3

15 2 0
                                    

Dan begitulah semuanya terjadi, sisa waktuku diperkirakan 23 hari lagi menurut diagnosa.

“Genta!”

Terperanjat mendengar suara keras yang memanggil nya, Genta cepat cepat menutup diary nya dan keluar kamar.

Saat membuka pintu kamar, suara semakin terdengar jelas dari lantai bawah. Jujur Genta takut mendengar suara ayahnya yang terdengar marah.

Baru saja turun Genta sudah disambut hangat tangan sang ayah.

Plak!

Lagi lagi yang dapat ia lakukan hanya menunduk dan meringis sambil memegangi sebelah pipinya yang memerah baru saja terkena pukulan.

“Saya dapat laporan dari guru les kamu, kamu bolos?! Mau jadi apa kamu bolos begitu hah? Mau jadi anak nakal?! Saya dulu sebesar kamu mana berani bolos!”

“genta ga bolos pak, tadi disuruh sam–”

Ucapannya terpotong, dan Karena pembelaannya Genta rasa ayah semakin marah.

“Anak sekarang ga bener! Mau ngelawan Hah! iya?!”

"Ya Tuhan.. Genta takut" ucap Genta dalam hati.

Bertahun-tahun ia diperlakukan seperti ini, membuatnya agak takut jika diteriaki. Tubuhnya gemetar.

Tidak bisa apa-apa selain berdiri mendengarkan, jika menjawab akan dikira melawan.

"Saya ini lelah pulang kerja, malah ada kabar begini! Lihat saya! Jadikan contoh, karena didikan keras kakek nenekmu sekarang saya jadi orang sukses! Kamu disuruh belajar giat saja malas! Sia sia saya bayar sekolah dan les kamu mahal mahal malah dibuat bolos!"

Susah memang, ayahnya adalah tipe manusia kepala batu. Pendapat ayah tidak pernah salah, jika Genta salah maka salah! Jika Genta benar maka salah!

Sebenarnya memang salah Genta karena tidak izin ke tempat les nya, jadi bisa dibilang dia bolos. Siapapun jika dimarahi pasti akan mencari alasan kan? Genta hanya mencoba membela diri.

"Sudahlah pak, sudah malam" ibu Genta datang dan melerai keduanya.

Menarik ayah ke meja makan, untuk Genta? Dia sudah tidak memiliki mood untuk sekedar makan malam jadi ia memutuskan pergi ke kamarnya.

"Tuh kan, pergi tidak bilang dasar tidak sopan. Kamu ajarkan dia sopan santun tidak sih" ibunya yang ditanya hanya diam.

"Ibu dan anak sama semua!"

Jika kalian bertanya mengapa ayahnya Genta terlihat sangat tempramental alasannya adalah semasa kecil ayahnya juga diperlakukan seperti ini. Tidak, bahkan lebih keras dari ini.

***
Genta berada di dalam lemarinya saat ini, sedari kecil ini yang biasa dia lakukan untuk menenangkan dirinya.

Duduk memeluk lututnya di depan dada, Genta masih mengusap bekas tamparan di pipi.

Membekas nya bukan di pipi melainkan di hati.

Tiba-tiba saja Genta mendobrak pintu lemari dan berlari ke arah kamar mandinya.

Hoek

Hoek

Mual.

Sakit di kepalanya datang lagi, tidak hanya itu. Kakinya sekarang kesemutan.

Tes

Genta menyentuh cairan dibawah hidungnya.

Satu persatu gejala yang dialami nya selama ini datang bersamaan.

Dia lelah, jadi dia hanya membiarkannya.

Darah yang mengotori baju, sakit kepala yang tak hentinya menyerang, mual, juga kesemutan.

[END] 30 Hari TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang