang ya." Ibunda Avisha menepuk bahu Fadhlan.
"Sebentar lagi, Bu."
Ibunda Avisha dan suaminya berdiri, lalu membalik tubuh mereka.
"Vania, ya?" Ibunda Avisha bertanya padaku. Aku memang memgenalnya, dulu ia pernah berkunjung ke kosan kami.
Kulangkahkan kaki mendekati wanita berusia 50an itu. "Iya, Bu. Saya turut berduka cita."
Ibunda Avisha lalu memelukku. Tangisnya pecah. "Kamu sahabat Almarhumah, maafkan segala kesalahannya ya?"
"Iya, Bu."
Ia melepaskan pelukannya lalu menatapku. "Almarhumah Avisha sering cerita tentang kamu." Ibunda Avisha menoleh ke arah Fadhlan yang baru saja berdiri. "Fadhlan, ini ada sahabatnya almarhumah."
"Oh, iya, Bu."
"Ini, Fadhlan, suaminya Almarhumah Avisha. Kalian kan belum ketemu, waktu mereka nikah, kamu nggak dateng kan," ujar Ibunda Avisha memperkenalkan kami berdua. Apa jadinya kalau ia tahu bahwa kami telah menikah sesaat sebelum putrinya wafat.
Fadhlan tersenyum tipis. "Yuk, Bu, kita pulang." Fadhlan mengajak ibu mertuanya.
Ya Tuhan, sekali lagi aku tidak dipedulikan. Sejak semalam dan tadi pagi saat aku bertanya di mana Avisha dimakamkan, Fadhlan tidak menjawab pesan WA ku padahal centang biru. Aku mengetahui lokasi pemakaman pun dari grup alumni kampus kami. Sekarang ia seakan tidak mengenaliku.
Fadhlan melangkah bersama ibunda Avisha dan adik iparnya meninggalkanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Untuk Diriku
General FictionAvisha menaruh tangan kananku di atas tangan kirinya, kemudian menaruh tangan kanan suaminya di atas tanganku. Wajah sendunya menatap Fadhlan, sang suami yang kini juga menjadi suamiku. "Sayangi dia seperti dirimu menyayangiku." Fadhlan menjawab de...