Laki-laki Rantai Besi

15 4 0
                                    

Anak itu tidak menangis di hari kelahirannya, seperti isyarat dari ratapan keji yang mengintainya lebih kejam karena dari Orang tuanya sendiri. Matanya bulat bersinar, Bahunya tegap gagah perkasa, tubuhnya kecil, jiwanya besar dalam sepengatahuan tidak ada yang memihaknya termasuk dirinya sendiri.

Apakah yang suci ini tetap terlihat berdosa? Atas dasar kesalahan yang tidak diharapkannya?, Dua insan menikmati nafsu di luar kendalinya di usia remaja, melahirkan titipan Tuhan yang mulia, dan berakhir disia-siakan.

Kenakalan dijadikan alasan, dengan mudahnya membuang karunia. Dan kata-kata cacian hinaan itu selalu terngiang-ngiang dari keluarga besar, maupun dua dari mereka kepada anak yang tidak tau apa-apa. Usia yang terlalu muda mempengaruhi emosinya, mereka dilepas tanpa bekal ilmu pengetahuan, diminta mengurus sendiri tanggung jawabnya.

Rumah kecil dari bahan Kayu, Lantai yang dingin dari Tanah yang berpasir, suara gaduh rintikan Hujan terdengar keras di atas Atap dari Seng Persegi, dan anak itu terus menangis sepanjang malam karena Perutnya kosong, dan tanpa kasih sayang.

“Saya terpaksa melahirkanmu, lebih baik kamu tidak ada!” teriak seorang wanita sambil mencekik anak itu.

Lalu dia melepaskan Tangannya, menutup Wajahnya dengan kedua Tangannya sambil menangis tersedu-sedu di depan anak itu. Pemimpin Keluarga itu datang menghampiri mereka, dengan Sebotol Minuman Keras di Tangannya.

“Saya sudah minta kamu aborsi! Kenapa dipertahankan?” tanyanya sambil berjalan sempoyongan.
“Teganya kau! Ini anak kau juga!” tegas wanita itu.

Wanita itu tersungkur, wajahnya babak belur, suara sakitnya tertelan sunyi. Kejadian itu terus berulang dalam beberapa tahun kemudian. Sang Ibu jiwanya sakit, melampiaskan amarahnya kepada anak itu, memperlakukannya seperti Binatang.

Anak itu bahkan tidak punya nama, Lehernya dirantai, Kakinya dipasung, akan ada hari kebebasan untuknya tapi hanya untuk menjadi pelayan Rumah, dan nafsu sesat pria itu. Dia menyebut dirinya dengan sebutan Tuan, bukan Ayah.

Tangannya yang kecil, dan gemetar berjalan pelan membawa Secangkir Kopi menuju ruangan, ketakutannya yang tak terkendali, membuatnya terjatuh, dan memecahkan Gelas kesayangan pria itu.

“Dasar Bodoh!” bentak pria itu.

Diangkat tubuhnya disandarkan pada dinding batu yang berigi, lalu dihempaskan dengan keras. Anak itu meringkuk sakit, dan meminta ampunan.

“Ampun Tuan…Ampun….Sakit! Maaf saya salah tidak akan saya ulangi lagi saya berjanji,” anak itu menangis sambil meringis sakit.

Wanita itu berdiri di depan Pintu, menatapnya dengan seksama. Penampilannya berantakan, Rambut acak-acakan, Dress pendek yang kumal, tatapannya kosong, anak itu nafasnya tersesak, dia terus memegang Perutnya yang sakit karena menahan tendangan dari pria itu.

“Ampun Tuan…” ucap anak itu dengan suara pelan.

Seseorang berlari dengan tergesa-gesa, membawa Batu mendorong pria itu ke arah Meja, dan tersandung. Dia adalah wanita yang berdiri tadi, dengan kekuatan seadanya, dia melawan pria itu dan menyuruh anak itu untuk segera pergi.

“Pergilah! Kamu bebas! Jangan pernah kembali lagi!” tegas wanita itu.

Pria itu tidak punya hati nurani, dia mencekik wanita itu di atas Meja seperti orang yang sudah kesetanan. Anak itu mencoba berdiri karena tubuhnya yang sakit dia berjalan perlahan sambil melihat wanita itu.

“Ma…af...kan I…bu…” ucap wanita itu perkata tanpa suara.

Anak itu berlari sambil menangis, menjauhi tempat itu menuju kota, dan keramaian. Pakaiannya lusuh, warna merah yang berdominan menutupi warna aslinya. Matanya kering, suaranya serak, dia hanya bisa berbaring di tepian jalan.

“Ayah…Ibu….hangatnya jiwaku…memeluk tubuhku…” ucap anak itu dengan wajah tersenyum sambil menatap Langit.

Kata terakhirnya, sebelum menutup Mata sambil membayangkan wajah Ayah dan Ibunya yang sedang tersenyum memeluk Tubuhnya.

Ada Pria tua yang datang menghampiri anak itu, dia berteriak histeris meminta bantuan kepada semua orang yang berlalu lalang. Satu per satu berkumpul menawarkan bantuan, anak itu dibawa ke Rumah Sakit, dan kabar baiknya dia terselamatkan.

Pria paruh baya bersama istrinya, menunggu di koridor Rumah Sakit dengan wajah was-was, setelah ini mereka berniat ingin membawa anak itu ke Rumahnya mengangkatnya sebagai anak karena dia sudah lama menantikan sang buah hati. Selama masa perawatan, Polisi mencari tau Orang tua anak itu, dan menemukan Rumahnya yang sudah terbakar, Ayah, dan Ibunya sudah meninggal.

Keluarga besar dari Orang tua anak itu, dikabarkan pindah karena dikucilkan masyarakat karena telah melantarkan anak dan cucunya sendiri.

“Terima kasih Ayah,” ucap anak itu sambil mengenggam tangan Ayah angkatnya.
“Tidak apa-apa, kamu berhak bahagia nak!” jawab Pria paruh baya itu.
“Sekarang nama kamu Askara, yang berarti cahaya kamu akan menerangi Hari-hari kami,” jelas Ibu angkatnya.

Mereka berkumpul menjadi keluarga yang sangat harmonis, Askara menjalani hidup yang layak, mendapatkan Pendidikan dan pendampingan Psikologis, bisa bermain dengan Anak-anak sebayanya, dan mendapatkan kasih sayang dari Orang tua angkatnya.

Anak adalah anugerah, raga dan jiwanya adalah titipan dari Tuhan yang harus kita jaga, dia tidak diberikan pilihan untuk dilahirkan atau dihilangkan. ada dari kita yang tidak menginginkannya, membuat kesalahan, mengabaikan, dan menyalahkannya.

Dan ada juga dari kita yang menginginkan tapi sulit mendapatkannya. Siapapun itu belajarlah untuk mengsyukuri, atau menjauhi larangannya agar tidak ada yang terluka.

-Selesai-

Kumpulan Cerpen "Tumbuh Dan Mekar"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang