Aku masih tak percaya setiap kali aku memperhatikan sosok yang ada di hadapanku saat ini. Sudah beberapa kali Kakek menegurku, tapi aku masih juga tak bisa menghentikan perdebatan internalku.
Apa aku sedang bermimpi? Atau mungkin ini mimpi yang menjelma dalam keadaan sadar?
Pria yang akan di nikahkan denganku, bagaimana bisa dia William.
Pasti ada yang salah di sini.
Bukankah William di London?
Sejak kapan dia kembali?
Dan, kenapa dia tidak memberitahuku, atau bahkan menemuiku sebelumnya?
Dia anggap apa aku!
" Permisi.." ucapku menyela perbincangan di antara dua keluarga, sementara William memperhatikanku dengan pandangan yang tak bisa ku artikan.
" Apa kalian keberatan jika aku mengambil waktu berdua dengan William? Ada yang perlu kubicarakan dengannya." Ujarku sambil meminta persetujuan William, kakek dan juga paman Durke.
Kakek dan paman Durke tentu saja terlihat senang dengan apa yang barusan aku katakan. Jelas seperti inilah yang mereka inginkan. Sementara William masih tak hentinya memandangku dengan pandangan yang sama, pandagan yang tak bisa ku artikan. Ada sorot aneh di matanya, seperti kerinduan, penyesalan dan marah?
" Tentu saja nak. Kau tak perlu minta izin jika untuk itu. Dia calon suamimu.." Ujar paman Durke yang di sambut anggukan kakek dan tawa sekeluarga. Seharusnya aku memperhitungkan hal ini tadi.
Jujur saja, aku masih belum bisa mengerti semua ini. Dunia benar-benar sempit. Bagaimana bisa seorang William yang bahkan belum aku kenalkan dengan satu pun keluargaku ternyata anak dari paman Durke, dan merupakan calon suamiku.
Apa kalian pikir ini masuk akal, jika kalian berada di posisiku?
Tidak, bukan?
Bahkan bibi Lin tidak akan percaya ini, walaupun dia sudah sering mendengar tentangnya dariku tanpa pernah melihat foto William-aku sengaja merahasiakannya, tidak ingin ayah tahu dan malah menghancurkan pria yang kucintai.
Dan, laki-laki yang di hadapanku saat ini. Dia sudah menggantungkan hubunganku dengannya hampir setahun. Setahun. Apa dia pikir itu waktu yang sebentar, walaupun dalam waktu yang tak sebentar itu aku tetap saja tak sekalipun tak pernah berhenti menunggunya.
Aku bangkit dari tempat dudukku, memberi tanda agar William mengikutiku.
Bisa kulihat dari ujung mataku, semua keluarga yang berkumpul di belakang tersenyum senang karena ternyata kami saling mengenal. Tentu saja kami saling kenal.
Kami bahkan sudah sangat saling mengenal.
Dia kekasihku.
Bukannya aku tidak senang, calon suamiku itu William. Aku bersumpah, saat ini dewi jiwaku sedang berlari-lari, melompat-lompat kegirangan saking senangnya ternyata pria ini lah calon suamiku. Tapi aku juga tidak ingin munafik, rasa sakit hatiku yang di gantungkan selama satu tahun ini tak mau mengalah. Mereka menuntut kejelasan. Saat ini juga.
" Apa yang kau lakukan di sini William? " tanyaku langsung pada William ketika kami sudah berada di taman belakang. Sebisa mungkin kupasang raut wajah marah pada pria di hadapanku saat ini, setidaknya dia harus tahu aku benar-benar marah akan sikapnya selama setahun ini.
Pria di hadapanku terlihat bingung, keningnya ikut berkerut sementara kedua alisnya bertaut, menatapku dengan pandangan penuh tanya.
" Kenapa kau bertanya seperti itu? Kau tidak senang melihatku kembali? "
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding's Proposal
Storie d'amoreMenyesal. Hanya itu kata yang pantas untuk menggambarkan perasaanku saat ini. Apa ini pria yang dipilihkan Ayah untukku? Pria yang dianggapnya terbaik untukku? Aku terlalu lemah pada selembar kertas putih. Menikah dengan pria yang ku cintai, tampan...