03.

428 85 34
                                    

Ada yang nungguin cerita ini ga ya?🥲
.
.
.
.
.

Deia sedang sibuk menggambar pada buku sketsa miliknya ketika ponselnya berbunyi, memberikan notifikasi sebuah pesan masuk disana. Deia memilih untuk diam, mengacuhkannya. Ia masih fokus memberikan detail pada sebuah gaun yang sedang didesainnya.

Deia sebenarnya tidak terlalu ingat tentang sejak kapan ia mulai menyukai dunia desain busana. Ia hanya tahu, sejak kecil, dirinya memang suka berpakaian cantik lalu bergaya di depan kamera yang dibidikan oleh Narendra. Deia suka menggambar. Tapi tidak spesifik tentang pakaian. Ia akan menggambar apa saja yang disukainya. Ketika beranjak remaja, saat melihat busana bagus yang dikenakan seseorang, Deia akan menuangkannya dalam bentuk sketsa, lalu menambahkan ornamen-ornamen yang disukainya. Mungkin sejak masa itulah bakat Deia didunia fashion design mulai terbentuk.

Menjelang kelulusannya dari bangku SMA, Deia tidak bisa memikirkan hal lain selain kegemarannya dalam dunia mode. Ia lalu memberitahukan kepada kedua orang tuanya terkait niatnya untuk melanjutkan sekolah di bidang design pakaian, yang kemudian langsung mendapatkan dukungan penuh. Alih-alih sebuah pertentangan karena bagaimanapun ia adalah anak pertama dari penerus keluarga Mahawirya. Ada perusahaan turun-temurun yang menunggu untuk diwariskan.

Namun Narenda dan Cenora, Ibunya, adalah tipikal orang tua yang berpikiran cukup terbuka. Untuk urusan pendidikan, Ayah dan Ibunya itu sama sekali tidak pernah mengarahkan anak-anaknya untuk masuk pada fakultas atau jurusan tertentu. Dari tiga orang anak yang mereka miliki, hanya satu orang anak yang akhirnya memilih untuk mengikuti jejak Narendra dibidang bisnis. Anak itu adalah Alfa, adik pertama Deia yang saat ini tengah mengambil program magister bisnis di negara Amerika. Sedangkan kembarannya, Gama, memilih menempuh jalur karir yang tidak jauh berbeda dari Cenora, menjadi seorang selebritas. Gama adalah seorang vokalis dari sebuah band yang kini digilai oleh banyak gadis remaja.

Deia menaruh drawing pen yang sedari tadi telah digunakannya. Ia kemudian mengangkat buku sketsanya dan tersenyum memandang sebuah gambar disana. Deia baru saja berhasil menyelesaikan satu rancangan gaun pengantin. Belakangan ini memang cukup banyak klien yang datang ke studionya untuk meminta dirancangkan sebuah busana pernikahan. Desain gaun yang baru diselesaikannya ini bisa menjadi salah satu referensi untuk para kliennya nanti.

Deia masih asyik memandangi hasil kreasinya ketika ponselnya kembali berdering. Ada pemberitahuan sebuah pesan baru lagi disana. Deia akhirnya mengalihkan fokus. Ia menjangkau ponselnya yang terletak dibagian ujung meja kerja. Lewat pop up di layar ponselnya, Deia melihat ada nomor asing yang mengiriminya beberapa pesan melalui salah satu aplikasi chat. Deia mengerutkan kening saat membuka pesan itu, ada beberapa foto yang dikirimkan kepadanya. Foto kondisi terakhir dari mobilnya yang sore tadi dimasukan oleh orang suruhan Narendra ke bengkel.

Deia baru saja berpikir untuk mengacuhkan chat itu ketika pesan lainnya masuk.

+6281110xxxx : Ini Rasta btw, yang ditabrak tadi.

Deia makin dilanda rasa bingung. Kenapa laki-laki yang tidak sengaja diserempetnya tadi pagi bisa memiliki foto mobilnya? Namun alih-alih menyuarakan pemikirannya, Deia justru membalas pesan itu dengan pertanyaan.

Deia Avisha M : Oh. Udah jadi check up ke rumah sakit Mas?

+6281110xxxx : Belum hehe. Ke rumah sakitnya bisa ditemanin ga ya? Lusa? Sekalian jemputin mobilnya.

Deia terdiam. Bukannya akan terlalu terlambat untuk melakukan pemeriksaan setelah tiga hari mengalami kecelakaan? Terlebih sepertinya laki-laki yang sedang berbalas pesan dengannya ini tampak dalam kondisi yang baik. Tetapi Deia tidak ingin disebut sebagai seseorang yang tidak bertanggung jawab karena bagaimanapun menabrak laki-laki bernama Rasta ini memang merupakan kesalahannya.

Deia Avisha M : Baik, Mas. After lunch gapapa? Baru luang dijam segitu soalnya.

+6281110xxxx : Nggak masalah. Sampai ketemu di bengkel ya lusa :)

***

Rasta berulang kali melirik ke arah jam yang melingkari pergelangan tangannya. Masih ada waktu sepuluh menit lagi sebelum janji temunya dengan Deia namun Rasta sudah merasa tidak sabar. Sejak setengah jam yang lalu ia terus berjalan mondar-mandir di ruangan bengkel sambil sesekali menatap jauh ke arah gerbang masuk.

Gerak-gerik Rasta itu tentu tidak luput dari perhatian Hanan. Laki-laki yang sudah mengenal Rasta sejak dari bangku perkuliahan itu lalu memilih untuk menghentikan pekerjaannya sejenak dan menghampiri Rasta.
"Janjian sama yang punya mobil merah ya lo?"

Rasta spontan meringis. "Yoi." Ia lalu berdiri bersandar pada salah satu badan mobil. "Kok lo bisa tau?"

"Ketebak," jawab Hanan. Ia menurunkan ritsleting baju wearpack yang sedang dikenakannya. Sekedar mengurangi rasa gerah setelah hampir setengah hari berkutat dengan mesin. "Gerak-gerik lo mencurigakan."

"Mana dari kemaren minta mobilnya diburuin." Tambah Hanan. "Padahal lagi lumayan overload gini."

"Buat cewek cantik harus jalur khusus dong." Balas Rasta dengan mimik serius yang dibuat-buat. "Harus fast track, nggak boleh dibikin kelamaan nunggu."

"Sakit lo," decak Hanan. "Beneran naksir ya?"

"Nyoba doang, Nan. Nyoba." Sahut Rasta. Ia mengambil kotak rokok, membukanya dan mengeluarkan satu batang. "Kali-kali cocok dan mau sama gue yang nggak punya apa-apa ini."

Hanan memandangnya dengan tatapan tidak percaya. "Sinting."

Rasta hanya tertawa. Ia baru akan menyalakan rokok yang kini terselip dibibirnya saat suara Damar, salah satu junior mekanik berseru memanggil-manggil namanya.

"Apaan, Mar?" Tanya Rasta. "Kok ribut?"

Damar yang menghampiri Rasta dengan setengah berlari berusaha mengatur napasnya sebelum berkata. "Itu Mas, katanya Pak Bos sudah di gerbang, mau sidak kesini."

"Mampus," ucap Rasta. Ia membuang rokok yang masih belum sempat ia sulut dengan asal. Kedua tungkainya lalu dengan cepat bergerak. Memasuki salah satu ruangan yang ada di bengkel itu. Dengan gerakan terburu Rasta membuka baju kaus yang sedang menempeli badannya. Menggantinya dengan sebuah kemeja berlengan panjang yang tergantung rapi di ruangan itu. Ia juga menukar celana jeans yang tengah dipakainya dengan sebuah celana kain. Setelah merasa tampilannya sudah cukup rapi, Rasta kembali memacu langkahnya. Ia mengeluarkan diri dari ruangan itu, menyusuri luasnya bengkel untuk sampai kepada sebuah gedung bertingkat tiga yang berada tepat disebelah bengkel. Disitulah tempat Rasta sebenarnya bekerja. Saat menginjakkan kakinya pada lantai satu gedung, yang dijadikan sebagai showroom, pandangan Rasta langsung tertuju kepada tiga orang staff yang sedang sibuk bersalaman dan berbasa-basi dengan seseorang yang dipanggil Damar dengan sebutan Pak Bos tadi.

Rasta mengatur napasnya sejenak sebelum berjalan menghampiri kerumunan itu. Ketika sudah berjarak dekat, pandangan Rasta dan laki-laki berusia paruh baya itu bertemu. Laki-laki itu lalu mengambil beberapa langkah untuk berdiri tepat di hadapan Rasta. Ia memandang Rasta lama, menghela napasnya sekilas lalu berkata. "Temui saya di ruangan."

***
.
.
.
.
.

Awal-awal ini plotnya memang agak lambat, semoga pada sabar nungguin moment Rasta-Deia ya hahaha😘

TangledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang