02.

486 84 48
                                    

Berasa ditegur semesta lewat update-an pic Yeju hari ini wkwkwkw. Seakan marahin aku yang kemarin bilang gamau pake visual siapa-siapa buat cerita ini. Maafkan ya semesta, author khilaf😂 Ini cerita Deia tapi tetap pake visual Sangmin-Yeju deh🙏🙏🙏

.
.
.
.
.

Deia menyandarkan punggungnya yang mulai terasa kaku pada badan sofa. Sudah lewat pukul satu siang ketika Deia akhirnya bisa duduk, beristirahat sejenak di sofa panjang dari ruang kerjanya yang luas. Untuk sesaat Deia hanya terdiam, menatap nyalang pada langit-langit ruang kerjanya sebelum bunyi perutnya terdengar bergemuruh. Ia merasa lapar. Setelah tidak sempat menyantap sarapannya tadi pagi, Deia memang belum memberikan nutrisi apapun kepada tubuhnya.

Deai kemudian bergerak. Meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja sofa. Ia mencari sebuah kontak lalu melakukan panggilan.

"Rin," katanya setelah telepon itu tersambung. Ia menghubungi Karin, sahabatnya sedari bangku sekolah menengah, yang lalu bekerja bersamanya sejak ia mendirikan butik lebih dari dua tahun yang lalu. Karin bukan lulusan desain busana seperti dirinya. Ia lulus dari sebuah fakultas ekonomi dari salah satu universitas swasta di Jakarta. Keluhannya yang tiada henti tentang beratnya beban kerja di satu perusahaan sebelumnya membuat Deia mengajaknya untuk ikut bekerja dengannya. Karin kemudian membantunya dalam banyak hal. Mengurusi keuangan butiknya hingga mengatur jadwal pertemuannya dengan klien. Jabatan Karin sudah seperti asistennya sendiri. "Di pantri masih ada makanan nggak ya? Lapar gue."

Bibir Deia mengerucut kecewa saat mendengar balasan kata tidak dari Karin. "Tolong pesanin dong."  Pinta Deia setelahnya. "Apa aja, yang cepat."

Karin menyebutkan salah satu jenis makanan yang langsung diiyakan oleh Deia. Ia lalu mengucapkan terima kasih sebelum memutuskan sambungan.

Deia baru akan kembali menaruh ponselnya ke atas meja ketika benda pipih itu berdering. Ada sebuah panggilan masuk. Tulisan 'Papa' yang diiringi dengan sebuah emotikon hati muncul pada layar. Membuat Deia menerbitkan senyum sebelum mengangkat satu panggilan itu.

"Kak?" Suaranya Ayahnya, Narendra, langsung  terdengar. "Tadi kata Pak Andi kamu terlambat sampai ke butiknya." Narendra menyebutkan salah satu nama satpam yang berjaga di butik milik Deia. "Kemana dulu tadi?"

"Halo, Papa." Deia memilih membalas pertanyaan itu dengan sapaan. "Nggak kemana-mana, Pa. Ada insiden sedikit tadi di jalan."

"Insiden apa?" Sahut Narendra.

"Aku nabrak orang, Pa." Jawab Deia, meringis. "Nyerempet sih lebih tepatnya. Karena masih sempat banting stir sedikit sebelum ngerem."

"Terus?" Nada Narendra terdengar panik. "Kamunya gimana? Nggak kenapa-kenapa kan?"

"Nggak apa-apa, Pa." Ujar Deia. "Namanya aku yang nabrak." Lanjutnya. "Harusnya Papa tanyain kondisi korbannya dong."

Ada helaan napas lega dari Narendra. "Korbannya gimana?"

"Lecet-lecet aja sih," kata Deia. "Tapi udah aku suruh buat cek lengkap ke rumah sakit. Aku kasih kartu nama juga buat kontak kalau ada apa-apa."

"Harusnya kamu telepon Papa tadi." Balas Narendra dengan nada serius. "Biar diurusin."

"Nggak baik ngasih nomor pribadi kamu ke sembarangan orang, Kak." Tambah Narendra kemudian. "Kalau disalahgunakan gimana?"

"Tinggal diblokir aja, Pa." Deia menghela napas. Kadang Papanya ini memang suka berlebihan. "Lagian kayaknya orang baik-baik kok." Deia terdiam sejenak. Pikirannya sesaat mengelana kepada sosok laki-laki yang ditabraknya tadi pagi. "Meski gayanya memang agak urakan."

TangledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang